Bukan hanya karena Shenina Cinnamon yang memerani Suryani, Chicco Kurniawan (Amin), Lutesha (Farah), Jerome Kurnia (Tariq), Dea Panendra (Anggun), hingga Giulio Parengkuan (Rama) telah membuat film ini terasa sangat nyata. Segala emosi disusun seapik mungkin, ditumpah ruahkan di posisi yang sangat tepat. Tak ada celah.
Terlebih ketika melihat adegan Chicco Kurniawan yang sering memainkan peran biasa saja di banyak serial film, di sini Chicco justru tampil berbeda sebagai pemilik tukang fotokopi. Gerak tubuh, suara marah dan ketakutan ia dalami sedalam hisapan ududnya saat memfotokopi pesanan mahasiswa. Semua pemain mendalami peran begitu dalam.
Dari judul sudah mengundang sorotan, tukang fotokopi sangat jarang orang menyebutnya “Penyalin Cahaya”. Kalau tak membaca sinopsisnya, saya tak paham kaitan judul dengan perempuan berkebaya hijau di sampul film. Ah, Wregas Bhanuteja memang selalu mendapatkan judul yang rumit tapi unik.
Persis seperti judulnya, film ini sejak awal menyembunyikan segala teka-teki Kekerasan seksual di kampus yang perlahan terbuka melalui mesin fotokopi.
Kekerasan Seksual dari Sudut Pandang Korban
Jika pemain patut diapresiasi untuk pendalaman karakternya, seluruh tim Rekata Studio & Kaninga Pictures juga sangat patut mendapatkan 17 penghargaan Piala Citra dalam FFI (Festival Film Indonesia), termasuk kategori Film Panjang Terbaik dan Sutradara Terbaik.
Sebab Film ini menceritakan Suryani yang harus kehilangan beasiswanya setelah ia mendapatkan Kekerasan Seksual. Betapa banyak kasus seperti ini yang terjadi di banyak perguruan tinggi di Indonesia.
Tak hanya itu, yang membuat penonton semakin miris adalah ketika upaya pelaporan Suryani justru menjadi ancaman balik baginya. Ini juga bukan hal yang jarang terjadi. Miris dan Pilu. Pihak Kampus memang seringkali bobrok dalam pengungkapan kasus Kekerasan Seksual, berapa banyak mahasiswa yang ingin mengikuti kegiatan positif di kampus terpenjara oleh berbagai kekerasan seksual yang sayangnya kampus pura-pura baik-baik saja.
Penonton benar-benar dihanyutkan dengan bagaimana perjuangan Suryani, mahasiswi jurusan komputer semester 3 yang mencari keadilannya dengan segala ilmu yang dia punya. Seluruh sudut pandang korban disajikan senyata mungkin. Apa adanya.
Pelan-pelan dengan sabar, satu per satu, perhatikan setiap detail film dari awal, segala teka-teki dan tanda tanya terkuak perlahan. Hingga akhir cerita tak ada yang menyangka seluruh korban kekerasan seksual, dari kalangan manapun, dan gender apapun disuarakan oleh mesin fotokopi.
Tak hanya menegaskan begitu pentingnya sebuah kebijakan perlindungan korban kekerasan seksual dalam kampus, film ini juga menyadarkan betapa karetnya UU ITE dalam kehidupan sehari-hari yang bisa menjerat siapapun, hingga korban sekalipun
Nyawa dari Sudut Pengambilan Gambar
Lagi-lagi setelah menonton film ini penonton akan mewajarkan 17 penghargaan untuk film yang kini tayang di Netflix. Bagaimana pun, warna “Indonesia” hadir di setiap sudut pengambilan gambar, membuat film ini semakin bernyawa dengan tampilan “apa adanya” yang disuguhkan.
Bukan hanya karena kebaya, pertunjukan teater, ataupun sikap kampus yang mentah menangani isu kekerasan seksual, tapi setiap situasi dan budaya dari setiap emosi yang ada tertangkap oleh lensa, seolah ingin bicara pada semua penonton dari manapun asal negerinya, bahwa inilah Indonesia. Khas Wregas, ia memang selalu begitu, menyuguhkan “Indonesia” di setiap napas film nya.
Meskipun salah satu kru film terlibat dalam kasus kekerasan seksual yang mengundang banyak tuntutan untuk mencabut penghargaan dari FFI, Pihak Rekata Studio & Kaninga Pictures telah menghapus kru yang berinisial H tersebut dalam credit film hingga wikipedia. Terlepas dari itu, saya memberi nilai 9/10 untuk Film ini.
Segera saksikan di Netflix kesayanganmu!
Penulis : Mara