“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda” – Tan Malaka
Ikrar satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa yang digaungkan beriringan dengan kumandang pertama Indonesia Raya adalah momentum kristalisasi api juang pemuda-pemudi Indonesia. Tercatat abadi dalam sejarah pada 28 Oktober 1928, Batavia Jakarta, Kongres Pemuda II Indonesia. Dua puluh tahun sebelumnya, tujuh tahun pasca berdirinya Budi Oetomo, barisan pemuda berangkat untuk bangkit dalam kotak-kotak suku persukuan. Sembilan belas lima belas, kokoh berdiri Tri Koro Dharmo yang kemudian beralih nama menjadi Jong Java, darinya satu per satu kebangkitan pemuda melahirkan barisan-barisan baru pemuda, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Ambon, dan sekian banyak lainnya. Belajar dari eksistensi ego kedaerahan yang tampak di Kongres Pemuda I pada 1926, tikar yang menyatukan barisan pemuda kembali digelar untuk mendudukan perspektif pada 1928 dengan jamuan cita-cita yang sama, duduk diwadahi oleh Sugondo Djojopuspito, mencatat rekam sejarah tentang kelahiran singgasana pemuda Indonesia yang bernama “Sumpah Pemuda”.
Sudah 91 tahun tanah Indonesia ini disatukan oleh idealisme para pemuda, dan apakah kemewahan tersebut masih nyata adanya menjadi hal yang harusnya menguncang jiwa mereka-mereka yang saat ini mengaungkan diri sebagai seorang pemuda yang berdiri di tanah kepunyaan pertiwi. Mari kita memanen kemewahan tersebut dan melawan fenomena kemiskinan yang menimpa mereka yang mengaku sebagai pemuda bangsa, atau lebih mirisnya saat ini tidak ada kemewahan yang bisa dipanen kembali lantaran ladang ruh pemuda perlahan kembali menuju nirwana.
Mohammad Yamin, dengan suguhan kemewahan racikan sendiri, berkata
Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie
Saya mempunyai suatu formulasi yang lebih elegan untuk keputusan kongres ini,
Entah kemana perginya kemewahan itu saat ini, bukannya sinis, apalagi pesimis, namun memang begitu adanya, ironis. Tidak sedikit auman pemuda-pemudi yang peduli dengan bangsa, namun yang menolak peduli tidak kalah banyaknya, mengakar dihujani oleh ketidakpedulian yang dilapisi rasa ego. Semua lebih senang mengkotak-kotakan barisan, lebih senang berjalan sendiri-sendiri, berlari menjauh entah kemana saat pertiwi merintih kesakitan, meminta suapan kepada bangsa dengan rasa tidak tahu diri.
Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia – Ir. Soekarno
Apa kabar seruan yang disuarakan oleh sang putra fajar kepada pemuda bangsa? Kontribusi yang ditunggu tak kunjung datang, yang selalu menghakimi pemberi harapan palsu, padahal ia sendiri lebih dari itu, munafik nampaknya.
Apa kabar moral pemuda bangsa? Bobrok sekali katanya, nyatanya memang demikian, bukan khayal khawatir lagi. Siraman zaman teknologi menciprat nilai-nilai hingga habis terkikis, menyisakan citra busuk yang miris.
Apa kabar budaya sendiri yang seharusnya dibanggakan? Lenyap entah kemana, kemudian baru akan teriak memaki saat kepunyaan sendiri diakui para pencuri. Tidak sedikit yang buta, tuli, bisu, secara bersamaan, sungguh ironi.
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Mau kita kemanakan surga yang jatuh ke bumi ini jika kita sendiri lemah berdiri tak pernah bangga dengan kearifan sendiri?
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Yang katanya berbangsa yang satu, namun selalu menolak bangga, malah terus tak henti memuji keagungan tetangga di seberang nun jauh.
Kami poetra dan poetri Indonesia, mendjoendjong bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Kepada mulut yang tak henti berbicara, sudah sejauh mana kita berbahasa dengan bangga? Atau kita terus memilih untuk bangga berbahasa alien? Ah sudahlah.
Syukur sesyukur-syukurnya, masih ada pemuda-pemudi luar biasa yang berani bergerak menopang wibawa bangsa di mata dunia, masih ada pemuda-pemudi perkasa yang dengan gagahnya menopang pertiwi tatkala jatuh runtuh nyaris menghampiri, masih ada pemuda-pemudi berhati mulia yang rela dengan ikhlas mendedikasikan diri atas nama tanah air, dan lebih bersyukurnya, masih ada pemuda-pemudi yang mempertahankan keidealismeannya. Apakah aku salah satunya? Atau kamu yang saat ini membaca tulisan ini? Semoga saja kita termasuk didalamnya.
Atas nama tanah air tumpah darah,
Atas nama bangsa Indonesia yang aku juangkan,
Atas nama lisan yang bangga berbahasa Indonesia,
Ayo kembalikan kemewahan yang sempat tenggelam ditelan zaman,
Tentang idealisme para pemuda,
Aku, kamu, kita, satu
“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda” – Tan Malaka
Penulis: Dery Wahyudi