“Pelanggaran HAM paling tinggi pada bidang infrastruktur tapi pemerintah malah merespon cepat dan mengeluarkan surat keputusan untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan,” ucap Dian.
mimbaruntan.com, Untan – Berkabung bersama pada rangkaian peringatan September Hitam, menolak lupa tragedi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia, salah satu agenda yang terlaksana di Rumah Gesit Gemawan, yakni nonton bareng “Kiri Hijau Kanan Merah” dokumenter film Munir sang aktivis HAM yang belum menemukan titik terang keadilan dalam kematiannya.
Di Kalimantan Barat (Kalbar) sendiri, Dian Lestari selaku salah satu penyelenggara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kalbar menjelaskan masih banyak pelanggaran HAM struktural yang terjadi, bahkan sering kali kasus pelanggaran yang ada disalahartikan terkhusus pada pemenuhan HAM.
“LBH menghimpun data pelanggaran HAM struktural yang diambil dari kliping media setiap hari. Jadi, dari kami mengumpulkan data-data. Pelanggaran HAM dalam konteks pengertian awam itu kayaknya masih membayangkan pembunuhan, penghilangan paksa kayak kasus Munir itu baru disebut pelanggaran HAM. Sementara kalau kita lihat dari kategori pelanggaran HAM, jalan rusak aja itu pelanggaran HAM. Yang terlanggar apa? Hak untuk mendapatkan infrastruktur yang layak,” ungkap Dian.
Baca Juga: Kapolri: Demo itu Hak Warga Negara
Dian juga menekankan masih banyak tugas pemenuhan HAM yang harus segera dituntaskan. Pemerintah masih salah fokus dan kurang peka dalam melihat pemenuhan mana yang paling perlu untuk diselesaikan terlebih dahulu.
“Perkembangan pelanggaran HAM di Kalbar yang kami pantau selama 2023, contoh pelanggaran HAM paling tinggi pada sisi pemenuhan infrastruktur di satu kabupaten. Mestinya, respon kerja-kerja pemerintah itu di situ tapi tidak ditemukan,” sambung Dian menjelaskan respon pemerintah tidak sesuai dengan pelanggaran HAM yang terjadi.
Pelanggaran HAM yang terjadi sejak dahulu hingga sekarang jelas menggambarkan bahwa pemerintahan Indonesia bungkam, enggan melalui proses keadilan transisi untuk memberikan hal pokok yang mendasar mengenai kasus serta permasalahan yang ada. Empat hal pokok dalam keadilan transisi adalah pengungkapan kebenaran, pemberian keadilan, menjamin ketidakberulangan di masa depan, serta pemulihan.
“Dari sejarah tergambarkan bahwa pemerintah atau negara sangat jarang ingin mengakui pelanggaran HAM yang dilakukan, minta maaf tidak apalagi memenuhi hak untuk melakukan keadilan transisi. Contoh kasus pembunuhan Munir kita lihat nyata semua tidak dipenuhi oleh negara keadilan transisi itu sangat penting. Kalau itu tidak dipenuhi maka kita ini akan tenggelam dalam ingatan yang pudar dengan ketidakadilan yang dipraktikkan, dari tidak bersedia untuk diungkap kebenarannya apalagi dipulihkan, tidak ada permintaan maaf tidak ada penguraian siapa pelaku dan siapa korban. Jangan harap akan jadi ketidakberulangan di masa depan,” jelas Dian.
Dian beranggapan upaya dari pemerintah dalam penanganan kasus pelanggaran dan pemenuhan HAM sangat belum maksimal pada praktiknya. Keadilan dan pengungkapan kebenaran masih melewati perjuangan.
“Kalau dari sisi pemerintah tentang undang-undang, saya secara pribadi merasa ini sudah diupayakan dengan pembentukan lembaga Komisi Nasional (Komnas) HAM dan semacamnya juga. Tapi pada kenyataannya masyarakat masih merasakan ketidakadilan, kasus pelanggaran seperti Munir bahkan tidak tersentuh orang-orang yang seharusnya diberikan sanksi. Jadi, kita masih sulit untuk mendapat keadilan mengungkapkan kebenaran dan lain-lain,” tambah Dian.
Baca Juga: Kota yang Terbakar
Pembangunan infrastruktur yang belum dipenuhi sering dipandang sepele. Pemberitaan mengenai kerusakan jalan pedesaan menuju kota di Kalbar masih berseliweran di kanal sosial media.
“Kita masih menjumpai orang ditandu-tandu, dipikul untuk ke rumah sakit, jika dibayangkan tidak simpel. Itu bukan sesuatu yang harus dinormalisasi karena sudah biasa, jangan. Jangan-jangan kita juga makin imun dengan kasus-kasus seperti itu. Kalau kita ngebayangin kita yang di posisi itu pasti kita merasa ga adil banget, akses pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur untuk pemenuhan hak dasar. Mungkin masyarakat belum merasa bahwa pemerintah adalah lembaga yang wajib memenuhi hak itu,” ujar Dian.
Peraturan secara mendasar menjadi acuan menyelesaikan persoalan yang ada di Indonesia. Namun, peran masyarakat diperlukan juga untuk mendesak agar pihak berwenang melaksanakan tanggung jawabnya.
“Adanya aturan maka kita punya alat untuk menagih. Yang udah ada aja pelaksanaanya masih jadi PR. Aturan itu penting tapi ga jauh penting kita mendesak agar si pelaksana peraturan juga benar-benar bekerja dengan maksimal,” tegas Dian.
Tak hanya Dian, Ikatan Mahasiswa Giat Rupa (Imagi Rupa) turut buka suara dengan menggabungkan seni dan pergerakan demonstran di Pontianak. Nauval, bagian dari Imagi Rupa mengatakan Imagi Rupa hendak membuka kesadaran melalui sketsa demonstran Pontianak agar pihak manapun terus menyuarakan keresahan serta menyerap aspirasi masyarakat.
“Kami juga merasakan keresahan sebagai masyarakat Indonesia ditindas haknya dan atas keresahan masyarakat juga. Kami, Imagi Rupa punya cara sendiri untuk mengaspirasikan keresahan kami, yaitu dengan cara dokumentasi sketsa langsung. Kami berharap lewat pergerakan kecil kami dapat berdampak pada masyarakat Indonesia, khususnya Pontianak agar meningkatkan kesadaran mereka bahwa kita sebagai masyarakat jangan pasif tapi aktif bergerak untuk banyak orang,” ujar Nauval.
Nauval menyampaikan harapannya terkait penyelesaian serta pemenuhan HAM dari pihak pemerintah. Nauval menyematkan pernyataan agar api harapan untuk negara tak pernah padam.
“Saya harap untuk kasus HAM akan terselesaikan entah itu di masa presiden sekarang maupun masa presiden baru nanti walaupun kecil harapan. Tapi harapan tidak boleh mati dan saya berharap lewat pergerakan kita yang semakin meluas dan sistematis dapat membuka mata pejabat-pejabat Indonesia untuk lebih peka dan tergerak hatinya atas ketidakadilan yang dirasakan masyarakat Indonesia,” harap Nauval.
Penulis: Mira Loviana
Editor: Vanessa Stephanie