mimbaruntan.com, Untan– “Kopi susu 3 juta,” ucap pria berumur 69 tahun itu saat dikunjungi pada Minggu dini hari (21/03).
Bagi orang yang tak mengenal beliau, pasti akan terkejut mendengar harga yang selangit hanya untuk segelas kopi pancong. Ialah Kasino, atau kerap disapa “Pakde”, seorang penjual kopi pancong di balik kesibukan pasar pagi Flamboyan.
Rambut putih dan senyumnya menyambut para pelanggan setia yang ingin menikmati hangatnya kesederhanaan dalam setiap seruput kopi yang ia sajikan.
Ditemani rintik gerimis, tepatnya jam 03.40 dini hari, jantung keramaian pasar pagi Flamboyan, Pontianak mulai berdetak. Ramainya penjual dan pembeli menyesakkan tempat tersebut.
Suara mesin penggilingan, teriakan pedagang, sampai suara derap kaki yang menginjak tanah becek bergabung menjadi satu, menciptakan alunan melodi yang khas. Simfoni pasar.
Keramaian itu hanya menyisakan ruang-ruang kecil untuk menyelinap dibalik rimbunnya hilir mudik orang orang.
Tak sampai lima menit berjalan dari gerbang utama pasar, tibalah di tempat yang dituju. Hanya ada sebaris meja porselen dan kursi kayu panjang di tiap sisinya. Sudah tersusun rapi pula cemilan cemilan yang setiap beberapa menit sekali selalu ditambah dengan cemilan yang baru karena habis dilahap oleh pelanggan.
Pakde Sang Jutawan
“Ini namanya bakwan amburadul,” ucapnya santai saat ditanya mengapa bentuk bakwannya tidak proporsional dan lebih besar dari bakwan biasanya.
Walaupun tak proporsional, namun bakwan yang ia dan istrinya buat ini hanya seharga seribu rupiah, eh maksud saya satu juta. Entah kenapa ia selalu menyebut harga dagangannya dengan embel embel “juta” di belakangnya.
Juta demi juta uang pun masuk kedalam kotak abu-abu usang itu.
“Ini kotak antik,” katanya. Itu kotak antik yang menjadi saksi bisu perjalanan pria tua ini membiayai hidup keluarganya.
Dalam satu hari, kotak antik Pakde biasanya bisa terisi sampai 4 juta rupiah, kali ini dengan embel-embel juta yang sebenarnya. Namun itu hanyalah pendapatan kotornya saja. Ia tak pernah menghitung keuntungannya setiap hari.
Baca juga : Dara : Dari Lukis dan Sulam Jadi Cuan
“Pakde ini untungnya ga pernah ngitung, soalnya tempat Pakde ini tempatnya orang orang nitip duit,” ujarnya sambil tertawa, selanjutnya ia jelaskan apa yang dimaksud tempat penitipan duit ialah rejeki yang berupa titipan dari Tuhan.
“Yang penting rekan kerja bisa dikasih duit,” jawabnya singkat sambil melirik kedua wanita yang ia sebut rekan kerjanya.
Dibalik kesederhanaan Pakde dalam berjualan kopi, ia dapat mengantarkan salah satu anaknya menjadi lulusan okupasi terapi di Jakarta dan menjadi pengajar anak autis disana.
Guyon ia lemparkan lagi kepada lima orang pelangannya usai menceritakan kesuksesan sang anak.
“Saya lulusan SD, ya S1 lah sama kaya anak saya, sedangkan istri saya D3, tamat SD kelas 3,” kelakarnya.
Tertawa Bersama Pakde
Bicara tentang kelakar, pakde adalah jagoannya. Berdua dengan salah satu pria yang tampak mencolok dengan jaket kulit hitamnya dan topi merah bertuliskan “Pa’lek Arka”, mereka saling melempar lelucon yang seringkali membuat para pelanggan terpingkal.
