“Kenapa, kamu berdiri di balik orang berdemo itu!”
Mulutku terpaku, tak sanggup aku mengucapkan sepucuk kalimat untuk membela diriku,mungkin aku terlalu rapuh dan tak punya daya seperti warga di depan kantor desa yang sedang menolak pembangunan perkebunan kelapa sawit. Bedanya aku dan mereka. Mereka mampu melawan meski tak tahu apa yang terjadi kedepannya.
“Aku hanya ingin melihat” ungkapan yang terbata-bata ini menjadikan genggaman wanita ini semakin menyakiti pergelangan tanganku.
“Pulang!”
***
“Ada apa dengan anakmu itu! Dia perempuan.”
“Pakkkkkk”
Perempuan itu membentak Ayahku lagi. Ayahku yang malang dan bodoh.
“Pusing kepalaku mengurusi anakmu ini, nikah kan saja. Dia sudah 19 tahun juga.”
“Dia sudah besar, tak perlu kau urus.” Jawaban ayah yang sudah bisa merespon perempuan itu. Sudah banyak pertikaian yang ditimbulkan dengan maksud terselubung.
“Meski aku bu tirinya, aku masih bertanggung jawab atas kebahagiaannya.”
“Sudah lah masa depan dia aku yang urus.”
“Tidak bisa! Besok pak Udin bersama anaknya akan datang. Tenang saja, anak nya sarjana. Kau tak perlu khawatir dengan kebahagian Lila.”
“Gimana bisa kau membuat sebuah perjanjian, tanpa memberi tahuku,terkait soal anakku!”
“Karena ku tahu kau pasti tidak akan mau.”
***
Kumis tipis itu tersenyum memandangku. Aku pun tidak memberikan ekspresi apa-apa. Pria dengan pakaian layaknya kota itu, membuatku terheran. Kenapa orang berpendidikan sarjana, mau mengikuti perjodohan seperti ini, sedang ia juga tidak mengenalku. Hanya ada ibu tiriku yang sedang menunggu di salah satu kursi ruang tamu dengan kondisi ruang tamu yang rapi dan bersih. Dia tau waktu yang cocok yaitu saat bapak pergi sedang bekerja PETI di hilir sungai.
“Si adek umurnya berapa?” Pak Udin memulai obrolan
“Sudah 19 pak” jawab perempuan itu
“Ouuu bisa lah hahhahahahha” cobanya dalam mencairkan suasana.
Obrolan tak bermakna yang terus dilakukan. Tak henti rasanya mataku menatap dengan kebencian ke arah wanita itu. Dimana si bapak? Dia harus bertanggung jawab atas tingkah istri barunya ini.
“Kreek”
“Saya ke kamar dulu, kepala saya sedikit sakit”
Mata perempuan itu terlihat memberikan sinyal amarah, karena ku tau bapak akan menyelesaikan masalah ini.
***
“Sudahlah jangan dipikirkan apa yang diperbuat ibumu”
“Dia bukan ibuku!”
“Sampai kapan kamu marah sama bapak”
“Kepala bapak di mana? Belum di semen kuburan ibu, untuk apa perempuan itu”
“Jaga bicaramu!”
Bentakan demi bentakan ku lontar untuk menyalahkan. Bapak menarik nafas kembali, setelah angin berhembus di teras rumah papan, dengan pelita yang hampir mati.
“Tahun ini kamu kuliah, almarhum ingin kamu melanjutkan kuliah. Sudah satu tahun kamu habiskan waktu meratapi kesedihan. Bapak akan hubungi Nina anak paman Edon, dia akan mengurusmu.”
“Kulit bapak sepertinya sedang sakit, jangan terlalu sering kerja di PETI. Menghidupi wanita itu membuat bapak bisa mati perlahan, berkebun saja hidup bapak akan tenang. Bapak tidak perlu terlalu sibuk mengurusi masa depanku, aku tidak mau mengikis hidup bapak dengan membiayaiku”
“Lantas kamu mau jadi apa?”
