mimbaruntan.com, Untan- Ayah merupakan sosok yang dianggap paling tangguh di keluarga. Kehadirannya begitu berharga karena Ia adalah pemimpin dalam keluarga. Namun sayangnya, Ayah hanya manusia biasa. Yang kapan pun bisa pergi meninggalkan keluarga nya. Kapan pun, sesuai kehendak-Nya.
Seseorang akan terasa berharga jika ia sudah pergi, katanya. Mungkin, itulah yang dinamakan dengan kehilangan. Percayalah, tidak ada kehilangan yang paling menyakitkan selain kematian.
Tulisan ini akan membahas suatu cerpen yang berjudul “Pengantar Tidur Panjang” dari Eka Kurniawan yang menceritakan tentang kepergian sosok Ayah.
Baca juga: Digugu dan Ditiru, Berhasrat dan Sesat
Aku, dan Segala Tentang Ayah
Katanya, anak pertama adalah harapan besar bagi kedua orang tua nya. Pundaknya menyimpan banyak sekali ekspektasi dan dituntut untuk menjadi kebanggaan adik-adiknya. Namun, tidak pada Ayah dari tokoh “aku”.
Dari awal, tokoh “aku” telah mendeskripsikan sosok Ayahnya yang ramah, senang tertawa, dan tidak menuntut apa-apa dari anak-anak nya. Terlihat dijelaskan oleh tokoh aku, meskipun sang Ayah adalah pendiri surau, sosok yang gemar ibadah, memberi khotbah Jumat di masjid, dan mengajar ngaji anak-anak nya. Namun sosok Ayah tidak pernah menuntut untuk anak-anak nya seperti dirinya. Bahkan, tokoh “aku” pun sadar bacaan Al-Quran nya sangat buruk.
Tokoh “aku” dan adik-adiknya diizinkan untuk menempuh pendidikan apapun yang diinginkan oleh mereka. Apapun, asalkan anak-anak Ayah menyukainya. Dan tidak ada satu pun dari tokoh aku maupun adik-adiknya yang dengan tekun mempelajari agama.
Tokoh “aku” menempuh pendidikan kuliah jurusan filsafat, dan saat balik ke rumah, ia tidak pernah lagi melakukan ibadah wajib salat, apalagi mengaji. Sangat disayangkan, padahal diwaktu sosok Ayah melewati waktu sekarat, banyak orang berlomba-lomba membaca Al-Quran untuk Ayah. Namun, anak-anaknya tidak ada yang membacakan Al-Quran. Namun sudah dipastikan tokoh Ayah tidak marah akan hal tersebut. Ia hanya tertawa.
Begitu pula dengan adik-adiknya. Salah satu adiknya mempercayai teori Charles Darwin, dan mengagungkan hewan ayam. Adik kedua nya menempuh pendidikan di Institut Agama Islam Negeri di Yogyakarta. Adik ketiga kuliah sastra Indonesia. Adik keempat mengambil jurusan manajemen. Serta sang bungsu yang masih bersekolah. Sangat beragam. Namun, tidak pernah sekalipun Ayah memprotes anak-anaknya. Lagi lagi ia hanya tertawa.
Dan setelah dimalam kedua tokoh “aku” datang, sosok Ayah pun meninggal dunia. Diakhir cerita, meskipun sosok Ayah meninggal dunia, Ia tetap berperan bagi anak-anak yang Ia tinggalkan. Sesederhana tokoh “aku” tidak perlu membayar ongkos pulang karena sang supir mengenali sosok Ayah sebagai orang baik.
Baca juga: Dunia Perfilman Indonesia: Cerminan Gaya Hidup Masyarakat dari Masa ke Masa
Pembawaan Cerita yang Menyenangkan
Alur cerita pendek ini sangat mudah dipahami dan pembaca bisa merasakan betapa menyenangkannya sosok Ayah. Gemar ibadah, mudah tertawa, dan selalu mendukung anak-anaknya.
Ada beberapa cerita singkat di dalam cerita pendek tersebut. Namun sangat mudah dipahami dan menyenangkan. Seperti cerita singkat pertemuan adik bungsu dengan sosok wanita yang ditaksir, cinta pertama sang adik.
Bagaimana adik kedua bisa datang ke rumah Ayah pun sangat humoris. Ia tidak sengaja bertanya kepada dokter yang memeriksa matanya dan baru menyadari bahwa ayahnya sudah sekarat.
Sang Ibu terkesan emosi saat melihat anak-anaknya dengan jalan hidupnya masing-masing. Seperti sang adik yang mempercayai teori Darwin dan mengagungkan ayam. Namun sang Ayah hanya tertawa.
Filosofi kehidupan sang Ayah yang memiliki shio Cina yang sama dengan Republik Indonesia pun menurut saya sangat menarik jalan cerita. Bumbu cerita yang sangat pas dan tidak berlebihan.
Ketika jasa sang Ayah suatu masih hidup memberikan dampak positif bagi anaknya dan disaat sosok Ayah sudah tidak ada, jasanya selalu dikenang. Pesan untuk kita semua, untuk selalu berbuat baik kepada siapapun. Karena kita tidak akan pernah tahu balasan kebaikan yang kita lakukan akan berdampak pada kita kembali ataupun keturunan kita.
Penulis: Wynona