“Orang batak itu sepak bolanya nomor 1 di Indonesia, kipernya aja Sinaga, mana mau gol, penyerangnya aja Butar-butar, waduh pusing orang liatnya,” guyonnya saat mengetahui salah satu dari pelanggannya adalah orang Batak. Seakan-akan ia sudah menyiapkan template jokes untuk setiap keadaan yang akan ditemuinya.
Begitu pula dengan pelanggannya yang beretnis Jawa, dia juga sempat melemparkan guyonnya.
“Ada orang jawa, mamaknya jawa, bapaknya jawa, lingkungannya jawa semua, tapi ga bisa ngomong jawa,” sang pelanggan terdiam beberapa detik untuk memikirkan jawabannya.
“Orangnya bisu,” tambahnya sambil terkekeh lantang hingga suaranya membumbung keatas hilang bersama riuhnya pasar.
Senyum dan tawa yang terkumpul di tempat itu dapat menghalau dinginnya pagi yang menusuk, dan menjadikannya rumah bagi sebagian orang, walau hanya untuk sekali singgah.
Rahasia 12 Tahun Berjualan dan Panjang Umur
Pakde sudah mulai berjualan dari tahun 1989 di Pasar Flamboyan. Namun, sebelumnya, ia sudah mulai berjualan dari umur 15 tahun di tempat yang lain.
“Dulu itu di Pontianak belum ada motor masih pake oplet kayak oplet si Doel itu,” kenangnya. Masa lalu yang dihabiskannya untuk bekerja.
Saat itu, Pakde bercerita uang yang berlaku masih menggunakan ringgit dan perak. Ia mengenang suatu masa dimana biasanya ia hanya makan dengan ubi. Dan suatu kemewahan jika ditemani dengan lauk lain seperti tahu dan lainnya.
“Di jaman itu beras sih ada, tapi ga sanggup beli,” ucapnya sambil tersenyum seraya memasukkan koin kedalam kotak tuanya.
Sampai sekarang, pakde masih tetap bekerja keras. Ia berangkat dari rumahnya sekitar jam 1 dini hari, dan membuka warkop setengah jam kemudian. Jam 9 paginya, ia sudah menutup warungnya dan kembali pulang.
Sekembalinya di rumah, ia pun memasak sendiri panganan yang akan dijual esoknya lagi. Berdasarkan penuturannya, ia hanya tidur 3- 5 jam dalam satu hari.
“Di rumah cuma ada kakek sama nenek,” ujarnya, yang ia maksud adalag ia dan istrinya.
Mereka berdua lah yang bertanggung jawab atas makanan dan minuman yang selalu dijajakan. Tak sembarang, pakde selalu berusaha menjaga kualitas makanan yang ia jual. Oleh karena itu banyak jenis panganan yang ia jual memakan waktu lama dalam proses membuatnya.
Di balik rutinitasnya yang padat, ketika ditanya mengenai rahasia tubuhnya yang masih sehat dan bugar walaupun sudah berusia lanjut, ia dengan entengnya mengatakan “nda banyak pikir”.
“Bangun, kerja, bangun, kerja, jadi gausah pikirkan orang banyak gini, misalnya ada yang makan 5, tapi bayarnya 2, yaudah biarin aja, gausah dipikirkan,” ujarnya dengan santai.
“Saya nda mau negur, saya nda mau bikin malu orang, Saya tau orangnya, tapi saya biarin aja,” pungkasnya.
Ramainya warkop sangat memungkinkan untuk orang untuk berbohong, bahkan untuk tidak membayar sama sekali.
Banyak pelajaran yang dapat diambil dalam sekali duduk di Warkop Pakde. Keselarasan yang tercipta dari gelak tawa pelanggan, ditambah nikmatnya kopi racikan tangan membuat suasana yang hangat dibalut kesederhanaan.
Reporter : Daniel, Ikfan, dan Endy
Penulis : Daniel dan Ikfan
Editor : Mara