Lahan tak bertuan yang sebelumnya berpotensi menjadi objek konflik di Desa Kalibandung, Kabupaten Kubu Raya, kini justru menjadi ruang perjumpaan untuk merawat kerukunan warga tiga etnis di sana.
mimbaruntan.com, Untan- Sembilan penumpang mengambil posisi duduk melingkar di atas perahu motor menuju Desa Kalibandung. Obrolan tentang lelahnya pekerjaan bergantian diceritakan. Walau menggunakan bahasa Melayu, lekuk lidah tetap mampu membedakan latar belakang etnis masing-masing.
“Le magrib, saya salat dulu ya,” ujar Sanhaji dengan dialek Madura yang merupakan Kepala Desa Kalibandung, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya.
Ia melaksanakan salat Magrib di sisi lain perahu, sedang yang lain melanjutkan obrolannya hingga perahu menepi di dermaga.
Satu per satu sepeda motor diturunkan. Sebelum berpisah, Sanhaji menjelaskan letak arah tuju ketiga dusun dari dermaga.
“Lurus, itu Sangkar Dunia, tempatnya orang-orang Madura,” jarinya menunjuk lurus searah dermaga. “Kalau belok kanan itu orang Melayu, ada Kantor Desa di sana,” tangannya mengarah ke kanan, kepada jalan kecil yang hilang dimakan gelap malam.
“Dari situ, masuk ke dalam lagi, itu mayoritasnya udah Dayak,” terangnya lagi sebelum kemudian menghidupkan motornya, membuka celah pandang kepada jalan yang dia maksud.
Jauh sebelum berdirinya Desa Kalibandung pada tahun 2012, tiga etnis mayoritas yaitu Dayak, Madura, dan Melayu hidup di tiga dusun yang dipisahkan oleh parit panjang dan hutan. Walau kondisi tempat tinggal yang majemuk, konflik etnis tidak pernah terjadi sekalipun.
Dusun Maju Terus ditempati oleh etnis Madura, penduduk Maju Bersama merupakan etnis Melayu, sedangkan Dusun Pulau Maju untuk etnis Dayak dan yang beragama Kristen serta katolik, sedangkan etnis Jawa sebagian tinggal di Dusun Maju Bersama dan sebagaian lagi di Dusun Pulau Maju.
“Madura itu sekitar 30 persen, Melayu itu ada sekitar 40 persen, sedangkan Dayak lebih banyak sedikit dari Madura, sisanya itu Jawa yang paling sedikit,” terang Sanhaji saat dikunjungi ke kediamannya di Sangkar Dunia, Dusun Maju Terus, Selasa (30/3/2021) sore.
Ketiadaan konflik etnis di Desa Kalibandung bukan serta merta terjadi begitu saja. Pencegahan adalah kunci utama tidak terjadinya konflik antar-etnis. Menurut Sanhaji, musyawarah adalah langkah yang paling sering dipilih oleh tokoh masyarakat di sana.
“Kalau udah ada terdengar permasalahan, seperti konflik suku dari luar maupun permasalahan lain di dalam, kita antisipasi segera dengan musyawarah,” ucapnya sambil sesekali menatap keramaian di depan rumahnya.
Tepat di seberang jalan, terlihat kerumunan orang. Ada perlombaan tarik tambang yang digelar untuk merayakan kelulusan para siswa Madrasah. Penonton yang berasal dari ketiga dusun, bersorak sorai menyemangati para peserta lomba tarik tambang.
Menyulap Lahan Eks PT. BLKS Menjadi Hutan Desa
Area konsesi perkebunan kelapa sawit PT Bina Lestari Khatulistiwa Sejahtera (BLKS) sebelumnya menjadi objek konflik antara masyarakat dan perusahaan.
“Dulu lahan eks PT. BLKS itu dilarang dimasuki. Dibilang akan dipenjara kalau mengambil buahnya, oleh oknum tertentu yang mengambil keuntungan sendiri. Jadi masyarakat takut mau nyentuh hutan itu,” cerita Usman, Ketua Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) saat mengenang kondisi masyarakat dahulu sebelum dibentuknya LPHD.
Terbitnya Surat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 4769 tahun 2018, mengubah aturan pengelolaan lahan di Desa Kalibandung. Luas pengelolaan Hutan Desa sekitar 7.255 hektare, dengan kawasan Hutan Lindung sekitar 3.147 hektare, dan sekitar 4.109 hektare Hutan Produksi yang dapat dikonversi. Sekira 1.300 hektare merupakan eks area konsesi perkebunan kelapa sawit PT BLKS.