“Kemarin di desa sebelah ada yang meninggal pak karena tertimbun tanah gara-gara PETI dan beberapa ada yang ditangkap polisi. Bukan aku yang dipikirkan jadi apa, tapi memikirkan hidup bapak dengan baik bagaimana?”
“Bapak memang salah, namun tidak cukupkah kamu dengan selalu mengeraskan kepala dan membentak bapakmu, lalu kapan kamu bisa hidup seperti orang.”
“Orang lain punya ibu.”
“fuhh”
Api pelita itu kutiup, perlahan aku membawa diriku kembali kekamar. Apa aku keterlaluan menyakiti hati bapakku berkali kali? Apapun itu hatiku masih tersimpan bara kecewa. Mengingat dia menikahi perempuan serakah itu, saat semuanya belum selesai dengan tenang. Ibu sakit keras, akses desa kami yang sangat jauh menjadikan nafas ibuku tak tertolong. Sial perusahan sawit itu, membangun jalan hanya untuk membawa truk besar yang berisi sawit. Namun tidak untuk orang-orang desa, sikap yang dilakukan bapak membuatku tidak percaya siapapun termasuk dirinya. Rasanya sudah tidak punya siapa-siapa.
***
27 Februari, lusa, sepertinya hari yang pas untuk aku pergi, berhubung tanggal tersebut merupakan hari Senin. Semua sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Pergi adalah pilihan terbaik, karena akupun tak punya alasan menghabiskan hidup dengan mereka. Bapak bukan bapak yang menimangku 19 tahun lalu, bapak adalah suami dari perempuan itu.
Tak banyak bekalku, hanya beberapa pakaian, selimut, dan uang tabungan yang ku simpan dalam celengan kaleng yang dibeli ibu sewaktu itu. Semua ku masukkan dalam tas sekolahku. Katanya isi dari celengan itu gunakan untuk masa depanku. Namun mungkin ini bentuk perjuangan untuk masa depanku dan semoga pengorbanan ini benar. Tak jauh dari desa Merio ini ada kota, hanya saja harus melewati beberapa hutan. Aku mencoba memberanikan diriku untuk melewati itu semua. Katanya di kota itu banyak toko-toko yang mencari pekerja, sepertinya modalku bisa menulis, membaca dan menghitung, itu cukup.
Perjalanan demi perjalan dilewati, hutan itu semakin suram saat yang sesekali kumpulan rumput itu bergoyang tanpa angin atau beberapa suara binatang, misalnya suara monyet yang terkadang nyaring dan itu semakin menyeramkan. Apapun itu, aku harus memaksa diriku untuk bisa melewati ini. Pikirku ini jauh lebih ringan dari perkara yang akan menemaniku seumur hidup
“sek,sek”
Rumput itu bergoyang lagi.
“sek, sek,sek”
Suara yang semakin keras dan panjang.
“Kamu siapa?”
“sek,sek”
Suara itu semakin dekat, semakin kuat dan semakin membuatku merasa takut.
“sek, sek”
Dan perlahan kerumunan rumput di depan semakin terbuka, sedikit demi sedikit. Kakiku tak mampu menahan getar, meski kayu yang dipegang di tanganku cukup besar dan berat. Namun tak mampu ku pungkiri rasa takut yang menyelimutiku secara utuh sampai keringatan, membuat terpikir sekilas akan suatu penyesalan. Dan tampak sebuah tanduk muncul langsung menyerangku dengan larian kencang, ternyata.
“Arghhhh, Babi Hutan”
***
“tuk,tuk,tuk”
Benturan itu berulang-ulang, kepala dan kakiku sakit. Mata ini berat sekali membukanya, samar samar aku seperti di pondok kayu di tengah ladang. Tidak besar namun bisa untuk tinggal, atap itu beberapa bolong. Terlihat dari cahaya yang menembus atap itu dari atas. Di ujung dapur terlihat seorang laki-laki paruh baya memakai sarung tanpa baju. Sontak aku terkejut rasa takut muncul semakin besar, aku mulai berkeringat. Saatku ingin bergerak untuk segera pergi dari rumah itu, tangan dan kakiku sangat sakit. Sial aku hanya diam dengan ketakutan. Ia membalikkan badannya dengan perlahan. Suara jinjit dari kayu papan terdengar jelas dari tempat aku berbaring.
