Kau adalah selembar daun terakhir yang tumbuh di ranting yang membenci angin. Namun angin terlalu kencang sampai meniup serpihan debu yang mencetak langkah kaki yang ragu ragu di jalan itu.
Selembar daun itu pun jatuh dan menyatu dengan butiran hujan. Ia mengkristal sejak dari perjalanan panjangnya dari langit, menuju pohon berbunga itu. Menyusur gurat-gurat batang pohonnya dan diserap akar pohon itu.
Kau adalah kelahiran dari pohon itu. Mencipta bunga bunga yang senantiasa melayang jatuh menutupi halaman rumahku, yang sedikitpun tak ingin kusapu. Sebab sesaat adalah abadi; kuingin memandangi bunga yang terbaring itu sebelum angin datang dan menghamburkanmu di udara hangat itu. Kuingin mengutip helai demi helai kelopak yang berguguran di tanah itu, dan merangkainya menjadi bait-bait sajak yang akan kukalungkan padamu setiap malamnya. Sesaat adalah abadi; kuingin menafsirkanmu sejenak menjadi bara unggun yang menghangatkanku sebelum pagi datang.
Kau adalah puisi yang terbentuk dari ribuan kupu-kupu yang menari-nari di padang gersang itu. Puisi cinta yang halus serupa bunyi kepak sayapmu membisikkan agar kita bisa lebih lama tinggal di padang ini. Hanya kita, bersama ilalang panjang yang tampak malu malu dengan kehadiran kita.
Tentangmu, aku mengenal sedikit. Namun sedikit adalah kemegahan jika itu dirimu.
Aku mengenalmu ketika pagi datang. Kau menjelma embun di pucuk kamboja yang membuat pucuk itu melengkung anggun seakan menunduk pada cahaya pertama di bangun tidurku.
Ketika matahari menunjukkan teriknya, kau menjelma udara hangat yang menerpa pipi, rambut dan bulu-bulu mataku. Kau menggoyang goyangkan dahan ketapang yang memaksanya melepas dedaunannya.
Ketika matahari menuju Barat, kau menjelma serupa lukisan yang dibuat camar laut yang pulang ke sarangnya. Kau menggores semburat oranye senja dengan putih sayapmu, menciptakan kepulangan yang harus disambut dengan selamat datang.
Pada malam hari, tepat di hadapan rembulan kau menjelma ribuan gemintang yang menjadi selimut tatkala aku berbaring di padang. Membentuk ribuan rasi yang memandu para pelaut kembali ke peraduannya.
Jika kata Sapardi ia ingin mencintai dengan sederhana, maka itu tak berlaku padamu. Aku mencintaimu dengan megah. Dengan kata yang tak sempat tersampaikan, pucat rembulan pada matahari, yang tersirat doa malamku.
Pada suatu hari nanti,
Jasadku tak akan ada lagi,
Tapi dalam bait-bait sajak ini,
Kau tak akan kurelakan sendiri.
Beristirahat dalam puisi, eyang Sapardi Djoko Damono.