Menyadari lahan tak bertuan eks-konsesi perkebunanan kelapa sawit yang berpotensi terus berkembang menjadi sumber konflik, masyarakat bermusyawarah demi menyelamatkan desa dari kemungkinan dampak buruk tersebut. Mereka tak ingin kebakaran hutan terjadi lagi di sana. Selain itu masyarakat berharap Hutan Desa akan menciptakan lapangan pekerjaan.
Usman dan masyarakat lainnya didampingi LSM Jari Borneo Barat Indonesia, mengurusi persoalan lahan sengketa hingga terbentuknya Hutan Desa serta LPHD.
Usman yang merupakan warga asli Kalibandung, sebelumnya bekerja sebagai penebang kayu. Baginya, LPHD adalah tempat untuk menebus kesalahannya.
“Ini semacam penebusan dosa. Dulu tukang ngambil kayu, sekarang justru jadi penjaga hutan, nyelamatin hutan,” ujar Usman disusul tawa kemudian.
Sama dengannya, sebagian masyarakat dulu juga bekerja sebagai penebang kayu. Sebagian yang lainnya menyambung hidup dengan menoreh getah, menjadi petani sawit, peladang, dan sisanya menjadi buruh lepas di luar desa. Masing-masing bekerja untuk kepentingan individu dan kelompoknya sendiri.
Status lahan berubah, LPHD pun terbentuk di tahun 2018. Mulai digaungkan misi untuk membangun ekonomi desa yang lebih baik dan menyatukan keberagaman. Keegoisan kelompok perlahan memudar. Lewat LPHD inilah semua etnis harus ikut andil untuk satu misi yang besar, yakni merawat hutan.
Baca juga : Normalisasi Pelecehan Seksual pada Laki-Laki, Berbahayakah?
Strategi menempatkan semua perwakilan etnis di struktur bagan kepengurusan LPHD, dinilai Usman sebagai langkah efektif untuk mencapai misi tersebut. Mengingat karakter, gaya hidup, serta kondisi tanah yang berbeda-beda di ketiga dusun. Langkah ini pula membuat keberagaman yang ada semakin terawat.
Sebulan setelah terbentuknya LPHD, Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) berdiri di bawah naungannya. Saat ini ada 4 KUPS yang tersebar di ketiga dusun, yaitu KUPS Jahe di Dusun Maju Terus, KUPS Jagung dan Nanas di Dusun Maju Bersama dan KUPS Pinang di Dusun Pulau Maju.
“Saya setelah bantu di KUPS, jadi sering juga ketemu sama semua suku. Sering ketemu gini kan juga jadi paham sedikit bahasa satu sama lain,” ujar Hayat, Sekretaris KUPS Jahe sambil memainkan odheng miliknya (pakaian adat Madura berupa ikatan di kepala) yang saat itu juga sedang bertamu ke kediaman Marjono, RW Dusun Maju Bersama.
Ruang Jumpa dan Keterlibatan Perempuan Desa
Herlinda, Ketua Pengajian Desa, mengatakan bahwa dengan adanya LPHD membuat ruang jumpa masyarakat semakin sering terjadi. Menurutnya ini merupakan hal positif, mengingat semasa pandemi banyak kegiatan pengajian yang ditiadakan.
Kelompok Mak Malu, begitu sebutan untuk kelompok ibu-ibu yang memproduksi Keripik Kangkung Malu di bawah LPHD. Herlinda terlibat di dalam kelompok ini.
“Biasanya ada agenda taklim desa bulanan, khusus ibu-ibu yang kita gilir dari dusun ke dusun, karena Covid ini jadi kita hilangkan. Adanya Mak Malu bikin kita ngumpul lagi walaupun gak terlalu ramai,” ucap wanita yang juga bekerja sebagai guru ngaji di Dusun Maju Bersama ini.
Dari Mak Malu, bukan hanya ruang pertemuan yang tercipta, melainkan juga keterlibatan perempuan desa dalam peningkatan ekonomi masyarakat.
“Dari ngambil kangkung malu panas-panas, cari komposisi yang pas untuk buat keripik, sampai bungkusnya, itu ibu-ibu semua,” tambah Fatmawati yang menjadikan rumahnya sebagai rumah produksi Keripik Mak Malu.
Selain Mak Malu di Dusun Maju Bersama, kelompok perempuan lainnya juga hadir di Dusun Pulau Maju dalam Kelompok Penganyam. Begitupun di Dusun Maju Terus, kelompok perempuan terlibat aktif di penanaman bibit untuk restorasi lahan gambut.
