mimbaruntan.com, Untan – Seperti hari-hari biasa di Kota Pontianak, terik siang, klakson motor yang tidak sabar, dan sirine ambulan. Hari yang biasa ini membawa sekelompok muda-mudi melipir sebentar dari riuhnya kota untuk merayakan Hari Toleransi Internasional pada Minggu (21/11). Tepatnya di Kabupaten Kubu Raya, di sebuah rumah yang berdiri di tengah pematangan sawah.
Memasuki gang kecil dengan sedikit jalan berlubang dan angin yang semakin kuat menggoyangkan plang bertuliskan “Rumah Belas Kasih Bakery”, artinya tempat tujuan sudah di depan mata.
“Ini ketiga kalinya kita melakukan Jalan-jalan Keberagaman, kegiatan yang rencananya sebulan sekali ini berawal dari kunjungan ke Rumah Budaya Madura untuk menepis prasangka dan stigma tentang orang Madura. Hari ini kita ke Rumah Belas Kasih untuk mengenal lebih jauh tentang seorang Suster,” jelas Dian, salah satu penggerak Jalan-jalan Keberagaman.
Pagar dibuka, satu-persatu motor diparkir. Nuansa hijau dari berbagai tumbuhan dan coklat dari bangunan rumah menjadi warna dominan. Tawa anak kecil dari tengah sawah pun terdengar sayup-sayup. Setiap ruang dibangun terpisah dan bermaterialkan utama kayu yang menambah keasrian Rumah Suster Magdalena Paula.
Warna-warni bunga yang sedang mekar, sayuran, serta Gua Maria di tengah halaman menjadi sorotan pula. Tak lama menikmati dinginnya suasana Rumah Belas Kasih, kami sudah dipanggil ke dalam ruang tamu.
Sambil menunggu Suster Paula, begitu ia akrab dipanggil, kami saling melemparkan candaan. Jalan-jalan Keberagaman kali ini membawa pemuda dari JAI (Jemaah Ahmadiyah Indonesia), Komunitas Sadap (Satu dalam Perbedaan) Indonesia, Sejuk (Serikat Jurnalisme Keberagaman), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), dan Reporter mimbaruntan.com.
“Halo,” Sapa Suster Paula tersenyum menampakkan kerut di sudut matanya seraya menyikap tirai. Kerudung coklatnya terurai, senada dengan warna bajunya.
“Yang tinggal di sini orang-orang yang memerlukan belas kasihan dan banyak hal. Bukan pertama-tama materi melainkan moral dan spiritual,” jelas Suster Paula menunjukkan maksud dari Rumah Belas Kasih.
Sebelum dibawanya berkeliling rumah, sedikit cerita kami dengar tentang usaha roti yang ia bangun. Usaha ini tak lebih dari sekedar memenuhi kebutuhan hidup dan operasional rumah yang sulit didapat saat pandemi menghajar.
“Saya ini tidak boleh tenggelam dalam usaha roti, sebab saya sudah berjanji bahwa saya hidup untuk berdoa, sehingga usaha ini tak akan diperbesar, cukuplah membiayai hidup,” ucapnya sesekali menunjuk lurus arah jendela, di mana kedai pembuatan roti berdiri.
Tak ada niat sedikitpun berjualan roti, awal mulanya ia membuat roti hanya untuk makanan anak-anak yang tinggal di Rumah Belas Kasih, roti yang sedikit keras dan tawar, khas Eropa. Pengalamannya tinggal di Italia membuatnya fasih dalam membuat roti ini. Berangsur, roti yang ia buat semakin lembut dan manis, menyesuaikan lidah orang Indonesia.
Tibalah kami dibawanya berkeliling rumah, ruang pertama, dengan lorong yang langsung mengahadap ke sawah jika pintu dibuka, Suster Paula menempatkan ruang jahit.
“Semua ini kita yang mendesain, anak-anak yang di rumah ini, yang singgah di sini, mereka yang membangun, hanya pondasi saja yang dibantu tukang, selebihnya pemuda-pemuda itu,” ujarnya sambil membuka pintu.
“Itu desain baju adat Dayak yang sudah dibeli Romo dari Jawa” jelas salah satu anak yang menempati rumah itu.
Berpindah ruangan, kami disuguhkan dengan lukisan Bunda Maria dan Bayi Yesus hasil karya tangan Suster Paula.
Menuju sisi kanan gedung utama, tempat Suster Paula beristirahat. Terstandar dua buah sepeda di terasnya. Di sana, sebuah ruang khusus berdoa disiapkan, tepat lurus dengan keberadaan Gua Maria.
Sambil diajaknya berkeliling, disetiap sudut rumah yang dibangun terpisah ini ada kolam-kolam ikan kecil berisi Gurame dan Nila, di bawah jembatan bahkan dibawah lantai, kisi-kisi cahaya dari atap yang sengaja dibuat transparan sehingga memantul ke arah kolam. Ini menambah dinginnya atmosfir rumah.
