“In Literature we believe that ‘There is nothing comes out of nothing”
Begitu yang selalu diungkapkan oleh dosen sastra saya. Coba pahami sebentar apa maknanya.
“What do you understand by that statement?”
Begitu pertanyaan yang dilontarkan saat ujian tengah semester. Berulang kali disebut saat mata kuliah berlangsung tak juga membuat saya mudah menjawabnya. Agak lama saya diam, coba ingat-ingat lagi.
Semua Ikan di Langit !
“Literature is a reflection of life, ma’am,” yak, itu yang paling tepat, I guess so.
Saya lihat lekat-lekat wajah dosen saya, am I right? Sudut bibir dosen saya itu tertarik keatas, tertawa ia menggema.
Exactly!
Saya lihat ikan-ikan terbang keluar dari mulut dosen saya saat tertawa. Ikan julung-julung namanya, menyerbu mereka kewajah saya, ratusan, ribuan, jutaan jumlahnya yang kemudian menabrak dinding-dinding ruang kelas dan pecah, menjadi planet-planet yang membentuk begitu banyak konstelasi bintang dalam ruang kelas. Semarak mereka membenarkan jawaban saya. Pastinya. Lulus sudah saya dari ujian ini berkat Ziggy Zezsyazeoviennazabrizki.
Terimakasih!
Baca juga: Tiada Jalan Bertabur Bunga (Memoar Pulau Buru Dalam Sketsa)
Rumit sekali memang nama Ziggy ini, itu bukan salah ketik ataupun nama pena. Serumit namanya serumit itu pula imajinasinya, tapi Ziggy berhasil menggunakan tutur kata yang sederhana dalam tulisannya. Wajar saja jika novel ‘Semua Ikan di Langit’ menjadi pemenang mutlak dalam Sayembara Menulis Novel Dewan Keseniaan Jakarta 2016.
Membaca novel ini mengingatkan saya pada buku yang berjudul ‘The little prince’ karya Antoine de Saint-Exupery. Mungkin jejeran rak buku dongeng semacam ini hanya dilalui begitu saja di toko buku oleh remaja ataupun orang dewasa. Dongeng kesannya hanya boleh dibaca oleh anak-anak saja. Saya pun begitu, tak akan membaca ‘The Little Prince’ kalau bukan karena tugas kuliah. Tapi ‘Semua Ikan di Langit’ ini berbeda, buku ini saya wajibkan untuk dibaca semua kalangan.
Sebuah fiction, fantasy, science fiction, mystery, semua bercampur aduk jadi satu yang dikemas dalam sebuah dongeng dengan sudut pandang sebuah bis kota yang usang. Ziggy menceritakan tentang adanya Tuhan di dunia ini dengan khas anak-anak.
Ini tentang kebebasan dan petualangan antara bumi, langit dan luar angkasa raya yang luar biasa luas tanpa batas ataupun sekat-sekat waktu. Ini tentang perjalanan Bus Kota, Beliau, dan Nad yang bolak-balik dari Bandung di abad ke-21 dan Auschwitz pada tahun 1944, lalu kembali lagi ke angkasa yang tak terikat dari perhitungan waktu manusia.
Tuhan yang ia sebut dengan Beliau. Tuhan memang banyak namanya. Tak masalah tentang itu. Dalam novelnya ia menggambarkan Tuhan adalah seorang anak kecil yang sungguh misterius dan tidak mudah dibaca. Mungkin agar lebih mudah dibayangkan atau memang itu yang Ziggy bayangkan tentang sosok Tuhan.
Baca juga: Ranum dan Mantranya
Penyebutan Beliau ini menjadi lebih istimewa saat tokoh Nad, si kecoa yang tidak percaya dengan keajaiban tangan Beliau enggan mengakui keagungannya. Nad memilih menyebutnya dengan kata ‘Tuan’. Sungguh biasa dan sungguh tidak etis, terlebih Nad memang tak tahu diuntung, berkali tangan ajaib Beliau membantunya untuk tetap hidup, tetap saja Nad angkuh dan sombong.
Hingga suatu ketika Beliau murka dan menimpa Nad dengan batu yang menutup seluruh tubuhnya hingga jadi jasad yang air laut pun enggan menyentuhnya. Nad tak diperdulikan.
Bukannya beliau ingin selalu diakui, tapi begitu memang, Tuhan tak suka hambanya jadi angkuh dan jahat. Tuhan mau kita hidup menjadi makhluk yang baik.
Sampai dititik ini, Ziggy berhasil memaksa saya untuk merefleksikan diri. Sudah sejauh mana saya mengakui eksistensi Tuhan, tolong jangan lalai hingga tandas seperti Nad. Kecoa yang tak tahu diuntung itu.
Lagi, Bus Tua usang yang dapat membaca pikiran ini begitu sayang pada Beliau. Walau hanya Beliaulah satu-satunya yang tak dapat ia baca tapi ia jatuh cinta sedalam-dalamnya pada Beliau. Cinta baginya hanya butuh keyakinan dan penyerahan diri. Untuk sebuah benda mati seperti dia, tak perlu bersusah payah melakukan apa-apa untuk Beliau.
Coba pikirkan ini, Tuhan sayang pada semua makhluknya, yang tak punya kaki tangan, yang tak mampu berjalan, yang tak mampu memegang. Tuhan tak perlu mereka untuk berdiri tegak menyembahnya, Tuhan hanya mau mereka cukup cinta pada-Nya saja. Begitu kan cara bertuhan? Sebuah bentuk penyerahan diri.
Baca juga: Logika Makar Dalam Film Vantage Point
Saya tidak akan menuliskan semua hal yang berhasil membuat saya terlambung antara dunia dongeng dan realita pada novel ini, karena coba sendiri sensasi membacanya. Anda akan dilemparkan dan ditampar berkali-kali oleh refleksi diri yang membuat anda tersadar bahwa anda semua hanyalah manusia biasa. Pembawa masalah di bumi ini.
Satu hal lagi yang membuat saya tertampar keras sekali, kisah pada bagian bab Kakak dan Adik. Begini, Ziggy mengajarkan saya satu hal, sejahat apapun saudara itu, Tuhan pasti menuliskan dalam pohon takdir bahwa kita akan tetap terhubung satu sama lain. Tapi ajaibnya Ziggy membuat dongeng baru dalam dongengnya di kisah Kakak dan Adik ini. Dengan naga-naga terbang yang mengharukan.
Hingga diakhir cerita kepala saya di obrak-abrik oleh jutaan ikan julung-julung yang keluar dari lembaran-lembaran buku ini. Tulisan Ziggy yang prosa sekaligus puitis ini tidak menghentikan alur ceritanya, Ziggy tetap menggiring saya dalam arus metafora yang berbinar dalam konstelasinya yang terarah dan rapih. Ini benar-benar langka dan ajaib!
Tidak secemerlang cover-nya, saya justru dihadapkan pada kehancuran dan kerinduan diakhir cerita dan menangis sejadi-jadinya. Begitu memang, ‘There is nothing comes out of nothing’ cerita ini benar-benar terjadi, karenanya tidak mungkin sebuah karya lahir dari ketiadaan. Ziggy berhasil membuktikan pada saya tentang kebenaran sastra.
Penulis : Maratushsholihah