Berpindah ke Parit Cegat, dusun yang dihuni oleh masyarakat Dayak. Rumahnya tak jauh dari gereja katolik di Dusun Pulau Maju. Pada Sabtu (3/4/2021) siang, Utop yang merupakan Ketua RW dusun tersebut beristirahat di teras warungnya. Guratan halus tanda lelah tergambar jelas di dahinya, ia baru saja pulang bekerja mengendalikan kapal tongkang.
“Di sini yang banyak bekerja untuk ketersediaan pangannya ya semua ibu-ibu. Dari menanam padi, panen, nebas ladang, sampai ke panen lagi semuanya Ibu-ibu. Laki-lakinya ya kebanyakan kerja ponton di kapal tongkang,” jelasnya sambil menepis keringat sebesar jagung di dahi.
Dengan keadaan itu, Utop mengajukan kepada Ketua LPHD untuk menggalakkan program beras, sebab hasil panen yang melimpah di dusunnya.
Kondisi ini juga membantu ketersediaan makanan pokok bagi dusun lainnya. Masyarakat Dusun Maju Terus yang beretnis Madura misalnya, tak jarang membawa dagangan sayur atau hasil tani lainnya untuk kemudian dijual atau bahkan ditukar dengan beras.
“Bukan cuma sekedar jual beli, orang Madura itu dak takut kalau kita ngutang. Biarpun kita Dayak, mereka udah percaya, karena orang-orang di sini juga pasti bayar. Biasanya juga mereka beli beras 10 kilo, 20 kilo ke sini,” kisahnya.
Membicarakan hasil panen juga tak lepas dari membicarakan Gawai, yakni agenda adat Dayak saat menyambut panen raya. Bukan hanya warga beretnis Dayak yang merayakan, seluruh masyarakat desa wajib diundang.
Demi menghargai tamu yang beragama Islam, pasti disiapkan ikan dan ayam untuk dimasak. Agar tak ada keraguan, Utop meminta tamunya menyembelih dan memasak lauknya sendiri.
“Bakar sendiri lauknya di dapur sini. Terus makan ramai-ramai,” ujarnya sambil menunjuk ruangan di belakang rumahnya, tempat dapur itu berada.
Sejak tahun 1987 Utop hidup di Desa ini. Setiap ada terdengar konflik etnis antara Dayak dan Madura dari luar, tidak pernah mempengaruhi kondisi dan hubungan di dalam Desa.
“Waktu kerusuhan 98 dulu emang ada yang mau ngadu domba kita. Ada yang bilang orang sana (Madura) mau nyerang, tapi kita mikirnya dak mungkin, karena hari-hari udah biasa sama-sama, biasa ngutang segala,” jelas Utop sambil tertawa.
Utop menegaskan satu prinsip yang ia anut dan ditekankan kepada warganya, bahwa ada dua hubungan yang dijalankan manusia, yaitu hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia.
“Iman kita jangan sampai dinodai dengan perkelahian atau bahkan dengan pembunuhan, percuma punya iman. Jadi kita harus barengi itu dengan kasih,” ujarnya dengan nada suara yang mulai meninggi.
Utop mengartikan iman sebagai hubungan manusia dengan Tuhan, sedangkan kasih adalah hubungan antar-manusia.
Utop juga menambahkan, rasa percaya terhadap orang berbeda etnis juga diterapkan saat pemilihan kepala desa. Mayoritas masyarakat etnis Dayak memilih Sanhaji yang beretnis Madura untuk periode kepemimpinan yang kedua kalinya.
“Kalau Pak Sanhaji itu biarpun orang Madura tapi memimpinnya bagus, memikirkan masyarakat, memikirkan hutan kita, apa yang kita punya. Ya kita pilih dia, kita kan udah kenal dari dulu sama orang-orang yang mencalonkan diri itu,” pungkasnya.
Selain Gawai, hari besar lainnya seperti Natal dan Lebaran menjadi sebuah momen bagi masyarakat untuk saling mengunjungi.
Sebagian besar masyarakat Dayak yang memelihara babi, tidak membuat ragu umat muslim untuk berkunjung. Sebab peraturan tentang penertiban hewan telah diberlakukan. Hal ini selaras dengan yang disampaikan Totok, selaku Kepala Dusun Pulau Maju yang juga merupakan pengurus LPHD.
“Permasalahan hewan semua sudah rapi, babi dikandangkan. Jadi merasa aman sajalah kalau ke sana. Apalagi infrastruktur pun sudah bagus antar dusun,” ujar laki-laki Jawa itu saat ditemui usai salat Ashar.
Kikis Egoisme Antar-etnis
Usaha untuk bisa mengelola hutan lestari dari lahan sawit tak bertuan eks konsesi PT BLKS, dalam prosesnya menemui banyak pertentangan dan proses yang memakan waktu dan tenaga. Termasuk usaha untuk menyatukan karakter dan keegoisan dari warga ketiga etnis.