Melewati berbagai tanaman dan Gua Maria, kami menuju bangunan depan, tempat saung yang dibangun tinggi di atas kolam, tepat disampingnya, menuju lantai dua, rumah baca dibangun.
Setiap ruangan dibangun jendela yang menghadap ke arah sawah, dari ruang baca ini sayup terdengar tawa anak-anak kecil yang bergumul bersama lumpur sawah.
Beberapa dari kami memasuki kedai roti, tepat di seberang rumah baca, proses pembuatan roti pun dimulai.
“Semakin ke sini cuaca semakin panas, dalam membuat roti itu juga harus memperhatikan cuaca, kalau terlalu dingin dia sulit mengembang, kalau terlalu panas sangat cepat mengembang, begitu juga dengan angin, roti akan cepat kering kalau terlalu banyak angin,” ujar Suster Paula sambil menguleni adonan rotinya.
Beberapa mengambil bagian untuk menghiasi roti sebelum dibakar, beberapa membentuk roti agar menjadi bulat. Tak elak saling bercanda dan tanya jawab seputar pembuatan roti pun terus mengalir.
Di tengah kesibukan, dua orang anak kecil dari sawah membawa seekor ikan untuk dimasukkan kedalam kolam Rumah Belas Kasih, kaki lumpur mereka menyisakan jejak di lantai papan dan berlari meninggalkan rumah.
“Anak-anak di sini biasa keluar masuk,” ujar salah satu remaja yang tinggal di sana.
Aroma lezat roti menyeruak ke seluruh ruangan. Roti lingkaran dengan potongan sosis, keju dan saos tomat di atasnya kini telah berpindah dari oven ke atas nampan. Lelehan mentega dan keju siap mengantarkan perut-perut yang lapar ke dalam ruangan tepat dibawah rumah baca.
Azan Ashar berkumandang, sebagian ada yang menepi untuk shalat setelah melahap roti bersama, sebagian lagi mendengarkan cerita Suster Paula dalam perjalanannya mendirikan Rumah Belas Kasih.
Setiap episode babak hidupnya ia bagikan, dari panggilan hatinya menjadi seorang suster pendoa, perjalanannya menuju Eropa, hingga bagaimana ia memaknai cinta sesama.
“Saya tidak punya apa-apa untuk diberikan kepada orang banyak, maka saya menanam banyak bunga warna-warni, supaya jika orang lihat mereka pasti senang, kesenangan itu yang saya bagi,” ujarnya sambil tersenyum.
Suster Paula yang berasal dari Ordo Fransiskus Asisi menunjukkan bagaimana ia mengamalkan pengajarannya selama ia menjadi seorang suster hingga kini di usianya yang menginjak separuh abad. Fransiskus pecinta damai dan pelindung kelestarian alam tergambar dari potongan kisahnya.
“Waktu kecil saya hidup di lingkungan Madura, sembilan kali keluarga saya harus kehilangan sahabatnya karena konflik suku saat itu, dari situ saya sangat tidak suka dengan perpecahan, maka saya sangat senang dengan peran saya hari ini yang membawa kedamaian,” ceritanya yang kemudian ditimpali dengan berbagai pertanyaan dari muda-mudi yang hadir.
Kisah-kisah konflik yang menurutnya harus terus diceritakan sebagai sejarah, bukan untuk membuka luka lama, justru mengingatkan bahwa jangan sampai terulang kembali, sebab tak ada perpecahan yang tidak menyakitkan.
“Jangan sampai seperti api dalam gambut,” ujar Dian salah satu peserta yang hadir untuk menyetujui pernyataan Suster Paula, dengan membuat perumpamaan tentang perdamaian yang seharusnya terbentuk di Kalimantan Barat.
Perumpamaan tersebut mengundang tawa dan menggeser obrolan ke topik gambut.
“Lahan gambut itu spesial, itu kenapa saya menanam tumbuhan di sini secara acak, karena lahan tidak boleh hanya ditanami oleh satu jenis tumbuhan saja, itu kenapa sawit di gambut menjadi masalah, karena monokultur, salah satunya. Padahal Tuhan menciptakan tumbuhan untuk saling bekerja sama,” terangnya lagi.
Obrolan pun berlanjut hingga harus terpaksa dihentikan karena langit sore yang semakin meredup. Sebelum pamit, sedikit permainan dan foto bersama dilakukan.
Hingga Azan Maghrib berkumandang, begitu pula lampu gua maria menyala, disitulah kami harus pamit undur diri, sebab doa pukul enam harus dilaksanakan dan salat maghrib harus segera didirikan.
Penulis : Mara, Helmi Samuel, Rahayu Ambarwati, Fathana
Editor : Daniel Simanjuntak