mimbaruntan.com, Untan – Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan produk hukum dari parlemen Belanda yang telah dibuat pada tahun 1800-an, dan kemudian diadopsi, disahkan serta mulai berlaku di Indonesia pada tanggal 1 Januari 1918. Pembaruan terhadap KUHP pun sudah dilakukan sejak 1964 silam. Namun baru mengalami perkembangan yang signifikan di masa Orde Baru, lebih tepatnya pada masa kepemimpinan Menteri Kehakiman.
Saat ini terdapat wacana bahwa Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) akan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam waktu dekat, yaitu di awal bulan Juli 2022. Meskipun begitu, diketahui masih banyak pasal kontroversial yang dapat mengikis kehidupan berdemokrasi. Seperti Pasal RKUHP tentang Penghinaan Presiden, tentang Korupsi, Makar (Perbuatan Menjatuhkan Pemerintah), dan masih banyak lagi.
Melihat kondisi tersebut, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Mimbar Universitas Tanjungpura (Untan) berkesempatan menggelar diskusi umum yang bertajuk “DIAM-DIAM RKUHP: Pasal Kontroversial, Bahaya Kepastian Hukum dan Perlindungan HAM” bersama Muhammad Isnur (Ketua YLBHI) dan Dian Lestari (Jurnalis SEJUK Kalimantan Barat) di Sekretariat LPM Mimbar Untan pada Minggu, (26/6).
Hafidh Ravy Pramanda selaku Kepala Divisi Penelitian dan Pengembangan (Litbang) LPM Untan mengatakan bahwa diskusi mengenai RKUHP sangat penting mengingat RKUHP berpotensi mengancam demokrasi dan menjalar ke seluruh aspek masyarakat.
“Kita harus membahas lebih lanjut karena banyak sekali pasal yang ada di RKUHP, apalagi kita belum mengetahui drafnya secara keseluruhan. Maka dari itu, perlu diadakan diskusi lanjutan ataupun konsolidasi gerakan serta sosialisasi kepada masyarakat tentang bahaya RKUHP yang sekarang,” ucapnya.
Baca juga: Raperda Toleransi Bermasyarakat di Pontianak, Sebuah Upaya Atasi Kasus Intoleran
Sebagai pemantik diskusi, Muhammad Isnur menyampaikan kekhawatirannya terkait pengesahan RKUHP yang terkesan terlalu terburu-buru dengan wacana ketok palu pada 17 Agustus 2022 mendatang, atau bahkan lebih awal di tanggal 7 Juli 2022 sebelum masa sidang paripurna DPR terakhir.
Selain itu, Muhammad Isnur juga menyampaikan terdapat pasal kontroversial seperti Pasal 273 RKUHP tentang demonstrasi, Pasal 353 RKUHP dan Pasal 354 RKUHP tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara yang dianggap tidak bermasalah oleh DPR.
“Pasal-pasal itu dianggap tidak bermasalah, pasal yang dianggap tidak lagi perlu dibahas, pasal yang tidak termasuk matriks enam belas poin yang sedang diperbaiki pemerintah. Jadi dianggap sudah selesai tinggal ketok palu,” tuturnya.
Ivan Wagner, salah satu peserta diskusi turut menyampaikan pendapatnya bahwa masalah yang dihadapi dalam pengesahan RKUHP tidak hanya bermasalah dari segi substansialnya saja namun juga dari segi strukturalnya pula.
Baginya, aparat dan penegak hukum masih belum mengetahui kapan suatu tindakan harus menggunakan ultimatum remedium (perkara yang menggunakan hukum pidana sebagai jalan akhir), dan primum remedium (perkara yang menggunakan hukum pidana sebagai jalan utama).
“Ga jelas pakai naskah yang mana. Sebagai contoh, maling ayam dipidana satu setengah tahun sedangkan koruptor dua tahun. Orang awam juga sudah paham bahwa hal tersebut tidaklah adil tanpa melihat naskah. Jadi masalahnya bukan hanya tentang substansi namun juga struktur,” jelasnya sembari memberikan contoh kasus yang pernah terjadi di Indonesia.
Baca juga: Relevansi Permendikbud 30 Harusnya Tak Hadirkan Pro Kontra
Melihat dari kaca mata pers, Dian lestari juga turut memberikan tanggapannya mengenai RHUKP tersebut. Baginya, kebebasan pers yang sudah diperjuangkan di masa lalu sedemikian panjangnya haruslah dirawat di masa sekarang, tidak hanya oleh jurnalis namun seluruh masyarakat.
“Lahirnya UU Pers adalah perjuangan bersama, hari ini kita memiliki kebebasan pers, bisa berpendapat secara bebas, bisa berekspresi, berkumpul, berpendapat karena ada perjuangan panjang. Setelah perjuangan panjang itu kita tidak boleh lupa untuk merawatnya,” ungkapnya.
“Kalau hari ini jurnalis diberi beban berat seolah hanya jurnalis yang memiliki kewajiban menjaga kebebasan pers tersebut, menurut saya itu keliru. Kami para jurnalis sangat perlu agar hal tersebut (read: merawat kebebasan pers) dilakukan bersama-sama,” Dian melanjutkan penjelasannya.
Adapun Sidik Muhammad sebagai salah satu peserta merasa puas dengan adanya diskusi umum ini, dikarenakan dapat menyadarkan mahasiswa agar lebih peka terhadap isu RKUHP.
“Kita sebagai mahasiswa jadi terpancing pikirannya agar lebih peka dalam menanggapi isu-isu yang ada seperti isu RKUHP yang akan disahkan ini. Juga memberi solusi kepada teman-teman mahasiswa agar tidak sembarangan melakukan aksi di jalan,” ucapnya.
Penulis : Abil
Editor : Monica