mimbaruntan.com, Untan- Pelecehan seksual bisa terjadi kepada siapa saja. Laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama untuk menjadi korban pelecehan seksual. Opini yang berkembang adalah lazimnya perempuan lebih sering menjadi korban pelecehan seksual, tetapi bukan berarti tidak ada kasus pelecehan seksual yang korbannya adalah laki-laki.
Reporter mimbaruntan.com bertemu Iqbal, bukan nama sebenarnya. Dia seorang mahasiswa gondrong yang menjadi korban pelecehan seksual di ruang publik dan bersedia membagikan kisahnya. Iqbal masih tidak menyangka peristiwa pelecehan seksual tersebut bisa menimpa dirinya.
“Bahkan orang tu menganggap ga bakal terjadi dan aku pun begitu dag bakal terjadi lah,” ujar Iqbal.
Peristiwa yang dialaminya pada tahun 2019, sekitar pukul tujuh pagi, saat suasana masih sangat sepi. Seperti biasa sebelum berangkat kuliah Iqbal bergegas mandi di WC umum komplek Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang menjadi tempat tinggalnya.
“WC tuh ada empat, dua saling berhadapan dan ada sebuah fentilasi . Jadi tu kalo kite ni berdiri di bak bisa nampak orang yang sebelah mandi,” jelas Iqbal saat ditemui di warung kopi, Jalan Siam, Minggu (28/03/2021).
Iqbal punya kebiasaan mandi tanpa menyisakan sehelai benang pun ditubuhnya. Seperti biasa ia menikmati aktivitas mandinya, tanpa mempedulikan sekitar. Namun, setelah selesai mandi Iqbal memergoki ada sepasang mata tengah melihat ke arahnya dari fentilasi. Semula Iqbal mengira itu adalah temannya yang iseng, namun kemudian ia sadar jika itu laki-laki tidak dikenal dan sempat meneriakinya.
“Kalo sejak awal aku tahu orang itu bukan orang yang aku kenal, mungkin aku udah menggrebek dielah istilahnye,” geramnya.
Tidak sampai disitu, ketika Iqbal naik sepeda motor untuk berangkat kuliah, ia kembali memergoki laki-laki tersebut menunggunya di samping depan WC dan baru bergegas pergi setelah Iqbal melajukan sepeda motornya. Iqbal mengaku mengenali pelaku, sebab sebelum kejadian tersebut pelaku sempat beberapa kali melempar senyum kepadanya.
“Aku kire biase jak kan, kayak senyum ramah gitu aku belum sadar awalnye sampai dengan kejadian itu,” ungkapnya.
Iqbal bingung mendeskripsikan perasaannya setelah mengalami kejadian tersebut. “Belum berdamai dengan peristiwa itu, karena kapanpun hal itu bisa kita jumpai lagi, masih khawatir lah! Belum trauma sih, tapi tetap waspada karena kasus seperti ini benar-benar ade,” tutupnya.
Baca juga : Untan Berikan Izin Biaya Parkir di Lahan Parkir Gratis
Kepada reporter mimbaruntan.com, Iqbal berulang kali mengatakan bahwa penting bagi korban untuk berani speak up agar peristiwa serupa tidak terjadi kepada orang lain. Akan tetapi, Iqbal tidak memungkiri jika rasa malu dan takut masih menjadi masalah, sehingga korban baik laki-laki maupun perempuan tidak berani untuk bicara.
Iqbal turut membagikan ceritanya yang sering di-bully oleh teman-teman di lingkungan pergaulannya baik laki-laki maupun perempuan, karena dianggap laki-laki gondrong yang mirip perempuan. Iqbal juga mengaku sering dipanggil cantik oleh teman perempuannya, dan sebagian dari mereka mengaku minder dengan penampilan Iqbal.
“Katenye gagal jadi cewek,” kenang Iqbal sambil tersenyum kecut.
Menurut Iqbal banyak orang yang salah mengira dirinya perempuan. Di kampung tempatnya tinggal misalnya, Iqbal sering mendapat cat calling dari teman laki-lakinya karena jarang sekali ada laki-laki berambut gondrong.
