Tubuh berwarna abu menjadi pertanda sudah usanglah mereka. Bermodalkan atap pelindung, masihlah kokoh berdiri hingga kini. “Laki-laki” dan “perempuan” ini seakan meyambut dan mengantar orang-orang yang melintasi jalan Sintang-Pontianak. Saat mengambil beberapa jepretan, sayangnya mereka tak bisa tersenyum atau bergaya. Ya, mereka hanya lah benda yang tak hidup, namun menjadi tonggak pergerakan penduduk Desa Paoh Benua di era 2000.
Dua puluh empat tahun lalu, Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) pernah menjajah Pulau Kalimantan. Di mana-mana ada kebakaran, termasuk di Desa Paoh Benua, yang jaraknya 36 km dari Kabupaten Sintang. Kurang lebih setengah tahun lamanya panas dan asap berdiam di desa. “Jadi apinya turun dari sana (arah Selatan Desa Paoh Benua/red) sampai kapuas,” ucap Mangku selaku Ketua Adat Desa Paoh Benua.
Kami menemui Mangku di kediamannya yang tak jauh dari Empagu. Bersama sang istri, ia menyambut hangat kedatangan kami. Dari pintu masuk terlihat beberapa gantungan tengkorak Rusa dan Babi Hutan hasil buruan Mangku dan keluarga. Saat itu Mangku yang memakai celana bola dan baju partai memulai cerita dan pengalamannya.
Ia mulai mengenai hutan dan lahan milik penduduk desa yang habis dilahap si jago merah. Ia masih ingat bagaimana pepohonan besar seperti Durian dan Tengkawang yang mendominasi daerah itu tak luput dari api. Kebun Karet yang menjadi ladang penghasilan pun habis. Hingga suatu hari, tepat pukul satu siang, api semakin lahap dan menghanguskan dua rumah di desa tersebut. “Rumah pun dua terbakar di sini waktu apinya lewat. Gereja Protestan satu, ada rumah adik ipar saya ujung sana (Dusun Sungai Tapang/red) satu, kenak api. Karena api lewat sini jam satu siang,” ujarnya.
Dua tahun setelah kebakaran hutan, tepatnya di tahun 2000, para tetua desa bermusyawarah. Dalam musyawarah itu mereka sepakat ingin memulai hidup baru. Hidup baru yang dimaksud penduduk Desa Paoh Benua adalah mulai berkebun, menanm buah-buahan, ataupun berwirausaha.
Kesepakatan para tetua dalam musyawarah ditandai dengan dibuatnya patung berukuran kurang lebih tinggi 1 m dan lebar 20-30 cm. Patung yang berdiri di tengah desa ini berjumlah 2 patung, dengan replika perempuan dan laki-laki. Patung ini lah yang kemudian disebut dengan Empagu. “Lambang itu (Empagu/red) sebagai hidup baru dari nol,” kenang Mangku.
Bermula dari Pentik
Percaya akan sebuah lambang bermula saat penduduk desa masih memegang Kepercayaan Animisme. Kepercayaan ini menganggap setiap benda yang ada di bumi mempunyai jiwa yang harus dihormati agar roh tidak mengganggu manusia. Penduduk Desa Paoh Benua menyebut kepercayaan ini dengan Urang Kuno. “Urang Kuno, karena belum ada yang memerintah, belum ada yang jajah, belum ada sekolah. Karena belum ada semua, jadi kuno,” jelas Kemarau yang usianya sudah paruh baya.
Menurut Kemarau, berdirinya Empagu adalah sisa-sisa dari kepercayaan Animisme. Di tahun 2000 penduduk Desa Paoh Benua memang sudah mengenal agama, namun masih dengan Kepercayaan Urang Kuno. Jadi, setelah mengalami kebakaran hebat mereka memutuskan untuk membangun pelindung desa atau penangkal roh jahat, yang kemudian dibuat dalam bentuk Empagu.
Kemarau yang berstatus sebagai Dewan Adat Desa Paoh Benua adalah satu di antara saksi terbentuknya Empagu. Ia bercerita mengenai kepercayaan animisme yang masih kental di tahun 1960 an. Kala itu umurnya 7 tahun. Masih banyak patung-patung kecil atau yang disebut pentik berdiri di belakang rumah tiap keluarga. “Kalau patung itu biasanya dulu ditanam, misal 1 KK 5 orang, jadi bikin 5 patungnya. Tapi tanamnya di rumah masing-masing,” ceritanya.
Pentik dan Empagu adalah patung yang dipercaya sebagai pelindung atau penangkal roh jahat. Bedanya, Pentik berdiri di rumah masing-masing keluarga sedangkan Empagu berdiri tengah desa. Penduduk Desa akhirnya memilih membangun Empagu daripada Pentik, karena jumlah tukang bangunan yang pandai mengukir patung tahun 2000 tak sebanyak di tahun 1960 an.
Dari tahun 1960 hingga 1980, agama dan pendidikan mulai masuk ke Desa Paoh Benua. Menurut Kemarau, hal ini membuat pentik yang harusnya selalu ada di setiap rumah, mulai berkurang. “Mulai dari tahun 60, 70, 80, ada yang bikin (pentik/red), ada yang ndak,” ungkap Kemarau dengan logat daerahnya.
Empagu, Pemersatu Desa
Empagu yang dikenal oleh penduduk Desa Paoh Benua dipercayai sebagai lambang hidup baru. Menurut Diaz Restu Darmawan, seorang akademisi Universitas Tanjungpura, adanya kepercayaan-kepercayaan inilah yang menciptakan sebuah lambang atau simbol. “Manusia Dayak butuh benda yang bisa memaknai hidup mereka yang terikat dengan pengetahuan lokal, khususnya pada roh-roh agung yang dipercayai ada di dalam hutan. Untuk memenuhi perasaan batin mereka, ya mereka menyepakati dengan membuat Empagu ini,” ujarnya melalui pesan WhatsApp, (20/8).
