Aku menghisap sebatang rokok di pukul 9 malam. Dihadapan pacarku dan pada saat itu, Romi dan beberapa teman lainnya yang kubicarakan ialah Renu yang secara bersamaan sedang menggunakan kamar kos Romi untuk bercinta. Secara halusnya, ia sedang cekikikan bersama seorang wanita. Kemudian menyepi entah apa yang mereka diskusikan secara sembunyi-sembunyi. Aku tahu itu dosa besar, tapi dihadapan pelaku bejat lainnya, aku punya kuasa apa untuk menghentikan?
Setelahnya, Renu membayar dengan 2 bungkus rokok kepada Romi untuk kemudian pergi meninggalkan sebungkus pengaman di sisi kasur Romi. Pikirku untuk apa, aku dan Romi sungguh pun seorang yang bejat, tak sedikitpun berpikir untuk bercinta sepertinya. Aku sudah mengonsepkan sedemikian rupa bahwa tanpa harus bercinta, dua orang pendosa bisa melakukan dosa besar lainnya untuk mengisi waktu luang. Mengonsumsi narkoba bersama, misalnya.
Itu semua kulakukan karena prinsip yang ku teguhkan secara sungguh-sungguh adalah mengenai tak ada yang berhak meniduriku sebelum akad dilangsungkan. Pada awalnya, Romi mempertanyakan sikap naifku ini. Berikutnya, ia berhasil membiasakan diri untuk pacaran sehat tanpa bercinta namun merugikan dengan menjadi pecandu.
“Rom, ini belum sebulan dan sudah berapa wanita yang ia bawa kemari?” tanyaku melihat keadaan kamar Romi yang sedikit berantakan. Kekesalanku pun semakin menjadi ketika yang ku temukan adalah bekas bungkus pengaman yang tiap kali Renu kembali jumlahnya terus bertambah.
“Sudahlah. Jangan mencampuri urusannya. Rokok sudah terpenuhi untuk beberapa hari kedepan.”
Aku membenarkan apa yang diucapkan Romi pada saat itu. Aku rupanya pendosa yang senang mencampuri urusan pendosa lainnya.
“Kenapa melamun?”
Aku mengerjapkan mata dan pikiranku beberapa kali. Aku kesulitan berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Sedangkan hati dan pikiranku berkecamuk memikirkan sesuatu yang baru saja terlintas.
“Rom, kau pernah berpikir tidak untuk mengurangi dosa?”
“Maksudmu?”
“Ya, dosa kita sudah banyak. Pernah tidak kau takut tak bisa mempertanggungjawabkannya kelak?”
“Bisa tidak kau bicara langsung ke intinya?”
“Hehe, aku keberatan kalau Renu menggunakan kamarmu setiap ia bercinta.”
Romi mengernyitkan dahi dan menatapku lama. Ia sedang terkejut menerima pernyataanku yang barusan. Sudah berdosa, apalagi yang harus dikurangi. Pasti pikir Romi kurang lebih seperti itu.
“Kau itu menyediakan tempat untuk berzina, Romi. Kau tidak takut dosamu semakin memberatkan dan Tuhan akan menyiksamu secara berlebihan?”
Romi semakin memasang wajah bingung menatapku. Rio, salah satu teman Romi tidak kalah bingung. Ia tercengang melihatku menanyakan hal yang tak masuk akal kepada Romi.
“Kau tak salah menanyakan hal itu ke Romi, Ma? Yang kau tanya itu penjahat, mana ada penjahat yang ketakutan dengan dosa yang ia buat sendiri.”
Rio menahan tawa melihat Romi yang kehabisan kata. Dengan rasa penasaran, Rio kembali melanjutkan,
“Tidak mau kau jawab pertanyaan pacar kau yang kritis itu, Rom?”
Aku menunggu jawaban Romi. Romi setahuku pria yang mampu menjawab berbagai rasa penasaranku mengenai dunia malam. Romi juga yang selalu bijak ketika memberikanku nasihat tentang hal yang merumitkan.
Namun, pertanyaanku yang tadi tidak terjawabkan. Romi menatapku dan Rio secara bergantian. Ia tetap memasang wajah kebingungan.
“Pertanyaanku kali ini sulit ya?”
“Eh, apa? Tidak sulit, sayang. Hanya saja, belum pernah kupikirkan akan ada orang yang menanyakan hal yang demikian.”
