Puing-puing rinduku runtuh kala sepasang manik kami tak sengaja terkunci sepersekian detik, binar yang dulu redup kini menyala dalam sekejap mata kemudian padam. Getaran hatiku kembali berbaur dengan kelabu nya langit pagi ini, entah di posisi mana dia duduk selalu saja menang, abadi dan menyebalkan. Masih adakah sesuap kerinduan untuk sarapan pagi ini? Kudapati garis rahang pemuda itu mengeras mengunyah sarapan dengan begitu indah, sial lagi-lagi aku merasa tak normal, debur nafas ku layaknya ombak yang mengikis karang. Untuk apa luka kembali menganga perih, sudah dijahit padahal, mungkin dengan benangnya benang merah dari Tuhan, mungkin benang merah itulah tanda bahwa kami hanya dipisahkan sementara menuju penyatuan selamanya.
Aku berlari menuju ruangan bernuansa putih dengan gorden berwarna krem yang menggelayut indah pada jendela kaca nya, suhu ruangan pagi ini begitu dingin namun tubuhku berkeringat tanpa alasan, rute perjumpaan kami yang tak sengaja terus melebur dalam ingatanku, padahal kenangan kami begitu menyedihkan kenapa kau begitu awet seolah terawat dalam benak
“Ada apa?” Tanya Celia menatapku yang sudah ngos-ngosan masuk ke dalam ruangan.
“Tidak ada,” sahutku pelan.
“Kau ini, seperti habis ketemu mantan saja berlari nya,” celetuk nya.
“Memang,” sahutku.
“Benar, kau bertemu dengannya?” Gadis itu langsung membalikkan bangku menatap ke arah ku dengan ribuan tanda tanya tersirat dari pandangan matanya.
Baca Juga: Gerak Gerik Pustaka dan Tantangan Eksistensi Toko Buku Menara
Aku berdehem pelan kemudian duduk berpura-pura sibuk agar tak begitu nampak rasa gugup yang menyelimuti diri ini.
“Kau masih mencintainya kan, Vi?” Ujar Celia menatapku tajam sorot matanya menanti validasi perasaanku.
“Tidak, lagipula kami sudah memiliki pasangan masing-masing,” sahutku tidak mengacuhkanya.
“Memangnya itu alasan yang masuk akal?” Gadis itu dengan rentetan pertanyaan yang menyebalkan selanjutnya pasti.
“Bagian mana yang tidak masuk akal?” Tanyaku semakin erat ingin menutupi bahwa seribu tahun pun pemuda itu tetap mengait, mendekap seluruh jiwa yang terus merana ini.
“Matamu sarat kerinduan, kepedihan dan rasa cinta serta kecewa yang penuh. Kau mungkin bisa membohongi orang lain tapi tidak aku,” tuturnya serius.
“Kau selalu keliru menebak,” sahutku sembari terkekeh kecil.
“Bagaimana jika pemuda itu kembali dan menyesal?” Tanya Celia padaku.
“Biarkan saja, aku sangat bersyukur jika ia tak melewati masa sulit dengan kesalahan yang sama,” ujarku singkat.
“Dearvi kau tidak bisa membohongi perasaanmu, meskipun kau begitu ingin menyangkal masih ada secuil rasa yang mengikat,” timpal Celia.
“Padahal jika kau benar-benar sudah melupakannya kau akan menjawab kau mencintai pasangan mu bukanlah dengan alasan kalian telah memiliki pasangan masing-masing, pemuda itu masih utuh dalam bingkai sepasang pupil yang kau miliki, kau sungguh tak mahir berbohong” sambungnya.
“Bukan aku yang tak pandai berbohong kau memang cenayang, hahaha..,” aku tertawa getir.
“Jelaskan saja semua yang kau rasakan sekarang,” sahut Celia dengan tenangnya.
