Atap rumah dihantam hujan dengan tidak beraturan. Tidak ada pola yang tetap, mereka menetes sesuka hati dari langit. Hujan. Meskipun langit sama sekali tidak kelabu. Sudah menjadi kebiasaan kota ini memiliki cuaca yang tidak menentu. Ketika Fahri masih kecil, dia ingat semua orang dilarang keluar rumah apabila hujan seperti ini datang. “ Siluman rubah berekor sembilan sedang lewat” begitu para tua-tua menakut-nakuti. Tetua yang lain memperingati, “ada orang yang meninggal, arwahnya masih gentayangan. Nanti kamu kena rohnya.” Ketakutan itu semakin menjadi-jadi, apalagi untuk anak-anak. Mereka seketika demam berhari-hari apabila terkena hujan panas. Fahri adalah 1Budak Pontianak. Minum 2Aek Kapuas sejak lahir menjadikan Fahri tidak ingin beranjak dari kota itu.
Sahri pernah meninggalkan kota itu ketika mengejar gelar masternya ke Yogyakarta dan doktoralnya ke Australia. Bermimpi menjadi guru besar yang berbahasa asing sejak kecil, Fahri berhasil menakhlukan Bahasa nomor satu di dunia, bahasa inggris. Tawaran kerjapun datang dari beberapa kota yang lebih menarik, gaji yang besar, dan pengalaman-pengalaman baru. Tetapi Fahri tahu, Pesona sungai Kapuas selalu memanggil kembali. “Disinilah tempat ku, Pontianak” katanya kepada tawaran-tawaran itu juga kepada Nawa, gadis Jokja yang lembut. Ketika Fahri meninggalkan Nawa. “Lagian, bukannya seharusnya wanita mengikuti lelaki?” Itulah prisipnya. Hubungan yang mereka bangun pun kandas.
Beginilah kisahnya. Nawa merengek, meminta Fahri menikahinya setelah Fahri memperoleh gelar master. Mereka sudah menjalin kasih sejak Fahri tinggal di Jokja. “Belum saatnya” Fahri menjawab dengan tegas. Nawa menunggunya begitu setia, LDR rela dia jalani selama tiga tahun. Dari negeri merah putih ke negeri Kangguru, mereka saling surat menyurat via e-mail, video call, pacarannya lewat laptop. Umur pun bertambah, Nawa berharap pengorbanannya dipandang mahal oleh Fahri. Setelah lulus gelar doktoral, Fahri berbisik, hendak melamar Nawa dibawah pohon beringin kembar di Alun-alun Yogyakarta, Berharap Sultan Hamengku Buwono juga kelak menjadi saksi cintanya. Tetapi ternyata Nawa enggan pindah ke Kalimantan. “Disana banyak monyet.” Dia mengejek. “Saya ingin kita tinggal di Jawa. Di Jokja. Live here with me, my dear” Nawa setengah memohonkan cintanya. Dua hati yang mengaku saling mencintai. Tetapi menimbang-nimbang masa depan. Seandainya saja mereka belajar konsep matematika cinta. Didunia ini semua hal di bagi kedalam dua kelopok besar. Cinta dan bukan Cinta. Yang termasuk kedalam kelompok bukan cinta haruslah dihitung, di pertimbangkan, diselidiki, diteliti, seperti halnya kita bermain dengan turunan-turunan rumus matematika. Berbeda halnya dengan cinta. Kamu tidak bisa meperlakukan hal yang sama. Tidak ada perhitungan untuk cinta. Mereka seharusnya paham bahwa cinta adalah satu-satunya hal yang tidak boleh dihitung. Ketika kamu pemperhitungkan cinta, sesaat semuanya berubah menjadi tidak pasti. Sekarang cinta mereka hanya kenangan. Tinggal memori. “Berapa wanita yang sudah kau buat patah hati dengan merendahkan harga penantian?” Nawa menangis. Tampaknya keegoisan bertahta di dua kepala anak manusia. Bodohnya, perpisahan itu tidak pernah teramalkan sendiri oleh Fahri. Biasanya, Fahri selalu bisa melihat hal-hal besar dalam hidupnya. Fahri menyimpulkan, Nawa bukanlah termasuk kedalam hal besar dalam hidupnya.