Selain Iqbal, reporter mimbaruntan.com juga menghubungi tiga laki-laki lain yang pernah menjadi korban pelecehan seksual. Akan tetapi, ketiganya mengaku keberatan jika ceritanya ditulis.
Dampak Pelecehan Seksual : Paranoid Personality Disorder
Laki-laki yang menjadi korban pelecehan seksual juga turut merasakan malu, takut, khawatir bahkan trauma, sama halnya dengan korban perempuan. Viva Darma Putri, dosen dan psikolog, menyebut bahwa trauma tidak melulu terjadi ketika ada sentuhan langsung. Akan tetapi, diintip bisa mengakibatkan trauma. Apalagi diintip di kamar mandi yang merupakan area privasi seseorang, maka bisa menimbulkan paranoid. Apabila paranoid tidak diatasi, bisa menjadi Paranoid Personality Disorder (PPD) terhadap orang lain.
Dilansir dari WebMD dalam Klik Dokter, PPD atau gangguan paranoid personal adalah kondisi kesehatan mental yang termasuk dalam golongan cluster A. PPD merupakan gangguan mental yang melibatkan cara berpikir yang eksentrik dan menyebabkan penderitanya paranoia. Kondisi ini ditandai dengan sering berpikir aneh dan berkhayal, bahkan menaruh kecurigaan dan tidak bisa percaya dengan orang lain.
Lebih lanjut dalam artikel yang dirilis oleh Halo Doc dikatakan bahwa laki-laki memiliki risiko yang lebih besar dibanding perempuan untuk menderita PPD. Faktor lingkungan berupa trauma fisik dan emosional pada pengalaman masa awal kanak-kanak, diduga menjadi salah satu penyebab munculnya gangguan mental ini.
Gejala umum PPD antara lain :
- Kekhawatiran bahwa orang lain memiliki motif tersembunyi
- Ekspektasi bahwa mereka akan dieksploitasi (digunakan) oleh orang lain
- Meragukan komitmen, kesetiaan, atau kepercayaan orang lain, yakin bahwa orang lain menggunakan atau menipu mereka, dan ;
- Enggan untuk bercerita pada orang lain atau mengungkapkan informasi pribadi dikarenakan rasa takut bahwa informasi tersebut akan digunakan untuk melawan mereka
Menurut Viva, penanganan psikologis memerlukan waktu yang lama, bergantung pada korban. Dia menambahkan bahwa gangguan psikis seperti PPD tidak bisa disembuhkan secara total. “Namanya juga gangguan psikis itu long life, sepanjang hidupnya,” jelas Viva.
Dia menggarisbawahi bahwa gangguan psikis seperti PPD, menunjukkan bahwa korban pelecehan seksual baik laki-laki maupun perempuan menghadapi ketakutan dan kekhawatiran, sehingga harus mendapat penanganan yang layak. Akan tetapi, persoalan lain yang dihadapi oleh laki-laki korban pelecehan seksual adalah adanya anggapan menormalisasi perilaku tersebut di tengah masyarakat. Laki-laki yang menjadi korban pelecehan seksual dipertanyakan maskulinitasnya, akibatnya korban memilih diam dan tidak mau melapor.
Viva menyayangkan sikap masyarakat yang menambah beban psikologis laki-laki dan perempuan korban pelecehan seksual. “Pada saat laki-laki menjadi korban, dia di-bully. Padahal pada saat perempuan menjadi korban itu laki-laki itu dipergunjingkan. Padahal sama aja yang kalian lakukan itu sama-sama pelecehan seksual,” tegas perempuan 31 tahun ini dengan nada meninggi.
Sikap diam yang dipilih oleh korban, menyebabkan jarang ditemukannya data pelecehan seksual pada laki-laki, sehingga sulit untuk mengatasi persoalan ini. Permasalahan lain adalah tidak adanya payung hukum dan juga payung organisasi untuk penanganan dan pemulihan bagi laki-laki korban pelecehan seksual. Kondisi ini bisa jadi semakin menambah deretan panjang korban yang memilih diam dan menyembunyikan traumanya.
