Resesi ekonomi merupakan keadaan secara nasional maupun global yang dirasakan oleh suatu negara bahkan dunia dalam hal penurunan drastis daya beli masyarakat yang juga berimplikasi pada penurunan pendapatan serta penjualan secara keseluruhan pasar. Atau dalam kata lain terjadi kelesuan aktivitas makroekonomi dan mikroekonomi di segala sektor perekonomian yang berlangsung dalam kurun waktu yang tidak bisa ditentukan.
Resesi ekonomi hadir bukan tanpa alasan. Hal ini tentu erat kaitannya dengan konflik antara Rusia – Ukraina, kejadian ini terjadi tepat pada Kamis, 24 Februari 2022. Sejak saat itu Rusia resmi melakukan invasi pada Ukraina. Konflik antar dua negara tersebut tentu menjadi sorotan dunia. Berbagai jenis respon dan kecaman terus diberikan sebagai bentuk kepedulian negara terhadap stabilisasi hubungan Internasional. Satu di antara negara yang ikut mengecam kedua negara yang sedang berkonfrontasi itu adalah Indonesia. Indonesia sudah dikenal sebagai negara yang secara aktif ikut berkontribusi dan merespon segala hal tentang isu kemanusiaan yang ada di dunia Internasional.
Invasi yang dilakukan Rusia diduga karena Ukraina dianggap ancaman bagi Rusia, Ukraina ingin bergabung dengan NATO (organisasi pertahanan Atlantik Utara). Mengetahui deklarasi Rusia, Amerika Serikat pun ikut turun tangan mengecam invasi tersebut bahkan memberikan teguran berupa sanksi ekonomi kepada Rusia. Sanksi yang diberikan berupa pemberhentian operasional institusi keuangan milik Rusia yang berada di Amerika Serikat, semua aset investasi seperti properti individu yang dekat dengan Presiden Rusia pun dibekukan. Tidak hanya itu, Rusia juga dikenai sanksi embargo minyak mentah oleh negara Uni Eropa dan Amerika Serikat. Rusia pun tidak tinggal diam, ia memberikan ancaman beruntun berupa larangan ekspor lebih dari 200 produk Rusia, pelarangan membayar bunga kepada investor asing yang memegang obligasi pemerintah Rusia, perusahaan Rusia dilarang membayar saham ke pemegang saham luar negeri, bahkan investor asing dilarang menjual saham ke Rusia.
Baca Juga: Mahasiswa dan Konten: Cukupkah Sekadar Tren?
Amerika Serikat menjadi pelopor penghasil minyak bumi terbesar di dunia sejak tercatat pada tahun 2020, sedangkan Rusia menduduki urutan ketiga setelah Arab Saudi. Sanksi embargo minyak bumi yang diberikan negara Uni Eropa dan Amerika Serikat kepada Rusia tentu akan berdampak pada kelangkaan minyak di dunia. Sehingga, lonjakan harga minyak bumi secara drastis akan meningkat, hal ini terbukti dengan adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di beberapa negara. Hal ini tentu juga berimbas kepada Indonesia yang juga merasakan dampak kenaikan bahan bakar minyak nonsubsidi pada awal bulan Maret 2022 seperti Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex.
Situasi perang antara Rusia-Ukraina tentu berdampak pada perputaran ekonomi secara global. Hal ini dikarenakan Rusia merupakan produsen dan pengekspor minyak, gas alam, dan batu bara terbesar ketiga di dunia. Tidak hanya itu, Ukraina juga memegang peranan penting dalam pasar Internasional seperti halnya pengekspor jagung dan gandum keempat di dunia. Akibat yang ditimbulkan dengan adanya konflik antara Rusia-Ukraina berdampak bagi negara dunia secara global. Hal ini tentu merupakan kondisi yang rentan bagi negara berkembang seperti halnya negara Indonesia. Perubahan politik dan instabilisasi perekonomian Indonesia menjadi taruhannya. Pengaruh yang dibawa cukup besar bagi negara Indonesia seperti halnya ketidakseimbangan harga pokok barang yang diimpor ke Indonesia, pendapatan atau pertumbuhan domestik yang rentan, serta suku pajak yang meningkat. Indikasi yang ditunjukkan merupakan ancaman terbesar bagi negara Indonesia, hal ini tentu mempengaruhi stabilitas keamanan, pertahanan, perekonomian, pangan, bahkan masyarakat secara keseluruhan karena Rusia memiliki cadangan pasokan minyak terbesar di dunia. Dampak yang dirasakan secara langsung oleh negara Indonesia seperti halnya kegiatan ekspor nonmigas yang mengalami penurunan dan impor gandum yang mengalami hambatan sehingga terjadi kenaikan harga bahan pangan.