“Berdosakah kalau aku terus menyimpan rasa ini?” Tanyaku
“Episode mencintanya dihidupku seolah tak pernah usai, hanya merebah kala lelah kemudian bangkit dengan cinta yang lebih besar saat kami berjumpa secara tak sengaja. Pemuda itu seperti narkotika bagiku, aku seorang yang terjebak dalam rasanya yang candu, kenapa aku seperti mawar yang tak pernah lepas dari durinya?” Ujarku penuh kesal dan sesal.
“Jangan samakan mawar dan dirimu, duri mawar untuk melindungi bunga mawar itu sendiri sementara kau dihimpit olehnya kemudian mati perlahan, aku tidak memahami bagaimana pola pikir mu pemuda itu menghancurkan hatimu juga mental tidak ada yang sempurna darinya,” cecar manusia itu di hadapanku, aku seperti buta dan tuli.
“Entahlah Cel, kurasa Tuhan membungkus pemuda itu dengan kesalahan yang dapat ku maafkan tujuh puluh kali tujuh kali kehidupan,” senyum ku mengembang begitu pemuda itu terlintas dalam benakku.
“Berhenti mendekatkan Tuhan dengan pendosa seperti itu, penciptanya pun pasti begitu jenuh melihat tabiat seseorang yang hanya peduli masalah selangkangan nya saja,” ketus gadis itu.
“Jika kau adalah Tuhan mungkin kau akan kelelahan dengan tabiat nya dan untungnya bukan kau yang menjadi Tuhan, jangankan pemuda itu kita juga memiliki banyak kesalahan yang menyakiti hati Tuhan hanya saja dengan kemurahan Nya kita masih ada di sini dan aku masih sedikit mencintai pemuda itu,” jelas ku perlahan.
“Kau memang tidak pernah melupakannya Vi, kau sengaja memajang nya dalam ingatan dangkalmu sebagai manusia,” sambar nya lagi.
“Sejatinya manusia hanya memilah hal-hal yang menyakitkan dan yang menyenangkan dalam ingatannya,” sahut ku.
“Lantas di bagian mana pemuda itu kau tempatkan?”
Baca Juga: Erra Si Merpati Putih
“Kedua secara seimbang,” sahutku gamblang.
“Kau mencintai pasanganmu?”
“Tentu,” jawabku segera.
“Kau lebih mencintai pasanganmu atau pemuda itu?” Kembali ia mengajukan pertanyaan yang tak dapat kujawab.
“Jika diberikan kesempatan untuk memilih kau akan memilih pemuda itu atau kekasihmu?
“Aku akan bersama seorang yang tidak membiarkan pelupuk mataku basah, yang membiarkan aku merajut mimpi-mimpiku, kemudian menggenggam tanganku serta meluangkan banyak waktu denganku, dan…,” aku menggantungkan ucapan ku.
Aku mengalihkan pandanganku, menatap seorang jangkung yang berjalan ke arah ku dengan begitu tegap, derap langkahnya penuh wibawa, tatapan hangat, dan kilat mata yang posesif agar luka hati tak tertoreh lagi pada kehidupan ku, mungkin aku salah, mungkin aku keliru, bisa saja perjumpaan ku tadi pagi dengan sosok itu hanyalah godaan yang menyadarkan agar aku tak selingkuh. Benang merah yang terikat padaku hanyalah asumsi dan imajinasi gila yang ku punya, tak perlu ku percaya atau pun kusangkal. Aku hanya perlu wadah yang lebih besar untuk pemuda yang kini tengah bersamaku, aku hanya perlu meyakinkan diri bahwa kesalahan dan kepahitan yang kurasa itu urusanku yang harus kutuntaskan dengan profesional.
“Josshua!” Aku melangkah kecil berlari ke arahnya.
“Kenapa, kau begitu merindukan ku ya?” Pemuda itu merentangkan tangannya agar aku masuk dalam dekapan hangat pemuda itu.
“Maafkan hati murahanku ya Jos,” tuturku membatin, akan ku yakin diri setiap hari bahwa hanya pemuda ini yang akan kucintai sepanjang kehidupanku.
Penulis: Garbera