Romi memaksakan senyum. Sedangkan Rio tertawa melihat kecanggungan Romi setelahnya. Bukannya marah tak mendapatkan jawaban, aku hanya penasaran apa yang sedang dipikirkan Romi saat ini.
“Kalau begitu, ayo aku antar pulang. Rio, hubungi yang lain, malam ini kita ngopi saja di tempat biasa. Aku menyusul setelah mengatar pulang Rahma.”
Aku kali ini yang kebingungan. Biasanya, aku selalu mengikuti kemanapun Romi. Tapi sepertinya malam ini tidak. Tanpa berlama-lama Romi menarikku keluar kamar tanpa sepatah kata, meninggalkan Rio membereskan kamar sendirian.
….
Sepanjang perjalanan pulang, Romi tidak banyak bicara. Ia hanya sesekali mengelus punggung tanganku dan bersenandung kecil menikmati malam. Setiba di rumah makan padang, ia menghentikan motor bebek miliknya.
“Tidak langsung pulang?”
“Kau belum makan dari siang, kan? Ayo makan.”
Aku mengangguk kecil mengikuti Romi dari belakang. Postur tubuhnya yang tegap dengan tato di sekitaran lengan menambah segan orang-orang yang menatapnya. Terlihat dua pengamen cilik menyapanya sesaat sebelum memasuki rumah makan.
Jarak usiaku dan Romi tidak jauh, hanya dua tahun lebih tua. Tapi ia gagal meneruskan sekolah dan menjadi anak nakal selepas kedua orang tuanya memutuskan untuk bercerai. Romi memilih untuk menghidupi dirinya sendiri dengan mengamen dan menjadi juru parkir di sebuah toko swalayan. Kau harus tahu, aku jatuh cinta pada Romi sebab ia turut mendukung dengan prinsip yang ku teguhkan selama ini. Sebelum menjadi pacar, ia adalah sosok teman dan memutuskan menjadikanku pacar setelah aku, Rahma, gadis dengan nama islami namun kesetanan perihal akhlak adalah sosok kupu-kupu malam yang masih percaya akan cita-cita dan kuasa Tuhan. Katanya aku cukup memberi pengaruh baik ke hidupnya selama kami menjadi teman dan akan lebih berpengaruh ketika ia menjadikanku pacar.
Perihal mengonsumsi obat terlarang, sebelum mengenal Romi, aku sudah menjadi pecandu. Berkat ayah yang meninggalkan ibu karena wanita lain dan ibu memilih menggantungkan diri dengan alkohol di sisa hidupnya. Aku merasakan aku dan Romi tak ada bedanya. Melampiaskan segala yang merumitkan dengan sesuatu yang memudahkan jalan pikiran. Dengan nge-fly, misalnya.
“Kau ini banyak melamun.”
Aku terkejut disadarkan oleh suara berat Romi. Pikiranku sedang bekerja keras untuk saat ini.
“Mau pesan apa?”
“Nasi dan rendang saja. Minumannya es tawar.”
“Baiklah. Ambil dulu tempat sana.”
Aku menjauhi Romi menuju meja dan menunggu Romi membawakan pesanan. Mempehatikan Romi dari kejauhan ternyata membuat otakku terus berpikir keras dan mempertimbangkan apa yang kini masih mengganjal. Namun kuurungkan niat, Romi duduk di hadapanku dengan tatapan menyelidik.
“Aku tahu kau masih memikirkan hal yang tadi.” Romi menyeruput teh hangatnya perlahan. Mencari posisi duduk ternyaman dan melihat ke sekitar. Sedangkan yang ku lakukan hanya diam tak memberikan jawaban.
“Kau tahu apa yang kusukai dari dosa?”
Aku tercengang. Dosa seperti apa yang membuat ciptaan Tuhan menyukainya?
“Dosa itu mendewasakan, sayang.”
“Maksudmu?”
“Sebab dosa, selama ini banyak ku maknai hidup dengan sebaik-baiknya.”
Aku mencerna perlahan apa yang dikatakan Romi. Dikarenakan belum menemukan jawaban yang tepat aku kembali mempertanyakan,
“Maksudmu?”
“Kadang aku mensyukuri jalanku menjadi seorang pendosa. Dengan begini aku berhasil menjadi pria bijak yang kau kagumi setahun terakhir.”
Aku menyimak Romi sambil manyantap makanan yang sudah di pesan.
