Judul Buku : Bumi Ayu
Pengarang : Restiana Purwaningrum
Penerbit : Pataba Press
Tahun Terbit dan Cetakan : 2019, cetakan pertama Maret 2019
Tebal Buku : XIV + 247 halaman
ISBN 97delapan – 602-5604-19-5
Sebuah buku yang bernuansa alam dan perempuan yang ditulis oleh penulis lokal bernama Restiana Purwaningrum terbit di tahun 2019 lalu. Buku ini menghantarkan pembaca pada perasaan teriris menyaksikan ketidakadilan merenggut kehidupan damai Desa Bayan hingga konflik sengketa lahan antara pihak perusahaan dengan masyarakat lokal yang kian memanas. Di awal cerita, pembaca akan dibawa berkenalan dengan sosok Dara Kirai gadis sederhana dengan sejuta mimpi yang berbahagia hidup bersama Apai (Ayah) dan Inai (Ibu) di desanya yang hijau dan asri. Dara Kirai tumbuh bersama kesederhaan alam yang tiada henti untuk membuatnya merasa bersyukur.
Sampai pada suatu hari, perusahaan perkebunan kelapa sawit Bintang Utara datang untuk membuka lahan di Desa Bayan. Kebahagiaan Dara Kirai terenggut satu persatu. Sejak awal Inai memang tak tertarik dengan iming-iming yang dijanjikan oleh Bintang Utara. Ia tetap kekeh menggunakan tanahnya untuk berkebun dan memilih berseberangan pandangan dari mayoritas penduduk desa yang sudah terpengaruh oleh Bintang Utara. Padahal lahan milik penduduk dibayar dengan kompensasi tak sebanding. Inai bahkan sempat beradu pendapat dengan berapi-api melawan Bintang Utara yang memaksa merebut lahan milik penduduk. Namun tetap saja, keberdayaannya kalah oleh kebesaran Bintang Utara. Sejak saat itu kehidupan Dara dan penduduk desa berubah drastis, mulai dari mata pencaharian hingga keadaan alam. Kedamaian Desa Bayan telah terusik oleh hadirnya Bintang Utara yang nyatanya membawa kekacauan.
Para penduduk asli Desa Bayan menderita di tanah mereka sendiri. Rumah, ladang dan tanah kini telah menjadi hak milik perusahaan Bintang Utara. Tanah leluhur yang dijaga bertahun-tahun menjadi sengketa karena masalah izin tertulis yang dilontarkan perusahaan Bintang Utara. Kedatangan perusahaan Bintang Utara menjadi ancaman dan malapetaka bagi Desa Bayan. Penderitaan baru kini membawa begitu banyak perubahan dan merugikan masyarakat. Oleh karena keadaan di Desa Bayan sudah tidak seperti dulu banyak kepala keluarga yang mencari pekerjaan ke luar desa. Begitu pula dengan Apai Dolan (Ayah Dara Kirai). Kemudian untuk mencukupi kebutuhan ekonomi, banyak perempuan Desa Bayan terpaksa menjadi buruh lepas di perusahaan Bintang Utara dengan standar operasional kerja buruk serta Upah Minimum (UMR) yang tidak sesuai. Bahkan, Peraturan mengenai Analisis Masalah Dampak Lingkungan (AMDAL) dan pencemaran lingkungan sama sekali tidak dimiliki oleh perusahaan Bintang Utara.
Kesedihan Dara Kirai dan Inai kembali bermunculan. Mereka harus menerima kenyataan pahit bahwa Apai Dolan meninggal karena kecelakaan kerja di tambang emas. Akibatnya, Dara tak lagi memiliki sosok Ayah dalam hidupnya dan Inai harus mencari nafkah untuk menghidupi keluarga kecilnya. Hingga pada suatu hari, Dara Kirai harus bersekolah di Kayan. Sejak saat itulah, Dara Kirai berkenalan dengan Bumi Ayu, Byan Borneo, dan Rimba Samudra.
