Cerita ini berawal saat aku masih di bangku SMA. Namaku Dika, cowok dengan tinggi 170 cm dengan wajah yang lumayan ganteng. Sehari-hari aku melakukan aktivitas layaknya seorang siswa SMA: pergi sekolah ® belajar ® main ® pulang sekolah ® tidur. Rutinitas yang membosankan menurutku.
Hari itu sangat membosankan. Pelajaran fisika membunuhku secara perlahan. Kurasakan kebosanan menjalar keseluruh tubuhku. Arlojiku menunjukan pukul 07.30. Padahal masih pagi, tapi kantuk berhasil menguasai pikiranku.
Tiba-tiba kepala sekolah masuk ke dalam kelasku. Beliau berbincang setengah berbisik kepada guru fisikaku. Aku sudah lama tidak membuat onar, tapi kenapa kepala sekolah datang ke kelasku? Beribu pertanyaan muncul dalam pikiranku. Kepala sekolah lalu memanggil seseorang yang ada diluar kelas. Aku pun semakin bingung. Muncullah seorang gadis berambut panjang sebahu, berkacamata, terlihat manis.
Tebakanku benar. Dia adalah anak baru yang akan ikut memenuhi kelasku ini. Di kelas aku duduk sendirian karena jumlah siswanya ganjil. Jadi, mau tak mau dia harus duduk di sampingku karena sudah tidak ada lagi bangku yang kosong.
“Hai, boleh ya aku duduk di sini?” Tanya gadis itu.
“Boleh, duduk aja.” Jawabku singkat.
“Namaku Lisa, aku murid baru dari Jakarta, nama kamu siapa?”
“Namaku Dika.” Seraya menjabat tangannya sambil menahan kantuk.
“Ketus banget jawabnya, gak suka ya aku duduk di sini?”
“Enggak kok, ngantuk banget nih pelajarannya ngebosenin.”
“Yaudah, semoga aja kalo aku duduk disini kamu jadi gak ngantuk lagi hehehe.”
“Yah pede banget kamu.” Celetukku sambil tertawa kecil.
Lisa…
***
Sudah 3 bulan sejak pertemuan pertama kami di kelas ini. Tampaknya Lisa sudah mulai bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Kami berdua sekarang memiliki hobi baru. Setiap istirahat sekolah, kami bermain catur. Anehnya, aku kalo main sama dia pasti selalu kalah. Nyaris gak bisa menang! Aku malah jadi bahan tertawaan Lisa gara-gara kalah terus.
“Sekarang giliran kamu dik.”
“…..”
“Oi Dika!” teriak Lisa.
“Oh iya maap,” sambil mengangkat pion kudaku.
“Melamun terus nih, santai aja kali Dik kalo kalah jangan banyak dipikirin” ledek Lisa
“Yah enak aja, aku lagi mikir nih biar menang dari kamu.”
“Heleeh kamu mah mana mungkin menang dari aku,” sudah kesekian kalinya Lisa ngeledekin aku.
Tak kuhiraukan ledekan Lisa. Kuperhatikan setiap kotak yang ada di papan catur. Mencari celah mana yang bisa membuat Lisa kalah. Setelah kuperhatikan dengan jeli setiap kotak yang ada, nampaknya ada yang aneh.
“Kayaknya ada yang aneh deh,” kataku sambil mengernyitkan dahi.
“Emangnya kenapa?”
“Wah ada yang gak beres, tuh peluncurmu kok dua-duanya di kotak hitam sih? Curang yaa”
“Enggak juga ah! Eh iya ya kok bisa… aku salah langkah mungkin,” jawab Lisa kebingungan.
“Pantesan menang terus.”
“Heh beneran nih. Aku tadi salah langkah, sebelum-sebelumnya enggak kok.”
“Kalo udah ketahuan bohongnya pasti ada aja alasannya,” sengaja manas-manasin Lisa walaupun dia memang salah langkah.
“Aku enggak bohong Dika!.”
Kami pun berdebat sengit salama beberapa menit. Lisa yang kelihatan terganggu moodnya tampak kesal. Aku hanya cengar-cengir melihat tingkahnya itu. Karena merasa kasihan, aku lanjutkan permainan. Lisa masih manyun saat melangkahkan pionnnya.
“Jangan manyun gitu dong Lis, nanti kamu makin jelek.”
“Biarin.”
Permainan pun sekarang ada di tanganku. Lisa yang sudah mulai hilang konsentrasinya sedikit demi sedikit kumakan pionnya. Akhirnya, aku tahu kelemahan Lisa.
“Skak.”
“…..”
“Oi skak tuh,” kataku sedikit berteriak.
“Eh, iya maap hehe.”
“Gitu aja marah, jangan dimasukin dalam hatilah,” bujukku.
“Enggak, yang kamu katain tadi gak bakal ngaruh kok.”
“Terus tadi ngelamunin apa?”
“Tuh,” sambil menunjuk pion yang barusan kumakan.
“Emangnya kenapa? Itukan Cuma pion kecil Lis, kamukan masih punya pion yang lebih besar,” tanyaku penasaran
Seketika suasana menjadi hening. Lisa tampak sedang memikirkan apa yang akan dia katakan. Wajahnya tampak serius, belum pernah kulihat wajahnya tampak seserius itu.
“Aku ngerasa kalo hidup aku kayak pion yang kecil itu, lemah, tak pernah dihiraukan oleh orang lain,” Jawabnya lirih.
“Maksudnya?”
“Iya aku ngerasa hidup aku persis kayak pion ini,” jawabnya dengan mata sayu.
“Kok bisa ya?” tanyaku semakin penasaran.
“Aku selalu merasa lemah dan kecil dihadapan orang, termasuk kamu…”
“Enggak usah kamu pikirkan Lis, biarin orang mau bilang apa, yang penting kamu bisa jadi diri sendiri,” kataku sambil mencairkan susasana.
“Iya Dik, tapi aku selalu merasa seperti itu, apalagi dengan orang baru,” jawabnya sedih
Aku bingung mau jawab apa. Baru kali ini kulihat Lisa tampak begitu sensitif dalam menilai hal kecil seperti ini.
“Yaudah Lis, sekarang dengar, Pion ini memang enggak ada artinya,” sambil kuletakan pionnya di sebuah kotak.
“Tapi, kalau pion ini berhasil melawati halangan pion-pion lain, pion kecil ini bisa berubah menjadi peluncur, benteng, bahkan ratu,” kutuntun pion kecil itu hingga ke kotak di ujung papan.
Lisa tampak serius mendengarkan penjelasanku.
“Sama seperti hidup ini. Sekarang kita memang belum bisa menjadi apa-apa. Tapi, ketika kita bisa melewati semua halangan itu, kita bisa mencapai kesuksesan lebih dari orang yang pernah merendahkan kita.”
Lisa terdiam mencerna perkataanku. Tak lama, kulihat senyumnya merekah dari bibir manisnya itu.
“Setuju kan sama aku?” tanyaku.
“Iya setuju! Aku gak kepikiran sampai situ, bisa aja kamu mikirnya hehehe,” jawabnya sambil tertawa.
Akupun ikut tertawa. Kulanjutkan permainan caturku bersama Lisa. Hari itu pun kami sadar, ada hari esok yang masih harus kami perjuangkan. Walau banyak rintangan yang harus kami lewati untuk menggapai kesuksesan, selalu ada mimpi yang bisa mewujudkannya.
Bel pun berbunyi…
Oleh: Wahyu Maulana