mimbaruntan.com, Untan- DPR Indonesia makin tidak jelas rupanya. Tidak cukup capim paling kontroversial mereka loloskan, mereka tambah serangan dengan merevisi UU KPK.
Agus Rahardjo sebagai ketua KPK menganggap upaya itu sebagai serangan telak bila revisi UU KPK disahkan. “Kami berada di ujung tanduk” kata Agus. Kendati DPR menganggap revisian itu untuk menguatkan KPK, namun kita bisa memahami bila yang demikian hanya retorik belaka. Fahri Hamzah misalnya, ia menyatakan bahwa ini adalah agenda rakyat, “Presiden sebenarnya setuju dengan pikiran mengubah UU KPK sesuai dengan permintaan banyak pihak.” walau entah pihak mana yang dimaksud fahri.
Yang jelas, pihak yang dimaksud itu bukan dari rakyat kebanyakan, karena alih-alih mendukung DPR dengan merevisi UU KPK, rakyat kali ini lebih berposisi sebagai musuh dari wakil yang dipilihnya.
Secara historis DPR ini memang begitu sering menimbulkan kontroversi. Kontroversi seakan menjadi oksigen bagi DPR yang tanpanya, DPR lalu mati. Kontroversi layaknya kayu bakar yang harus diperbarui. Dari UU ITE hasil revisi tahun 2016, RUU Permusikan, UU MPR DPR dan DPD (UUMD3), Pasal-pasal dalam RKUHP yang september ini direncanakan untuk disahkan dan sederetan kontroversi lain yang dibuat oleh DPR hanya minimal dalam periode ini.
Kita bisa memahami perkara-perkara ini sebagai hasil dari campur aduknya antara kepentingan dan permainan politik. Sebuah upaya penggunaan hukum untuk memudahkan kepentingan beberapa pihak saja. Hukum menjadi barang yang diambil satu sisinya dan bagi kepentingaan satu sisi saja. Sebuah contoh jelas, dari istilah abuse of power.
Sederetan kasus itu mengingatkan saya pada adagium dari Prof Sartjipto Rahardjo. Akademisi yang menyatakan bahwa hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.
Proyek legislasi yang pada gilirannya akan menjadi produk hukum tentu termasuk dalam adagium itu. Hukum yang semula dibentuk bertujuan untuk membantu manusia mencapai kemaslahatan seakan tidak dijadikan dasar oleh DPR.
Alih-alih menimbulkan keadilan, sederetan produk hukum yang kontroversi itu lebih sering memakan korban. digunakan untuk menjadi tameng sekaligus dari pembenar apa yang dilakukan oleh pejabat dan elit-elit politik.
Roscoe Pound, seorang ahli hukum beraliran sociological jurisprudence juga seirama dengan Sartjipto, ia memberikan penegasan bahwa tugas utama hukum adalah sebagai alat dari rekayasa sosial (law as a tool of social engineering). Hukum dibuat untuk meubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain. Sehingga bila perubahan yang dicita-citakan adalah untuk kepentingan rakyat, maka partisipasi dari rakyat menjadi bagian integral dari suatu pembentukan hukum.
Dan pada gilirannya kita mengetahui, bila teori dari Sartjipto dan Roscoe tak banyak digunakan oleh DPR, khususnya dalam kasus revisi UU KPK. Kemunculannya begitu ajaib bila tak mau dikatakan aneh dan terkesan ditutup-tutupi. Dalam draft usulannya akan ada 12 pasal yang diubah, dari perkara Independensi sampai ruang gerak yang semakin dibatasi.
Dan dari 12 pasal yang akan diubah itu kita tahu, bukan perubahan seperti itu yang diharapkan oleh rakyat. Sama sekali bukan. Sebab tidak mungkin rasanya rakyat menghianati KPK yang selama ini menjadi garda terakhir harapan akan negeri yang bebas dari korupsi.
Rakyat tidak membutuhkan kejumudan kekuasaan. Rakyat hanya mendambakan negara yang kuat, bersih dan berdaulat. Atas dasar itu tidak mungkin akan ada negara yang kuat bila penegakan hukumnya lemah. Tidak mungkin pula negara bisa bersih bila kain lap yang digunakan penuh dengn kotoran najis yang tidak pernah dibersihkan.
Sebab mendambakan negara yang berdaulat tidak hanya butuh pakaian yang bagus, makanan yang sehat, lapangan kerja yang tersedia, akan tetapi juga penegakan hukum yang adil dan tidak pandang bulu.
Betul bila DPR berpikir ada hal yang perlu diperbaiki, tentu ini adalah suatu dasar yang baik, akan tetapi bila DPR merepresentasikan dirinya sebagai wakil dari rakyat, tentu dasar baik itu merujuk pada rakyat secara umum.
Saya, anda, kita semua menantikan keserasian antara rakyat dengan wakilnya. Kita menantikangerakan-gerakan serupa #saveKPK atau #hidupmatibersamaKPK terjadi di DPR. Ketika DPR terancam hidupnya karena membuat legislasi yang melindungi rakyat, sehingga rakyat urunan dukungan. Kita menantikan produk hukum yang menjadi “mesiah” bagi rakyat. Karena memang itu adalah interaksi dasar yang harusnya terjalin antara rakyat dengan wakilnya.
Namun bila yang terjadi malah sebaliknya, saat banyak masyarakat malah menjadi oposisi dari DPR, maka kita harusnya menyadari bahwa terdapat permasalahan fundamental di lembaga negara itu. Sebuah soal yang harusnya tidak terjadi sehingga menimbulkan tanya, siapa sebenarnya yang diwakili oleh wakil rakyat kita
Penulis: Adi Rahmad