mimbaruntan.com, Untan – Ruangan itu dipenuhi dengan sekumpulan orang, duduk rapi dan terlihat sangat khidmat sembari melantunkan puja bhakti. Seisi ruangan pun dipenuhi dengan asap dupa dengan aroma khasnya. Terlihat beberapa simbol yang menghiasi Vihara Citya Aryasana saat pelaksanaan Hari Raya Waisak yang ke 2566 tahun oleh Umat Buddha.
Ibadah berlangsung, salah satu umat meletakkan satu persatu lilin dengan lima warna yang berbeda di depan patung Buddha. Lilin pertama berwarna biru bermakna kebaktian, lilin kedua berwarna kuning bermakna kebijaksanaan, kemudian lilin ketiga berwarna merah dengan makna cinta kasih, lilin selanjutnya berwarna putih yang bermakna kesucian. Lilin terakhir akhirnya diletakkan, dengan warna oranye yang juga memiliki makna yaitu semangat.
Tak hanya sampai di sana, persembahan lain juga diberikan. Air, buah-buahan, dupa, serta bunga yang juga memiliki makna sangat dalam bagi kepercayaan Buddha.
Puja bhakti tak henti dilantunkan, salah satunya ialah pembacaan lima nilai moral di dalam Kitab Tripitaka atau yang biasa disebut sebagai Pancasila Buddhis.
“….Kamesu micchacara veramani sikkhapadang samadiyami…” serempak puluhan umat Buddha membaca poin ketiga dalam lima nilai moral tersebut, yang jika diterjemahkan memiliki makna “Aku bertekad melatih menahan diri dari perbuatan asusila”.
Baca juga: Semerbak Aroma Roti dari Dapur Rumah Belas Kasih
Hingga akhir pelaksanaan ibadah, salah satu pengurus Vihara Citya Aryasasana, Thukul Slamet menyampaikan sebuah pesan untuk menjalin cinta kasih terhadap seluruh makhluk ciptaan tuhan tanpa membedakan suku, agama, ras, dan budaya.
“Kita terlahir sebagai manusia dan semua bersaudara. Di sinilah kita bersama-sama membangun Karaniya Metta Sutta kepada semua makhluk tanpa terkecuali, tanpa ada sekatan, tanpa membedakan suku, ras, dan agama. Karena dalam cinta kasih haruslah berlaku adil dan memberikan pertolongan kepada orang lain,” ujarnya.
Merawat Keberagaman dalam Ajaran Buddha
Ibadah selesai, ditutup dengan nyanyian berjudul “Malam Suci Waisak” oleh para pemuda. Setelahnya, saya bersama dengan kelompok lintas agama dan kepercayaan (Jalan-jalan Keberagaman Pontianak) berkesempatan untuk berdiskusi bersama dua orang pengurus Vihara Citya Aryasasana, yang sedari awal sudah menawarkan berbagai makanan seraya melayangkan senyuman hangat.
Sembari menyantap hidangan yang yang telah disajikan, seorang dari kami yang sedari awal ikut menyaksikan peribadatan Umat Buddha melontarkan sebuah pertanyaan. “Bagaimana Buddha dapat menanamkan nilai toleransi kepada seluruh umat-Nya?”. Pertanyaan tersebut pun disambut hangat oleh Thukul.
“Cinta kasih menjadi wujud nyata bahwa Buddha menjunjung tinggi nilai toleransi dan pluralisme kepada sesama manusia. Kami diajarkan untuk cinta kepada semua makhluk, baik yang hidup maupun yang tidak, baik yang sama maupun yang berbeda dengan kita,” ucapnya.
Baca juga: Dirikan Tiang Keberagaman di Vihara Paticca Samuppada
Suasana semakin terlihat damai bersamaan dengan semerbak dari dupa yang memenuhi ruangan itu. Dengan senyumannya yang khas, Thukul kembali melanjutkan pembicaraannya.
“Buddha tidak pernah memaksa dalam urusan beragama dan berkeyakinan, karena setiap pilihan seseorang harus tetap kita hormati. Banyak terjadi kejadian intoleransi akibat kurang memahami, salah memahami, atau menolak memahami pemahaman orang lain. Seharusnya kita dapat mencoba untuk membuka diri, setidaknya hanya untuk datang, melihat, dan memahaminya,” jelasnya.
Untuk mencapai itu semua, Thukul mengatakan ada sebuah istilah dalam agama Buddha yang disebut sebagai Maha Cattarisaka Sutta atau jalan mulia beruas delapan yang mengajarkan agar Umat Buddha dapat melakukan pandangan yang benar, usaha yang benar, dan pemusatan benar agar mencapai kebahagiaan.
“Untuk memiliki kebijaksanaan, kita harus memiliki pandangan dan pikiran yang benar sehingga moralitas kita juga akan terjaga. Jadi jika menerapkan kebijaksanaan dan kebenaran, akan tercapai sebuah kebahagiaan,” paparnya.
Thukul mengatakan, dengan latar belakang yang berbeda, upaya merawat keberagaman di Indonesia sangatlah mungkin diterapkan. Sebagaimana yang dilakukan olehnya yang bersuku Jawa, dapat hidup dan berdampingan dengan umat lain yang bersuku Tionghoa tanpa pernah terjadi konflik sekalipun.
Di akhir diskusi, Thukul menyampaikan bahwa pada dasarnya semua agama mengajarkan nilai-nilai toleransi dan kedamaian. Nilai-nilai tersebut dapat kita terapkan dalam keseharian sebagai upaya memelihara keberagaman yang ada. Cinta kasih dan upaya untuk saling memahami serta menjaga diri dari menyakiti orang lain adalah kunci agar kita selalu dapat menjaga toleransi.
Penulis : Ilham
Editor : Monica