“Dulu saat LPHD sosialisasi, ada satu orang yang merasa orang asli Dayak Kalimantan. Dia marah dan bilang kenapa tanah kami abis diambil? Ya saya jawab aja kalau kita (cuma) Dayak semua di Kalimantan ini bisa berkembang dak? Bisa pintar dak desa ini? Kemudian yang bicara gitu jadi malu sendiri,” cerita Marjono, RW Dusun Maju Bersama yang juga berperan besar dalam merebut status hutan desa, saat dikunjungi ke kediamannya di Riak Bandung, Dusun Maju Bersama.
Dia mengatakan, egoisme eksklusivitas antar-etnis semakin dikikis dengan semakin banyak pendatang yang datang menetap dari tahun ke tahun, walau tempat tinggal masih terkotak-kotakan berdasarkan suku.
“Karena dulu sebelum banyaknya pendatang justru dikendalikan oleh satu orang dengan kehendak dan kemauannya sendiri, mengikuti aturan etnisnya sendiri. Sekarang hal semacam itu sudah hilang,” ujar Marjono yang akrab dipanggil Jon oleh warga sekitar.
Sambil menyeruput teh hidangan istrinya, Jon mengatakan kunci merawat keberagaman yang ia tanamkan hanyalah satu, yaitu timbang rasa. Ia tak jenuh mengingatkan warganya untuk menimbang rasa ‘sakit’ sebelum memilih untuk menyakiti orang.
Menurut Jon, permasalahan pembagian luas lahan antar-desa maupun antar-warga juga menjadi potensi konflik di masa mendatang jika tak segera diselesaikan.
“Karena awalnya buka tanah di sini punya aturan, dari kepala desa yang dulu, almarhum Asmara. Sekitar tahun 98. Isinya perjanjian buka hutan atau buka parit, perjanjiannya dari Sungai Kapuas itu 3 kilometer ke dalam. Itu jatah panjang naiknya,” jelas Jon sambil berusaha menggambar denah khayalan menggunakan jarinya di atas meja.
Jon mengatakan, saat ini satu dusun sudah melanggar surat perjanjian yang ditulis tangan oleh para sesepuh desa dahulu. Untuk mengantisipasinya, LPHD dan tokoh masyarakat Kalibandung mengadakan musyawarah yang kesekian kalinya, saling koordinasi dan perlahan mengedukasi masyarakat terus dilakukan. Sehingga potensi konflik ini dipastikan tidak terus tumbuh nantinya.
Pemukiman penduduk yang terkotak-kotak berdasarkan etnis, dinilai Viza Julian, pengamat sosial di Kalimantan Barat, eksklusivitas ini sudah menunjukkan potensi konflik itu ada.
“Tapi saya melihat sudah terbentuk level pendewasaan dari masyarakat ini. Minimal yang kita tahu sebagian besar masyarakat Dayak menerima dan memilih pemimpin walaupun beretnis Madura. Selama itu dianggap seorang pemimpin yang layak untuk memimpin mereka,” jelasnya saat dihubungi melalui ruang virtual google meeting pada Rabu (7/4).
Menurutnya juga, keberadaan tokoh masyarakat yang dituakan dan dihormati dalam mengantisipasi potensi konflik merupakan hal yang baik, mengingat sebagian besar masyarakat Indonesia yang masih bersifat feodal, namun akan menjadi bencana ketika tokoh-tokoh ini telah habis masanya sebab ada batas usia.
“Ketika kita kehilangan tokoh-tokoh atau institusi tersebut, maka konflik itu akan terus ada,” tegas Viza.
Alternatif yang ampuh menghilangkan potensi konflik tersebut menurutnya adalah dengan membangun kesadaran individu ke semua pihak, hingga menyentuh para kaum muda. Agar potensi konflik hingga 30 tahun kedepan bisa diyakini tidak terjadi.
Caranya adalah dengan perlahan membuka sekat-sekat pengelompokan yang ada, dengan melakukan pembauran secara rutin melalui ruang jumpa antar-etnis. Pelibatan kaum muda juga jadi salah satu bentuk pembauran.
“Ini tidak dapat dilakukan dalam waktu yang singkat, butuh proses,” tutupnya. (*)
*) Liputan ini menjadi bagian dari program Pelatihan dan Hibah Story Grant: Anak Muda Suarakan Keberagaman yang didukung oleh USAID MEDIA, Internews dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).
Penulis : Maratushsholihah
Editor : Dian Lestari