Pada dasarnya peranan Indonesia dalam hal perdagangan terhadap Rusia dan Ukraina belum sebesar itu untuk mempengaruhi dua negara besar dunia ini. Namun, konflik yang terjadi antar dua negara tersebut menjadi stimulus ditambah lagi dengan kenyataan bahwa komoditas yang dikuasai dua negara tersebut merupakan komoditas krusial setiap negara dunia, salah satunya Indonesia seperti gandum, pupuk, gas, dan minyak mentah. Invasi yang dilakukan oleh Rusia pada Ukraina menghasilkan dinamika ekonomi dan politik secara Internasional. Pasalnya, negara di dunia khususnya negara Indonesia juga masih terus merangkak dan bertahan di kondisi pasca pemulihan akibat COVID-19. Ditambah dengan keadaan dunia Internasional yang semakin bergejolak sulit rasanya untuk Indonesia untuk bertahan dan beradaptasi dengan ketidakpastian tersebut.
Efek domino yang dirasakan oleh Indonesia akan terus memburuk karena kenaikan harga minyak yang begitu drastis tentu membuat harga bahan pokok lainnya juga meningkat. Hal ini dikarenakan bahan baku dasar serta distribusi produk menjadi jauh lebih mahal dibandingkan harga standarnya. Secara luas kondisi ini akan mengakibatkan inflasi dan perlambatan pertumbuhan ekonomi, krisis energi serta pangan dunia. Tidak bisa dipungkiri minyak bumi merupakan pasokan energi terbesar yang dibutuhkan, jika terjadi kelangkaan pada minyak bumi maka energi dunia juga akan sulit dipasok. Kondisi ini akan memperburuk industri energi yang ada di Indonesia. Di Indonesia sendiri perusahaan yang berorientasi di industri energi sebanyak 73 perusahaan pada Februari 2022. Adapun 70 diantaranya merupakan perusahaan yang berorientasi pada minyak dan gas bumi. Perusahaan ini tentunya merupakan perusahaan profit oriented yang dituntut untuk memiliki profitabilitas perusahaan yang tinggi karena harus mampu mempertahankan dan meningkatkan harga saham perusahaan di pasar modal.
Baca Juga: Unjuk Rasa di DPRD Kalbar, dari Minyak Goreng hingga 3 Periode
Sejatinya dari pasokan cadangan minyak dan gas alam Indonesia memiliki keberlimpahan di dalamnya seperti minyak bumi, nikel, batu bara, dan lain-lain. Namun, keberlimpahan tersebut masih belum mencukupi kehidupan masyarakat secara keseluruhan bahkan banyak yang masih terjebak dalam lingkup kemiskinan. Permasalahan yang tak kunjung selesai ini semakin diperparah dengan kenyataan bahwa harga bahan pokok ataupun minyak bumi yang semakin mahal. Hal ini tentu mempengaruhi penurunan Gross Domestic Product (GDP) ataupun pengangguran yang semakin meningkat. Di Indonesia sendiri masyarakatnya didominasi oleh pemikiran nominalis, artinya perhitungan daya beli didasarkan pada pendapatan yang dihasilkan. Sederhananya, jika pendapatan atau pemasukan meningkat maka hal ini linear dengan daya beli yang juga pasti akan meningkat.
Kasus yang terjadi saat ini mengenai kenaikan BBM di Indonesia tentu akan berhubungan erat pada kenaikan inflasi dan daya beli masyarakat yang menurun . Masyarakat yang paling terdampak adalah mereka yang tidak memiliki penghasilan tetap atau berada di bawah garis kemiskinan. Lonjakan harga yang begitu drastis belum tentu bisa dinormalisasikan oleh masyarakat dalam waktu yang singkat.
Tercatat oleh Badan Pusat Statistik bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 2,07%. Realisasi Produk Domestik Bruto anjlok dibandingkan 2019 yang mengalami pertumbuhan di kisaran 5,02%. Tidak hanya itu, BPS juga mengumumkan data inflasi Indonesia periode Juli 2022 yang tumbuh 0,64%. Secara keseluruhan, tahun 2022 menjadi laju inflasi terakselerasi. Adapun indikator lajunya inflasi di Indonesia yaitu disumbang oleh bensin sebanyak 4%. Hal ini bermakna bahwa harga BBM naik 10% maka inflasi juga akan meningkat sebanyak 0,4%. Kenaikan BBM tentu mempengaruhi ekonomi secara nasional. Namun, aspek masyarakat dan sosial juga ikut berdampak. Hal ini karena dalam menjalankan operasional perusahaan, BBM menjadi komponen penting yang sangat diperlukan. Sehingga, jika harganya semakin mahal dan produksinya semakin langka maka akan membebani biaya produksi dan keberlanjutan perusahaan. Dampaknya akan lebih serius seperti pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran untuk meminimalisir biaya operasional. Masyarakat semakin kehilangan mata pencaharian dan sulit bertahan hidup di situasi yang tidak bisa diprediksi sampai kapan akan usai.
