mimbaruntan.com, Untan, – “Jadilah pelopor yang bisa menjaga lingkungan,” ungkapan sederhana dari Prof. Dr. Ir. Dwi Astiani, M.Sc menyisakan pesan peradaban yang penting di tengah urgensi permasalahan degradasi lingkungan.
Guru Besar Manajemen Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura yang lahir di Ketapang, 8 Februari 1962, ini bermimpi menjadi seorang guru seperti profesi kedua orangtuanya. Ia menjalani pendidikan dengan berbagai lika-liku, namun semangat menimba ilmu hingga mengantarkannya menjadi seorang Profesor di bidang Lahan Gambut Tropis.
Mengulik masa pendidikannya, ia memulai pendidikan di Ketapang hingga ayahnya dipindah tugaskan ke Pontianak pada saat ia berada di akhir semester kelas 3 Sekolah Menengah Pertama (SMP). Meskipun harus beradaptasi dengan kehidupan sekolah yang baru dengan perbedaan suasana tingkat pendidikan antara Ketapang dan Pontianak, ia berhasil membuktikan bahwa ia mampu mengejar ketertinggalannya dengan memperoleh peringkat pertama. Dengan nilai yang sangat baik, ia bisa melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 01 Pontianak.
Setelah berhasil menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA), perempuan yang akrab disapa Dwi ini berencana menempuh pendidikan Sarjana Strata 1 (S1) di Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan mengikuti jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) dan berhasil lulus seleksi. Namun kelulusan tersebut tidak mengantarkannya ke perguruan tinggi yang diinginkan karena faktor ekonomi. Sehingga ia memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Universitas Tanjungpura (Untan), Fakultas Pertanian, Jurusan Kehutanan.
Selama berkuliah, Dwi aktif mengikuti organisasi dan berhasil menerima beasiswa pada semester 5 dengan syarat harus mendedikasikan diri menjadi dosen di Jurusan Kehutanan. Dengan usaha yang gigih ia akhirnya mendapatkan gelar Sarjana S1 sekaligus beasiswa untuk melanjutkan studinya di University of Kentucky. Pada waktu yang bersamaan, ia baru saja menikah namun memutuskan untuk tetap menimba ilmu hingga memperoleh gelar magister. Tidak berhenti di situ, ia masih memiliki keinginan untuk melanjutkan studinya ke jenjang doktor. Namun keluarga juga menjadi salah satu prioritas baginya, terlebih ia merupakan seorang Ibu. Dwi pun menutup keinginannya dan kembali ke Indonesia untuk berumah tangga serta mengisi hari-hari dengan mengajar di Universitas Tanjungpura.
Seiring berjalannya waktu, harapan yang sempat tenggelam kembali terangkat perlahan saat pertemuan bersama kolega dari Amerika. Alhasil, pertemuan tersebut merupakan bentuk permintaan kerjasama dalam hal penelitian. Saat itu, Dwi juga mendapatkan surat rekomendasi untuk melanjutkan studinya di Yale University, Amerika Serikat.
Tepat pada tahun 2007, dengan dinamika dan tantangan sebagai seorang Ibu dan sebagai wanita karir, ia memutuskan untuk berangkat dan menjalani pendidikannya di sana hingga akhirnya ia menjadi kandidat Ph.D (Doctor of Philosophy). Keputusan untuk menggali ilmu di negara sendiri menyebabkan Dwi melakukan riset secara penuh selama 3 tahun di Indonesia. “Risetnya di Indonesia, waktu itu janjinya memang begitu kalau riset saya harus di Indonesia karena gak mau menggali ilmu di tempat orang harusnya manfaat disini gitu kan,” jelasnya.
Berlatar belakang pendidikan forestry dan environment, membuat pola pikir ia berkembang untuk membantu memecahkan masalah yang berkaitan dengan isu lingkungan. Dimulai dari isu-isu lingkungan yang ada di sekitar, seperti gambut yang masih kurang dilirik oleh masyarakat namun memiliki dampak yang besar.
“Masalah gambut itu luas banget dan banyak banget karna gambut itu kan seperti last frontier, jadi artinya lahan gambut ini dulunya ga dilirik sama orang. Dulu orang lebih tertarik ke lahan-lahan yang di mineral, dataran. Tapi sekarang karena sudah habis, jadi mereka beralih ke lahan gambut yang dulunya masih less conflict. Seiring berjalannya waktu dan teknologi akhirnya banyak sekali perubahan-perubahan land use dari gambut, sehingga menimbulkan permasalahan dengan isu lingkungan akibat lahan gambut yang berubah fungsi dan terdegradasi,” paparnya.
Di Indonesia, gambut itu sendiri menjadi bagian terbesar emisi dari perubahan lahan. Dari permasalahan umum hingga permasalahan khusus yang terdapat pada gambut, ia mengaku tertarik untuk mengulik lebih mendalam dengan melakukan penelitian-penelitian yang berfokus pada gambut.
“Jika kita tidak berbuat sesuatu ya kan kita punya ilmu, punya pengetahuanlah di situ ya tapi harus melakukan sesuatu. Artinya itulah yang jadi dasar Ibu juga untuk selalu berpikir ke arah penelitian-penelitian di gambut itu,” ungkapnya.
Selama melakukan penelitian, ia tidak pernah lepas dari berbagai tantangan terutama isu gender yang tinggi karena untuk dapat survive di hutan membutuhkan fisik dan mental yang kuat sehingga tidak jarang peneliti gambut wanita dipandang sebelah mata.
Jika di kilas balik kembali pengalaman yang telah lalui, ia selalu fokus dengan tujuan yang sudah dipilih, menjadi diri sendiri, menyukai apa yang ia suka hingga menjadi profesor dengan ilmu, informasi, dan hasil riset tentang emisi gambut yang menjadi penemuan penting bagi Indonesia. Sebagai seorang dosen, ia mengungkapkan penghargaan terbaik dalam hidupnya bukan dari segi finansial maupun trophy yang diperoleh, melainkan saat ilmu yang didapat tersalurkan dan bermanfaat kepada orang-orang.
“Kalau penghargaan seperti orang dapat televisi sih engga ya, tetapi apa yang Ibu banggakan misalnya Ibu bisa mentransfer ilmu, karena status Ibu sebagai dosen ya,” ucapnya.
Ia berpesan untuk generasi penerus bangsa untuk dapat menjaga lingkungan dengan kiprahnya masing-masing. “Anak muda harus punya kiprah tentang itu (menjaga lingkungan/red), jadi jangan sampai tidak peduli. Jangan mencontoh yang merusak lingkungan. Jadi anak muda harus punya keinginan bahwa hidup itu kita punya ekosistem yang beragam, salah satunya gambut, disitu punya kekhususan yang kita perlu tahu banyak untuk membangunnya perlu effort apa sehingga kehidupan disitu harmoni,” pungkasnya.
Penulis: Stephanie Ngadiman & Nur Azmi Husnul Khotimah