“Siapa kamu?”
“Keras kepalamu, tapi Babi Hutan bisa menyakitimu. Kebohongan dan rasa sakit yang kau tinggalkan tidak bisa merubah apapun.” Orang tua ini mengoceh tanpa sebab, sembari ia mengoles sesuatu di mangkok itu di beberapa titik sakit di kakiku. Dan kepalaku sudah terikat kain dilepasnya dan mengganti kain yang di isi dengan sesuatu, lalu mengikat kepalaku kembali. Rasa takutku menjadi reda karena ku tahu dia orang baik.
“Kenapa tidak dengar hatimu, seberapa batu dendammu? Sampai kau bisa kehilangan segalanya, Tuhan tidak mengambil semua cintanya dari dirimu. Jika ada yang hilang cobalah mensyukuri yang masih ada, cinta untuk dirawat misalnya manusia dan alam.”
“Kakek siapa? Tadi aku diapakan dengan si Babi Hutan? Apa yang terjadi dengan lukaku, apakah semuanya parah? Kepalaku sakit.”
“Saya Borung, Babi itu melukaimu. Tapi sebenarnya batu di kepalamu yang menghadirkan celaka. Setelah kamu makan, besok pagi kamu bisa pulang. Jangan ke kota”
“Aku hanya ingin hidup tenang.”
“Bagaimana kamu bisa tenang setelah pergi tidak pamit dan tanpa mohon maaf atas hatinya yang hancur?”
“Fuhh” Pelita di tiupnya, sisa suara jangkrik dan sesekali burung hantumenjadi teman malamku.
Anakmu ini pak, tidak ingat saat kau menggendongku. Ketika kakinya patah, menyuapku saat tubuhku lemah. Menyekolahkanku dengan dengan keringat dan taruhan nyawa. Dendamku besar lupa aku dengan cintamu, lupa aku masih punya kau.
***
“Bangun!” Suara ini mengejutkanku, bagaimana tidak matahari belum terbit. Tanganya mengerjakan tubuhku seolah memaksaku untuk segera pergi.
“Ini, pakai untuk tebas ilalang.” Sebuah parang ukuran sedang dan tidak berat, namun terlihat tajam.
“Lewati tiga pohon besar di depan, ada desa kecil di sana. Hati-hati jika ada binatang buas pakai parang itu juga. Jangan ke kota, kau tidak akan menemukan jalan.”
“Iya.” angguk ku dengan rasa bersalah.
“Bukan kamu yang butuh bapakmu, kalian saling membutuhkan. Kalian bisa saling menyelamatkan.”
Selangkah demi selangkah melawati beberapa pohon. Beberapa waktu mendengar desisan ular dan beberapa bunyian yang yang keluar dari beberapa binatang kecil. Anehnya tidak ada perasaan takut, melainkan perasaan bersalah akan rasa syukurku yang hilang, mendambanya dengan kesakitan.
“Laila…..!” teriak paman dari kejauhan berpapasan denganku dari jalan seberang, berlari ke arahku dengan tergesa.
“Kamu dari mana saja?” Tidak biasanya paman searah denganku.
“Arghhhhhh” genggaman tangan nya keras sekali menarikku saat perjalanan ke rumah, seperti anak kecil yang tidak mau pulang karena keasyikan bermain.
“Kenapa paman?”
“Kamu yang kemana saja!”
Bisu rasaku, tidak mampu bercerita atas segala kejadian pada fisik dan jiwaku.
“Maaf paman.”
Tak jauh dari rumah terlihat kumpulan orang-orang orang yang menutupi halaman rumah dengan baju sembahyang. Ramai sekali. Jantungku mulai berdetak lebih cepat dari biasanya dan timbul pertanyaaan penuh di kepala. Perlahan semua semakin jelas orang-orang mengubah posisi masuk bergantian ke rumah, dan tak jauh mata memandang tampak bendera putih di tepian jalan.