Bahaya Normalisasi Pelecehan dan Pentingnya Ruang Inklusif
Reporter mimbaruntan.com pada Selasa (06/04/2021) menemui Tuti Suprihatin, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Perempuan Indonesia untuk Keadilan (YLBH-PIK) Pontianak, untuk menggali data tentang pelecehan seksual yang dialami oleh laki-laki.
Menurut Tuti, sejak yayasan berdiri tahun 1998 hingga sekarang dia belum pernah menjumpai adanya laki-laki yang menjadi korban pelecehan maupun kekerasan seksual melapor atau bahkan sekadar berkonsultasi.
“Apalagi laki-laki gondrong ya. Sekadar konsultasi pun belum ada. Karena memang itu tadi, stigma masyarakat dan budaya malu di korban ya,” ujar Tuti.
Menurut Tuti, masyarakat lebih sering mendengar korban pelecehan seksual adalah perempuan dan pelakunya adalah laki-laki. Sehingga ketika situasinya dibalik, masyarakat malah memberikan stigma kepada korban. Di samping itu, ada pula korban yang tidak menyadari jika dirinya mendapat pelecehan. Hal tersebut terjadi karena minimnya pengetahuan tentang bentuk-bentuk pelecehan seksual di masyarakat.
Sikap yang tidak tepat terhadap laki-laki korban pelecehan seksual, akan menimbulkan dampak negatif. Nikodemus Niko, mahasiswa doktoral program studi Sosiologi Universitas Padjajaran, menyatakan bahwa pada titik tertentu laki-laki yang menjadi korban pelecehan seksual akan menormalisir perilaku melecehkan yang didapatnya. Kondisi ini menurut Niko sangat berbahaya, karena jika terus berulang, maka akan mengakibatkan hilangnya sensitivitas pada korban.
“Itu berbahaya! Perasaan korban jadi biasa aja. Ini persoalan yang sangar besar. Korban yang akan menjadi seperti semacam menyembuhkan dirinya sendiri, yang terjadi sekarang seperti itu, ” ujar Niko melalui Zoom Meeting, Jumat (26/03/2021).
Baca juga : Perpustakaan Untan Naikkan Denda Pengembalian Buku di Masa Pandemi
Menurut Niko, Niko sangat penting agar setiap orang baik laki-laki maupun perempuan memiliki sensitivitas terhadap tubuh dan pikirannnya, agar bisa terhindar dari pelecehan seksual.
“Mestinya harus ada anggapan sensitif. Misal aku punya kuasa atas tubuhku sendiri, misalnya aku tidak setuju kamu menyentuh tubuhku. Kenapa? Itu harus dIbangun dari diri sendiri, dan tidak boleh dinormalisasi,” tambahnya.
Hal senada juga diungkapkan Ahmad Junaidi, Direktur Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (Sejuk). Dia mengingatkan bahaya normalisasi perilaku pelecehan seksual, karena bisa berujung pada kekerasan seksual.
“Misalnya ke kampus, dia ke toilet pria. Sementara pria ini berniat ngintip lah, dan ini bisa sampai pada tahap kekerasan seksual, ini baru pelecehan seksual ya,” pungkasnya saat diwawancarai via Zoom Meeting, Senin (29/03/2021).
Menanggapi kondisi tersebut, Ahmad menganggap penting dilakukan edukasi tentang pelecehan seksual, serta ruang inklusif yang bisa menjadi support group bagi para korban. Penyebaran informasi dan pemahaman tentang bentuk-bentuk pelecehan seksual, bertujuan untuk mengembalikan sensitivitas di tengah masyarakat agar saling menghargai. Oleh sebab itu, diperlukan ruang-ruang aman untuk bisa berbagi dan memberikan dukungan kepada korban.
“Pendidikan orang tua, pendidikan anak di sekolah, di kampus, misalnya yang penting ditanamkan bahwa laki-laki jangan melecehkan, atau perempuan jangan megang-megang, siul-siul. Bagi korban, megang-megang itu pelecehan. Bukan hal biasa,” tegasnya. (*)
*)Liputan ini menjadi bagian dari program Pelatihan dan Hibah Story Grant: Anak Muda Suarakan Keberagaman yang didukung oleh USAID MEDIA, Internews dan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).
Penulis : Mita Anggraini
Editor : Dian Lestari