Menurutnya, animal symbolicum oleh Ernt Cassirer merupakan dasar teori yang tepat untuk menggambarkan penduduk Desa Paoh Benua. Teori ini berasumsi manusia bisa berkomunikasi tanpa menggunakan bahasa, tetapi bisa menggunakan simbol dari suatu benda.
Empagu yang semula didirikan hanya sebagai pelindung kini menjadi pengharapan penduduk Desa Paoh Benua untuk melanjutkan hidup. Perlahan-lahan, desa yang pernah hangus ini berkembang hingga menampung 80-90 Kepala Keluarga (KK) per dusun. Sehingga, jika diakumulasikan desa yang terdiri dari 6 dusun ini, terdapat kurang lebih 500 KK.
Tak hanya perihal jumlah jiwa, kondisi ekonomi penduduk Desa Paoh Benua telah jauh berkembang, misalnya saat pelaksanaan gawai. Meskipun hanya bermodalkan dana patungan dari penduduk desa, Mangku mengungkapkan mereka tidak pernah meminta sumbangan ke pemerintah atau ke desa lain untuk mengadakan gawai. “Tapi tetap cukup, bahkan lebih. Kekuatan kita udah kuat,” ungkapnya.
Sejak dibangunnya Empagu, penduduk Desa Paoh Benua memutuskan rutin untuk mengadakan gawai tiap tahunnya. Empagu yang semula hanya menjadi lambang kebangkitan dari kebakaran 1997, kini menjadi pemersatu banyak orang. “Kadang-kadang mugkin ribuan yang datang (ke empagu/red),” ungkap Mangku.
Jumlah orang yang banyak datang saat gawai, bukan hanya berasal dari Desa paoh Benua. Pihak pemerintah dan penduduk desa tetangga juga hadir. Selain Suku Dayak, ada beberapa suku lain yang bergabung seperti Jawa dan Tionghoa. “Kadang ada orang Jawa yang nanya, ‘kapan gawai pak’. Tapi dengan baik, bukan menghina atau apa. Kami bilang betul ‘nanti kami panggil undangan pak’. Datang mereka, bagi yang mau,” cerita Kemarau sambil tersenyum.
Hilangnya Empagu
Sudah 21 tahun Empagu berdiri di Desa Paoh Benua. Letaknya persis di depan gereja, namun tidak pernah menjadi perdebatan bagi penduduk desa. Jon Pizer selaku Ketua Stasi Gereja Katolik Paoh Benua mengatakan justru gereja yang mempunyai andil dalam merawat kebudayaan seperti Empagu. “Di Jawa, mereka sembahyang menggunakan Bahasa Jawa. Kita juga misalnya di Kanayant, pakek Bahasa Ahe. Ndak ada istilahya untuk mematikan adat budaya, malah menghidupkan,” tegasnya.
Meski begitu, keberadaan empagu bukan tiada hambatan. Di tahun 2002, Empagu yang dibangun atas harapan baru penduduk desa itu hilang dicuri. Sehingga masyarakat bergotong royong membangun kembali Empagu agar dapat melaksanakan gawai di pertengahan tahun. “2002 (Empagu/red) ilang, dipotong orang,” ungkap Mangku.
Kejadian hilangnya Empagu terulang di tahun 2005. Menurut Mangku, itu adalah kejadian terakhir. Karena sampai kini Empagu kembali berdiri kokoh di tengah desa.
Penduduk Desa Paoh Benua terus teguh untuk mempertahankan Empagu sebagai lambang kebangkitan. Hingga, di tahun 2013 penduduk desa dilanda krisis ekonomi dan hasil panen yang kurang memuaskan. Atas kesepakatan bersama, gawai pun tidak dilaksanakan. “Jadi itu (tahun 2013/red) gagal, jadi hanya aku bikin acaranya. Aku bikin selubat (makanan/red) dihampar di situ. Kalau bahasa sini, diumpan, dikasi makan,” jelas Mangku saat ditemui di kediamannya.
Terlebih sejak adanya pandemi, kegiatan di Empagu semakin berkurang. Empagu yang semula ramai dikunjungi, kini sepi. “Disarankan pemerintah ndak boleh kumpul terlalu ramai, jaga jarak. Jadi kita ndak gawai, tapi tetap kita umpan,” ucap Mangku.
Kerinduan untuk rutin mengadakan kegiatan di Empagu dirasakan penduduk Desa Paoh Benua. Termasuk para pemuda desa yang menjadi panitia atau pengada gawai. “Malah kalau tidak dirayakan, kami yang kangen, kami yang rindu,” ungkap Yosafat, seorang pemuda Desa Paoh Benua.
Meskipun gawai tidak dilaksanakan di tahun 2020 hingga 2021, Yosafat mengungkapkan kepercayaan akan Empagu dapat terwarisi. “Kalau menurut saya, nilai-nilainya itu ditanam sedari kecil,” ucapnya.
Ia menambahkan dengan adanya Empagu, para pemuda makin mengerti tentang kebersamaan penduduk desa. Baik di Empagu itu sendiri maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis: Anggela Juniati & Antonia Sentia
*Tulisan ini telah terbit di Majalah Edisi 14. Dapatkan segera versi cetaknya dengan menghubungi +62 896-9341-6991 (Stephanie)