Lantas bagaimana peran negara Indonesia dalam menjawab tantangan dunia saat ini? Dua hal yang dilakukan oleh negara yaitu penguatan internal dan perlindungan eksternal. Secara internal, banyak upaya yang pemerintah lakukan mulai dari pengembangan UMKM dan menggiatkan kepada masyarakat agar mempertahankan daya beli dengan meningkatkan daya jual. Bukan hal yang mudah bertahan di keadaan pemulihan COVID-19 ditambah dengan isu perang Rusia-Ukraina yang seakan-akan membuat keadaan Indonesia semakin chaos. Namun, negara tetap menjalankan responsibilitasnya sebagai kontrol sosial masyarakat yang harus mampu menyelamatkan masyarakat-masyarakat rentan di kondisi saat ini. Sesederhana menyediakan modal dan akses untuk meningkatkan kompetensi SDM, meningkatkan kemampuan pemasaran dan kewirausahaan kepada masyarakat dan menjalin kemitraan yang saling menguntungkan dengan masyarakat sebagai pelaku usahanya. Fokus pemerintah saat ini adalah mempertahankan daya beli masyarakat dengan meningkatkan daya jual mereka terlebih dahulu melalui program UMKM yang gencar dan giat dilakukan oleh pemerintah.
Sedangkan dari sisi perlindungan eksternal, pemerintah melakukan kewajibannya sebagai anggota negara Internasional dan menjalankan prinsip bebas-aktif. Prinsip ini digunakan Indonesia sebagai bentuk tanggapan terkait permasalahan ataupun perseteruan yang terjadi antara Rusia-Ukraina. Prinsip bebas-aktif yang diyakini Indonesia tidak identik dengan sikap netral, namun proses implementasinya lebih berorientasi pada kepentingan nasional dan kebutuhan masyarakat nasional terlebih dahulu. Bahkan Indonesia aktif memberikan solusi permasalahan Internasional yang saat ini terjadi seperti merekomendasikan De Eskalasi yang menstimulus dua negara yang berseteru untuk melakukan perundingan untuk menjaga kepentingan kemanusiaan secara global. Indonesia sendiri tidak memihak manapun baik Rusia maupun Ukraina. Bahkan hal ini terbukti pada kunjungan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi ke Rusia dan Ukraina dalam membawa misi perdamaian melalui pengaktifan kembali kerja sama ekonomi global.
Referensi
Abbas, N.A., & Kelen, L.H.S. 2021. Menakar Perbedaan Kurs Rupiah Terhadap Dolar Amerika Serikat dan Australia Sebelum dan Setelah PSBB. Jurnal Manajemen Bisnis. 18(4), 406-421.
Astrov, V., Grieveson, R., Kochnev, A., Landesmann, M., & Pindyuk, O. 2022. Possible Russian Invasion of Ukraine, Scenarios for Sanctions, and Likely Economic Impact on Russia, Ukraine and the EU. Issue February.
Bakrie, C.R., Delanova, M.O., Yani, Y.M., Magister, P., International, H., & Ilmu, F. 2022. Perekonomian Negara Kawasan Asia Tenggara. Caraka Prabu, 6(1), 65-86.
Chandra, T., & Stefanny Valencia Halim, F.F. 2022. Global Governance, Covid-19 & Recession in ASEAN Member States Global. The European Union: How Does It Work, 27(1), 71-91. Retrieved from www.euro.who.int
Djumala, D., & Gatra, S. 2022. Prinsip Bebas-Aktif dalam Konfik Rusia-Ukraina.
Hutabarat, G.F.I., Arah kebijakan Luar Negeri Indonesia Pasca Perang Rusia-Ukraina Berdasarkan Perspektif National Interest. Jurnal Al Azhar Indonesia Seri Ilmu Sosial. Vol. 03, Nomor 03, Oktober 2022, Hal. 154-163.
Kurmala, A. 2022. Ini Sikap Indonesia Terhadap Konflik Rusia-Ukraina. ANTARA
Lubis, A.M. 2022. Pakar Menjawab: Ini Dampak Ekonomi yang Mungkin Dirasakan Indonesia dari Konflik Rusia-Ukraina. The Conversation.
Supriyanto, S. 2012. Perekonomian Indonesia Pasca Invasi Amerika ke Irak. Jurnal Ekonomi dan Pendidikan. 1(1).
Penulis: Syarifah