“Kemarin dicat hijau, sekarang ditambah lampu. Siapa yang bertamu kali ini?”
Aku menggeleng keras untuk pikiran sendiri. Sudah berkali-kali rumah di depan menarik perhatianku. Ya setidaknya hanya Aku dari tiga manusia di rumah ini yang tertarik dengan tetangga di depan-boleh dikata simpati-.
Seharusnya rumah memang seperti itu kan? Halaman rumah luas, kadang diletakkan tanaman kamboja, atau bunga lili kegemaran ibu-ibu, kadang juga dipenuhi kendaraan yang berjejer rapi menyesuaikan jalan keluar. Idealnya tempat tinggal, senyaman mungkin pemiliknya berbenah, menyusun satu dua barang, memasang gorden paling cantik, dan meletakkan kursi di depan untuk tamu jauh atau kurang dikenal.
Semua kriteria rumah ideal menurutku ada di rumah seberang, berwarna hijau dan halaman terang. Di sana katanya juga terdapat ruang tamu yang besar, cukup luas untuk menampung keluarga dan sanak saudara saat hari raya, atau hari-hari spesial lainnya.
Baca Juga: Melestarikan Cerita Rakyat Kalbar, Guru Sejarah SMAN 1 Pontianak Ajak Siswa Terbitkan Buku Antologi
Dulu sekali, sebelum masuk TK (Taman Kanak-kanak), aku sering bermain di halaman luas itu, bersama dua bocah seusiaku. Lala dan Rian namanya. Seukuran bocah belum genap enam tahun, Aku mampu menjaga memori-memori menyenangkan dengan baik.
Lala dan Rian akan menghampiriku di waktu sore, ditemani truk mainan dan boneka Pooh berbaju merah. Mereka akan berbagi cerita mengenai mainan-mainan yang dibawa, seperti boneka Pooh kesayangan Lala. Katanya boneka itu dibeli dari luar negeri sebagai kado ulang tahun ke lima.
Aku selalu semangat mendengarkan cerita mereka setiap kali berkunjung di sore hari. Setidaknya Lala dan Rian memberikanku hiburan sebelum mereka-aku tidak suka memanggilnya ayah dan ibu-sampai di rumah, dan kembali bertengkar, seperti biasa.
Tidak ada yang menarik dari masa kecilku selain mereka. Oh, mungkin ada satu, Mbak Jian, pengasuh sekaligus kakakku di rumah. Dia akan datang sebelum jam enam pagi, dan pulang sekitar jam empat sore. Sebelum pulang ke rumahnya, Mbak Jian akan mendandaniku dengan jepitan warna-warni yang ia beli dari pasar.
Rambutku dikepang dua, kadang diikat kuda dengan poni yang disusun rapi, bahkan lengkap wangi doremi kids warna merah muda yang ia semprotkan ke bajuku. Namun sayangnya, Mbak Jian berhenti bekerja ketika Aku menginjak tahun kedua sekolah menengah, dengan alasan Ibunya sedang sakit keras. Senangnya bisa merawat Ibu di masa sulit seperti itu. Andai Aku juga.
Rasanya waktu cepat sekali berlalu, bahkan untukku yang hanya mendapati berbagai kosakata sakral bermakna kebencian setiap pulang sekolah. Jika dulu Aku akan menangis dengan pintu kamar yang tertutup rapat, beberapa tahun setelah mereka memutuskan berpisah secara sepihak aku hanya akan berlalu melewati meja makan sambil mengacuhkan panggilan untuk duduk dan makan bersama.
Ia, di rumah yang tidak terawat ini, tidak hanya Aku yang menempati, tetapi juga lelaki tua berprofesi pengacara “dengan seratus title kehormatan” yang akan pulang setelah gelap, atau bahkan bermalam di rumah kekasihnya, wanita muda berumur 20 tahun.
Alih-alih menggunakan pengalaman kerjanya untuk memperbaiki hubungan, lelaki itu lebih senang mempermainkan hati istrinya dengan mengoleksi berbagai tingkatan umur wanita muda yang haus harta.
Sungguh, lebih buruk dari sampah bukan?
Kadang muncul pertanyaan, seperti apakah ideal “rumah” yang sebenarnya itu. Apakah seperti rumah di seberang, atau ada gambaran lain yang jauh lebih indah dan tenang daripada bangunan berumur dua tahun lebih tua dari usiaku sekarang ini? Menginjak usia 26 tahun, definisi rumah ideal itu menjadi momok menakutkan bagiku. Terlebih diusia ini, Aku bukan lagi gadis belia dengan totebag dan handphone ditangan seperti anak-anak kuliahan.
Hidup jauh lebih rumit dari tugas-tugas dengan deadline sesak, dan rapat organisasi pengejar proker itu. Membangun rumah, artinya membangun kenyamanan di dalamnya. Tidak hanya tiang yang kokoh, manusia dan ajarannya juga harus kokoh bukan? Aku tidak mau anak-anakku nantinya tidak menerima kenyamanan di rumah mereka kelak.