Cerita mengharukan datang saat Dara Kirai bersama beberapa temannya Byan Borneo, Bumi Ayu, dan Rimba Samudra memperjuangkan keadilan untuk Desa Bayan. Mereka ikut menanggung nasib yang dirasakan Desa Bayan hingga bersemangat membawanya ke jalur hukum. Perjalanan panjang mewarnai perjuangan mereka, dimulai dengan mengumpulkan data-data tentang hak penduduk yang tidak dipenuhi oleh perusahaan, hingga data-data krusial lainnya. Namun, kekecewaan harus mereka rasakan ketika membawa konflik perusahaan Bintang Utara dengan masyarakat Desa Bayan melalui jalur hukum. Perjuangan itu harus kalah. Bukti-bukti yang dikumpulkan beberapa waktu lalu masih belum kuat. Bahkan dari perjuangan ini, mereka harus mengalami kepahitan yang teramat sangat yakni kehilangan salah seorang kawan perjuangan. Sungguh, ada harga dan pertaruhan yang teramat mahal untuk membayar perjuangan yang nyatanya tak mudah. Peristiwa besar itu terjadi saat mereka melakukan demonstrasi di Kabupaten Kayan untuk mengharapkan simpati dari para penguasa. Hingga Byan Borneo harus menjadi korban pada demonstrasi tersebut. Kepergian Byan Borneo menyisakan luka baru bagi Dara Kirai secara khusus. Sebab, baru saja romantisme cinta mereka terjadi, lalu hal manis itu harus ia kubur dalam-dalam.
Akhir cerita ini menampilkan perjuangan Dara Kirai dan kawan-kawan yang menemukan titik terang. Semua konflik yang terjadi di Desa Bayan terbayarkan. Perjuangan hak masyarakat di ranah hukum kini membawakan hasil. Meskipun tidak sepenuhnya akan tetapi mendatangkan sedikit perubahan dan memberikan harapan baru bagi Desa Bayan.
Buku ini menjadi pemantik yang segar bagi siapapun yang sedang mengalami keprihatinan serupa. Cerita yang mengangkat permasalahan di pelosok Kalimantan ini nyatanya memang menggugah, sebab dewasa ini ada banyak eksploitasi kekayaan alam oleh perusahaan. Tak hanya bicara mengenai eksploitasi saja, lebih lanjut dampak secara kemanusiaan dan lingkungan ikut mewarnai setelahnya. Penulis menceritakan berbagai permasalahan yang berimbas pada pergeseran elemen kehidupan yang ada. Karya ini juga hadir sebagai bentuk kritik yang dicondongkan kepada pemerintah atas ketidakadilan dalam keberpihakannya.
Bicara mengenai keunikan buku ini yakni pemberian nama-nama tokoh menggunakan nama-nama lokal dengan sentuhan bahasa daerah. Mulai dari Dara Kirai, Inai Ranggai, dan Apai Dolan. Penggunaan kata Dara, Inai, dan Apai merupakan nama panggilan diambil dari bahasa Dayak Kenyah. Gambaran identik dari Pulau Kalimantan juga didapat dari nama-nama tokoh pada buku ini. Misalnya pemberian nama karakter pada tokoh Byan Borneo yang dihubungkan dengan tanah Borneo (Tanah Kalimantan). Selanjutnya Bumi Ayu, sebuah lambang dari alam subur. Dan juga Rimba Samudra tokoh memiliki peran penting dalam buku ini untuk memperjuangkan keadilan di Desa Bayan.
Buku ini menjadi bertambah menarik sebab diselipkan oleh drama percintaan menjadi pemanis pada buku ini dan memberikan sentuhan romantis. Dimulai dari kisah Byan Borneo tanpa sadar menaruh hati pada Dara Kirai. Hal serupa juga dirasakan Rimba Samudra yang jatuh cinta dengan Bumi Ayu sejak mereka bersama-sama menempa pendidikan perkuliahan.
Dengan gaya penulisan santai dan penggunaan sudut pandang orang pertama dalam buku ini membuat rasa lebih tersampaikan kepada para pembaca. Penulis juga mendeskripsikan fakta secara kronologis, sehingga memperkuat isi buku dan memberikan simpati pada kehidupan di pelosok Kalimantan. Buku Bumi Ayu bermakna mendalam walaupun hanya sepenggal nama tokoh yang dijadikan judul pada sampul buku. Buku ini menceritakan segelintir keadaan di pelosok Kalimantan, bagaimana masyarakat menjadi pihak yang mudah untuk digoyahkan baik oleh oknum penguasa dan keberpihakan payung hukum pada satu kubu. Mengutip filosofi singkat pada buku Bumi Ayu, “Bumi Ayu sebuah lambang kesuburan, bersikap baiklah kepada bumi. Bumi yang semakin rapuh menopang besi beton yang perlahan menggeser hutan yang telah mengakar. Hukum, keadilan, kemanusiaan telah menjadi alat tukar kepentingan yang tidak akan pernah habisnya di bumi manusia ini.” Buku ini juga menyampaikan banyak pesan moral tentang pendidikan, kemanusiaan, realitas sosial yang ada serta sikap kita terhadap bumi.
Penulis:Wanda Angriani