Fahri benar. Nawa memang bukan bagian dari hal besar itu. Karena Nawa berperan sebagai penghancur. Hal terbesar dalam hidup manusia. Cinta. Sejak saat itu Fahri tidak pernah lagi bisa mencintai sepenuhnya seorang wanita. Fahri beristri. Juga punya anak. Tetapi hatinya jauh entah dimana. Dalam kasus ini, Fahri sepenuhnya menyalahkan Nawa. Diam-diam Nawa dimakinya dalam hati, karena dirinya sendiri tidak mampu melupakan Nawa. Ketika duduk di tepian Sungai Kapuas, Fahri melemparkan kerikil sekuat tenanganya kedalam sungai itu sambil berteriak dalam hati “Pontianak bukan hutan, juga tidak ada monyet, Nawa. Kenapa kamu tidak mau ikut dengan saya? Kamu itu munafik” Kalimat itu selalu diulanginya. Kadang Fahri juga mengutuki dirinya sendiri. Kalimat itu, adalah kalimat yang tertahan dimulutnya ketika Nawa mengejek tanah kelahirannya. “Kamu sombong, Nawa.” Fahri meluruskan kepalanya kearah Sungai Kapuas, seolah-olah dia sedang curhat. Sesekali dia tertawa kecil, menertawakan dirinya. “Kapuas, kamu senang sudah saya bela?”.
****
Fahri menatap lamat-lamat kearah The second choice, dan hasil dari hubungannya dengan The second choicenya. Begitu ia menamai Rina, istrinya dan anak-anaknya, Fadila dan Fadara secara diam-diam. Tiga manusia yang membuatnya menumpuk begitu banyak dosa. Kebohongan Fahri, kepura-puraannya, membutnya menjadi antagonis sempurna, begitulah Fahri menyebut dirinya. Fahri memimpikan kisahnya serupa dengan Romeo dan Juliet. Dia membayangkan dirinya membunuh Nawa ketika Nawa menolak tanah kelahirannya. Menolak tanah kelahirannya sama dengan menolak dirinya. Setelah itu Fahri bunuh diri. Persis seperti kisah Romeo dan Juliet. Patah hatinya semakin parah. Hatinya mendung. Mendung itu bagai virus, yang menjalar ke surga, tempat tersuci dihatinya, cinta tercemar. Tempat itu menjadi tidak aman lagi untuk bernaung. Cinta pun meninggalkan hati itu. Fahri dengan sadar mencari penghiburan. Perselingkuhan dengan alasan mencari dan menumbuhkan cinta yang hilang. Ketika Rina memergoki Fahri, dengan tegak ia berdiri “Masih adakah artinya cinta bagi manusia setengah abad?” Fahri sadar, dengan hal bodoh tersebut dia tidak hanya menyia-nyiakan dirinya. Tetapi juga istrinya, anak-anaknya, juga pembelaannya terhadap Kapuas. Fahri berdiri dari keterpurukan, dia berubah. Tetapi cintanya terhadap Nawa tidak pernah berubah. “biarlah hidupku saja yang sia-sia, mereka jangan” Fahri membuat prinsip baru. Sejak saat itu, Fahri selalu ingin suatu saat dia menghilang. Tidak mati. Tetapi lenyap dari muka bumi. Penglihatannya terhadap masa depan pun berubah.
Fahri menciptakan sosok pengharapan dalam benaknya. Dinamainya sosok itu, Langit. Dibayangkannya Langit berbicara padanya “aku akan membawamu dari bumi, kelak orang bumi akan menamaimu Bintang, tetapi aku akan memanggilmu, Retenu. Berarti yang dipungut.” Kemudian suatu hari Fahri benar-benar pergi. Fahri seperti ditarik oleh magnet, kini dia menempel di dinding langit, dari sana dia melihat orang-orang mengerumuni tubuhnya dan menangis. Tetapi dia tidak peduli. Rina, Istrinya salah. Justru manusia setengah abad adalah orang yang paling membutuhkan cinta.
Penulis : Ningsih Sepniar Lumban Toruan, Mahasiswi Fakultas MIPA Untan