Kemarin saat turun ke lapangan, Aku menjumpai seorang Ibu dengan tiga anak di perumahan kumuh belakang tempat pembuangan akhir. Ia menyambut ramah sambil memberi segelas air putih dan senyuman hangat, sedikit memperlihatkan guratan halus di wajahnya yang termakan usia. Saat itu, dia tidak sendirian.
Di rumah berpintu karung beras 50 kg, terdapat gadis kecil berumur sekitar lima tahun dengan tumpukan kaleng bekas di tangannya, menyusun kaleng-kaleng itu bak tiang pencakar langit, dan merobohkannya kembali setelah kalengnya habis. Ketika kami mengobrol, sang gadis kecil tidak bosan-bosannya mengoceh sambil sesekali berkata,
“Rumahku tinggi! Rumahku tinggi!” dengan penuh semangat.
Ibunya hanya terkekeh pelan, aku pun begitu. Kata sang ibu, dulu ayahnya pernah membawa gadis kecil ke jalan raya dengan pemandangan gedung-gedung tinggi. Gadis kecil di dalam gerobak jerigen kosong itu sangat senang dengan dongeng sang Ayah bahwa gedung-gedung tinggi yang mereka lihat adalah rumah.
Dingin, punya pintu setinggi dua kali orang dewasa, kasur empuk, dan kamar mandi bersih. Luasnya, 20 kali lipat dari rumah mereka. Aku jadi penasaran bagaimana orangtua dan ketiga anaknya bisa hidup dari sisa-sisa barang bekas yang mereka kumpulkan dan jual pada pengepul.
Sang Ibu sempat bertanya apa yang Aku sukai, dan apa yang tidak Aku sukai.
“Sepi. Aku paling tidak suka sepi. Aku suka suasana yang ramai,” ucapku saat itu.
Sang Ibu kemudian tersenyum, lalu menunjuk keluar pintu karung, memusatkan telunjuknya pada anak-anak lain. Kemungkinan dua atau tiga tahun lebih tua dari gadis kecil.
Mereka sibuk berlarian,
“Disini ramai, kamu bisa kesini kapanpun.”
Jika merasa sendiri, Aku bisa kembali ke perkampungan pengepul itu kapan saja katanya. Mereka saling berbagi hidup di sana, walau tidak ada listrik, air bersih, dan kipas angin di setiap ruang. Ah, jangankan ruang, rumah sepetak itu harus bersyukur dengan adanya jendela.
Baginya, rumah sekecil apapun memang akan terasa nyaman jika tidak termakan sunyi. Cukup anak-anak bisa makan dengan lahap, bermain dengan ceria, mendengar setiap bualan sang Ayah dengan semangat, dan tidak menangis saat tersandung papan di malam hari, sudah jauh lebih nyaman daripada rumah-rumah beratap tinggi.
Mereka tidak berharap mempunyai pekarangan luas dengan berbagai macam tumbuhan hias seharga tiga kali minyak makan. Mereka hanya meminta hidup lebih lama, melihat anak-anak tumbuh dengan pandai membaca, menghabiskan waktu untuk mengemis pada sang pencipta, bukan orang-orang kaya.
***
Baca Juga: Retrospeksi: Harmonisasi Kehidupan melalui Seni Lukis
Lampu rumah di depan tiba-tiba saja mati, tepat setelah mobil terakhir keluar dari garasi. Aku menarik nafas panjang sebelum berdiri. Rasanya baru beberapa hari lalu terdengar teriakan histeris dari penghuni di dalam, lengkap dengan banjir cairan merah di lantainya.
Bahkan baru satu jam lalu lantunan ayat-ayat suci diucapkan oleh beberapa orang lelaki dewasa di sekitar komplek. Sekarang, rumah itu akan kembali redup, entah dalam jangka waktu yang lama atau tidak. Warna cat temboknya kemungkinan akan luntur dalam beberapa tahun, juga bunga lili akan mati tak terawat, menyusul sang pemilik yang tidak tahu akan tenang atau tidak dengan kepergiannya.
Manusia mungkin akan selalu lupa, bahwa lampu-lampu jalan tidak selamanya menerangi sekitar pekarangan. Warna terang pada tembok rumah tidak selalu menggambarkan keceriaan penghuni di dalamnya. Terang yang dilihat oleh mata, belum tentu memudahkan kaki lolos dari tersandung kursi atau meja.
Kenyataannya, rumah di seberang itu membawa sang pemilik pada pertengkaran hebat yang berujung pertikaian, bahkan jauh dari kata tenang yang selama ini Aku bayangkan setiap kali terdapat banyak manusia di dalamnya.
“Setidaknya rumah yang dulu ideal juga punya luka,” gumamku pada diri sendiri.
Penulis: Fitri Liani