“Cara manusia mendewasakan diri dengan cara yang berbeda. Ada yang mendekat pada Tuhan, ada juga yang menjauhi-Nya dan memilih untuk mengimani iblis, sepertiku ini.”
“Apa?” Aku tersedak sesaat mendengar ucapan Romi saat ini. Mengimani iblis? Ia sedang bercanda?
“Hahaha, bercanda. Kau ini. Aku hanya menjauhi-Nya. Mau tahu kenapa?”
Aku mengangguk cepat. Setelah tersedak dan minum air dengan cepat. Aku menunggu jawaban Romi yang berikutnya.
“Sebab dengan menjadi pendosa seperti saat ini, aku mengenal tante Lisa, pelacur yang berhasil menghidupi pengamen-pengamen cilik. Aku mengenal Rio, pengedar narkoba yang harus menjual barang haram untuk biaya rumah sakit ibunya. Aku juga mengenal bang Bacok, preman pasar yang menyisihkan uang penghasilan untuk pembangunan mesjid di kampung. Kalau aku terus mendekat pada Tuhan dan takut berbuat dosa, mungkin aku takkan tahu di dunia ini, yang baik bisa mematikan dan yang buruk bisa menghidupi.”
Romi melanjutkan,
“Pernah mereka memikirkan untuk menghentikan dosa pilihan mereka? Aku rasa sulit. Mereka seperti sudah menemukan apa manfaat dari dosa yang mereka perbuat. Lantas apa yang harus menghentikan mereka?”
Romi menarik nafas dalam-dalam,
“Sama seperti kita yang melarikan diri dari perceraian orang tua dengan narkoba. Renu tak jauh berbeda. Ia memilih bercinta untuk mendewasakan diri dan memaknai hidup. Kau mungkin tidak tahu, berkat Renu yang membayar wanita-wanita jalang tersebut, terpenuhilah segala kebutuhan finansial si wanita. Dalam arti lain, wanita jalang mungkin sedang membutuhkan uang dan Renu sedang kesepian. Dengan bercinta, bisa saja mereka menemukan sesuatu yang berbeda dari dosa kebanyakan.”
“Dan aku rasa, tak perlulah kita ketakutan Tuhan akan menghukum kita secara berlebihan bahkan dengan dosa yang terus menumpuk. Selagi belum menemukan alasan untuk berhenti, para pendosa akan terus melakukan hal yang serupa. Manusia juga berhak memilih dosa mana yang ia geluti. Misalnya menggujing sesama saudaranya, meminum arak, memakan uang rakyat, dan lain sebagainya. Sebab ku ingat betul kau pernah mengatakan, bahwa tak ada yang sia-sia dari hidup ini. Pikirku, ya. Para pendosa juga tak ada yang sia-sia. Jika Tuhan tak senang akan dosa, mengapa ia tidak memusnahkan dosa dan terus menciptakan kebajikan? Bukankah Dia yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta di sini? Pasti jawabnya untuk mendewasakan. Pasti agar makhluknya dapat memaknai apa arti yang sebenarnya dari hidup ini. Sekali lagi sayang, Tuhan tak menciptakan apa yang ada di semesta dalam bentuk yang sia-sia. Kau tidak berhak keberatan dengan dosa yang orang lain lakukan.”
Aku mengunyah suapan terakhirku. Melihat Romi seperti saat ini sulit ku definisikan, apakah Tuhan sedang mengirimiku malaikat berwujud iblis bernama Romi?
“Tapi apa kau tidak takut dengan dosa kau sendiri?”
“Tidak. Karena aku melakukannya secara sadar. Aku tidak takut menghadap panasnya api neraka.”
Ah, benar. Mengurusi dosa orang lain, sama saja dengan mengurusi pahala si alim. Sebab mereka tipis, keduanya adalah kehendak Tuhan. Aku, satu manusia diantara milyaran yang memilih terus-terusan melakukan dosa dan menjadikan neraka sebagai tujuan. Sama halnya dengan Renu, Romi dan Rio. Rupanya kami perlu berterimakasih dengan dosa yang telah mendewasakan. Terakhir kalian yang membaca ini, berterimakasihlah pada Tuhan yang menjadikan pahala sebagai apa yang kalian cari di dunia ini. Kita sama, hanya berbeda pilihan saja, bukan?
Penulis: Rahma Ning Tyas