mimbaruntan.com, Untan – Kalimantan Barat (Kalbar), terkenal dengan kayanya sumber daya alam dan keanekaragaman hayati. Meskipun memiliki potensi besar untuk pembangunan dan ekonomi kesejahteraan masyarakat, dilansir dari makalah ‘Perempuan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Gambaran untuk Kalimantan Barat’, dalam pengelolaannya sering kali tidak memperhitungkan kebutuhan dan aspirasi perempuan serta kelompok rentan lainnya. Keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan masih rendah, sementara dampak perubahan iklim dan degradasi lingkungan semakin dirasakan.
Lokakarya yang diadakan oleh Jurnalis Perempuan Khatulistiwa (JPK) bersama Tropical Forest Act (TCFA) di Hotel Neo Pontianak berlangsung selama dua hari (11 hingga 12/7). Lokakarya dengan tema ‘ Penguatan Akses Peran Perempuan dalam Perlindungan serta Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Inklusif dan Berkelanjutan di Kalimantan’ ini memberikan kesempatan kepada beberapa jurnalis yang ada di Kalbar dengan fasilitas peningkatan kapasitas dalam keberlanjutan melakukan peliputan isu lingkungan nantinya dengan perspektif gender.
Baca Juga: Sidang Kriminalisasi BuruhMulyanto: Saya Tidak Pernah Ucapkan Kata “Serang”
Puspa Dewi Liman selaku Direktur TFCA Kalimantan-Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI) mengatakan, keterlibatan perempuan sangat penting dalam pengelolaan sumber daya alam terkhusus di Kalimantan. Perempuan memiliki perannya masing-masing baik di tingkat dasar atau tingkat lainnya.
“Perempuan punya peran berbeda yang sudah ditetapkan, di dalam rumah tangga atau di dalam suatu kelompok organisasi. Kami sedang bekerja sama dengan Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD), yang selalu memegang peran administrasi, keuangan, adalah perempuan. Di tingkat tapak, perempuan memang tidak banyak terlibat dalam pelaksanaan kegiatan. Tetapi jika membicarakan tingkat pendamping di Kalimantan, perempuan kuat keterlibatannya,” katanya pada Kamis, (12/7).
Tren pembangunan nasional tidak cukup inklusif. Perempuan amat jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Hal ini disampaikan oleh Sri Haryanti, yang tergabung dalam Forum Aktivis Perempuan Muda Indonesia (FAMM). Menurutnya keberadaan perempuan dalam pengambilan keputusan hanya sekedar formalitas, tidak diindahkan. Peran jurnalis adalah menyuarakannya.
“Banyak peran perempuan dalam pengelolan sumber daya alam, tetapi masih kurang dalam keterlibatannya. Kalaupun dilibatkan, tidak sebagai peran kunci. Yang penting sudah melibatkan perempuan, yang penting ada untuk memenuhi kewajiban ‘melibatkan perempuan’. Tapi secara substansi, mengakui adanya peran perempuan dalam pengambilan keputusan, sangat kurang. Itu yang perlu didorong dan disuarakan,” katanya saat diwawancarai pada Rabu, (11/7).
Baca Juga: Gerak Gerik Pustaka dan Tantangan Eksistensi Toko Buku Menara
Sri turut menambahkan persoalan keterlibatan tidak hanya berkaitan dengan laki-laki saja. Perempuan paling dirugikan ketika pembangunan bersentuhan langsung dengan sumber penghidupan, maka dari itu mereka harus terlibat dalam pengambilan keputusan. Jika dibiarkan, akan berdampak pada lini kehidupan lainnya.
“Banyak peran perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam, contohnya mulai dari dapur. Siapa yang berperan, siapa yang menanam, siapa yang mengelola, kebanyakan perempuan. Ketika pembangunan berdampak pada sumber penghidupan mereka, itu juga akan berdampak pada perempuan. Jika dikaitkan dengan pemenuhan gizi, ketika masyarakat bergantung pada hasil alam terutama perempuan, itu akan hilang. Juga akan berdampak pada kekerasan-kekerasan berbasis gender,” tutupnya.
Penulis: Putri Permatasari
Editor: Hilda Putri Ghaisani