mimbaruntan.com, Untan – Sebuah romansa yang menjerat kaum muda, beriringan menuju keharmonisan dalam tahap berproses dan berkembang atau justru menyeret dalam palung luka kegagalan sebuah hubungan menuju masa depan. Berpacaran salah satu langkah menuju keputusan besar jenjang sebuah pernikahan. Memilih siapa yang menjadi partner dalam bertukar pikiran, menyisihkan waktu melewati suka dan duka, juga menjadi sosok yang terlibat dalam pertengkaran-pertengkaran kecil di alur hidup sebagai manusia, serta digunakan sebagai ajang seleksi memilih pasangan sehidup semati. Banyak asumsi dalam mengartikan hal ini, definisi yang sangat menggemaskan bukan?
Healthy Relationship sebuah hubungan yang dapat membangun kebiasaan baik dalam meningkatkan kualitas diri, dipenuhi pembelajaran dan kegembiraan yang berdampak pada kesehatan fisik dan psikis. Sementara Toxic Relationship hubungan yang berbanding terbalik, justru menyebabkan kesengsaraan dari hal-hal kecil yang tak disadari hingga kekerasan verbal, fisik, ekonomi maupun seksual.
Belenggu patriarki masih dijunjung tinggi hingga kini. Ketimpangan yang berlandaskan peran bias gender di mana laki-laki berpikir bahwa mereka pendominasi, sehingga perempuan harus terpojok dengan stereotipe dan laki-laki merasa mengontrol penuh sebuah hubungan. Kasus Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) terjadi pada akhirnya, perempuan kembali menjadi sasaran empuk. Sebenarnya perempuan tercipta untuk dicintai atau jadi objek nafsu semata?
Baca Juga: Good Girl Syndrome: Menjadi Baik yang Menyakitkan
Stigma perempuan yang dianggap lemah secara fisik menjadi alasan dimanfaatkan tubuh perempuan sebagai pelampiasan objek kekerasan seksual. Rentan dan perasa adalah hal lainnya yang dicap untuk kaum hawa, beberapa perempuan menolak keras pernyataan tersebut namun beberapa lainnya menyetujui hal ini, sehingga saat pasangan meminta sentuhan fisik sebagai bukti cinta perempuan akan sulit menolak hal tersebut. Mencium, memeluk, meraba kemudian melakukan persetubuhan biasanya kegiatan seksual ini hanya dikehendaki oleh pelaku berserta embel-embel, mau nanti ataupun sekarang, kita juga akan menikah.
Kurangnya pemahaman terhadap KDP juga menjadi tolak ukur maraknya hal tersebut terjadi, kesulitan meminta bantuan atau tak adanya teman sebaya yang dapat dipercaya, dan lagi-lagi stigma tentang perempuan di masyarakat, serta takut ranah privasi tersebar luas masih menjadi tantangan mental terbesar korban. Korban kekerasan seksual rentan dikucilkan dikehidupan sosial itu sebabnya banyak perempuan yang takut lepas dari kekasihnya, apalagi bila terpikir bahwa dirinya telah tercoreng dan rusak padahal tidak. Ia merasa tak akan ada pria yang menerima masa lalunya, ada juga disaat ingin berakhirnya suatu hubungan pemerasan dengan ancaman menyebarkan video ataupun gambar pornografi. Peperangan psikis yang amat melelahkan bukan?
Baca Juga: Erra Si Merpati Putih
Melaporkan kasus KDP bukanlah hal yang mudah, apalagi itu berhubungan dengan orang yang disayangi. Akan lebih enteng bila itu tak dialami oleh pembaca, namun jika pembaca seorang yang pernah menjadi korban jutsru ini sebuah luka yang amat mendalam. Dengan rasa cinta menimbun masalah dan memaafkan rasanya sudah keputusan paling benar, tak perlu berurusan dengan hukum. Hanya saja sangat disayangkan kasus ini perlu diusut tuntas, keadilan dan kebenaran harus tetap digemakan. Pelaku kekerasan seksual tidak akan berubah hanya dengan dimaafkan, biarkan ia terjerat hukum seperti ia menjerat kita dalam Toxic Relationship. Meski bukan Undang-undang (UU) dalam KDP secara resmi, ada beberapa payung hukum dengan pasal yang selaras dengan kasus ini:
Pasal 285 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai berikut: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
Pasal 289 KUHP sebagai berikut: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
Serta UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) nomor 12 tahun 2022.
Penyebaran video tanpa izin dari pemilik video dapat dikenai hukum sesuai dengan:
Pasal 310 ayat 1 dan 2 KUHP yaitu: Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Pasal 27 ayat 1: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Pasal 27 ayat 3: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Perempuan diciptakan dari tulang rusuk sebagai penolong bagi laki-laki, pendamping yang setara tak perduli beberapa orang masih hidup dengan perspektif patriarki, perempuan layak untuk dicintai dan bukan objek seksual dan penganiyaan semata.
Penulis: Mira
https://cekhukum.com/pasal-289-kuhp-kitab-undang-undang-hukum-pidana/