Jika kehadiran seorang anak adalah anugrah yang tiada tara nilainya, lalu mengapa kehadiranku di dunia malah di sia-sia kan. Ibu, Ayah, ah sosok yang sering disebut-sebut sebagai malaikat tanpa sayap, yang tulus kasihnya sepanjang masa, bahkan surga ada ditelapak kaki salah satu sosok yang disebut bagai malaikat itu. Bagi anak panti sepertiku, yang tak beribu bapak, dimanakah letak surga itu? seringkali kutanyakan ini pada Suster, yang merawat kami sejak kecil hingga kini dengan penuh kasih sayang dan perhatian, kami layaknya anak yang mereka lahirkan dengan penuh perjuangan , padahal Suster tak pernah mengandung apalagi melahirkan.
“Suster, kenapa Dira bisa ada di panti? Bukan di rumah bersama orang tua layaknya anak-anak di luar sana? Apakah dulu orang tua Dira meninggal sehingga tidak ada yang bisa merawat Dira? ataukah Dira sengaja dibuang? Dira anak haram ya?”
Suster Maria menatap mataku dengan dalam, kemudian Ia memelukku mengelus kepalaku, hangat, sungguh hangat rasanya.
“Dira sayang, apa pun yang terjadi pada Dira dan orang tua Dira di masa lalu, biarlah berlalu, sekarang jalani hidup yang baru dengan penuh rasa syukur, semua anak istimewa di mata Tuhan. Doa kan saja semoga Tuhan selalu memberkati orang tua Dira.Dira jangan merasa berbeda karena tidak punya orangtua. Suster adalah orangtua untuk Dira, kakak, abang, dan adik-adik di panti”
“Dira hanya merasa bersalah Suster” mataku mulai sedikit berkaca.
Suster melepaskan pelukannya perlahan, Ia kembali menatapku dengan penasaran.
“Mengapa nak?”
“ Dira rasa, Dira bukanlah anugrah untuk orangtua Dira, bisa jadi kehadiran Dira didunia ini adalah suatu keburukan dan beban, pasti kelahiran Dira dipenuhi kesedihan, Dira merasa bersalah telah membawa kesedihan bagi orang tua Dira” air mataku mulai menetes perlahan, seketika aku merasa berdosa lahir membawa kesedihan, andai yang dihadapanku ini adalah Ibu yang melahirkanku, ingin rasanya ku peluk tubuhnya dan katakan maaf telah hadir sebagai perusak bahagianya.
“Tidak sayang, tidak seperti itu. Semua anak adalah anugrah, ingat ada Bapa yang selalu menyayangi anak-anak-Nya, lebih dari siapa pun di dunia ini, Dia tak pernah tinggalkan kita dalam keadaan apa pun, bila hatimu risau, bicaralah pada-Nya nak, kasih-Nya selalu tercurah bagimu melalui hal-hal yang bahkan tidak Dira sadari.” Suster menyeka air mataku yang mulai membasahi pipi, Suster selalu tersenyum, senyumannya bak memancarkan sepercik harapan bagi anak-anak sepertiku .
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 21.00, sudah saatnya kami untuk tidur, Suster mengantarkanku ke kamar, sembari memastikan bahwa para penghuninya sudah ada ditempat.
“Selamat malam sayang, jangan ribut lagi ya, sebelum tidur jangan lupa berdoa, tidurlah dengan nyenyak dan besok bangun dengan semangat yang luar biasa ya, selamat malam” kata-kata ini selalu Beliau ucapakan di tiap-tiap kamar anak panti, jumlahnya ada 7 kamar dan dihuni oleh 4 anak dalam 1 kamar.
“Selamat malam Suster, selamat tidur, kami sayang Suster” kalimat ini juga selalu kami ucapkan pada Suster sebelum tidur, bukan hanya Suster Maria tapi juga Suster lainnya yang mengurus panti ini.
Senyap seketika, ketika jam tidur kami tak berbicara satu sama lain, ada segera terlelap ada pula yang masih merenung menanti lelahnya mata. Entah mengapa,beberapa waktu belakangan ini, aku sering kali sulit tidur, seringkali aku memikirkan kedua orangtuaku, bagaimana rupa mereka, bagaimana kabar mereka, apakah mereka baik-baik saja atau malah sebaliknya. Aku ingin mereka tahu aku hidup layak disini, Jadi mereka tak perlu mengkhawatirkanku. Ah, apakah aku terlalu percaya diri bahwa orangtuaku mengkhawatirkanku? Sungguh , ingin rasanya aku mengingat kejadian masa lalu, saat kedua maliakat tanpa sayapku ada bersamaku, ingin rasanya aku melihat wajah Ayah Ibuku, tak apa bila aku tak hidup bersama mereka, setidaknya aku hanya ingin mengingat wajah mereka, hingga aku tak harus seperti sekarang ini, merindu tanpa tahu bagaimana sosok yang kurindu.
Aku merasa bersalah, sebab telah menuntut lebih dari takdirku, bahkan mempertanyakan apa benar orangtua adalah malaikat tanpa sayap yang kasihnya tiada berkesudahan, aku merasa berdosa, sebab meragukan bahwa aku adalah anugrah yang tiada taranya. Kadang aku merasa tak pantas untuk bicara dari hati pada Bapaku yang telah mengutus aku, namun aku yakin Bapa itu maha pengampun, Ia tak lantas meninggalkanku oleh karena dosa-dosaku.
Malam sudah semakin sunyi, dingin mulai mencoba untuk memeluk tubuh ini, sudah saatnya untuk beristirahat sembari mengumpulkan energi untuk hari esok. Dalam doaku aku memohon pada-Nya agar semua orang dapat merasakan hangatnya kasih Tuhan melalui masing-masing cara yang Tuhan sesuai rencana-Nya. Aku memang tak dapat melihat semua rencana Tuhan, namun aku percaya Ia selalu menuntun langkahku.
Titip rindu untuk kedua orang yang ku rindu, yang tak ku tahu rupanya, semoga senantiasa diberkati. Te Amo.
Penulis: Reza