Pandemi global yang mulai merebak sejak akhir semester kedua tahun 2019 sangat banyak berdampak di lingkungan perguruan tinggi. Mulai dari perkuliahan yang harus dilaksanakan dengan sistem daring, hingga polemik UKT yang cukup menyita perhatian.
Polemik UKT sebenarnya bukan terjadi akhir-akhir ini saja. Protes sering dilakukan oleh mahasiswa untuk mengungkapkan keberatannya terhadap biaya perkuliahan yang semakin mahal. Seperti gerakan menuntut pembebasan UKT dalam bentuk aksi virtual yang diinisiasi oleh BEM SI, hingga tagar #MendikbudDicariMahasiswa sempat viral pada 2 Juni lalu. Sementara itu, di kalangan PTKIN (Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri), Dewan Eksekutif Mahasiswa PTKIN se-Indonesia menggugat transparansi anggaran dana pendidikan selama pandemi, dan menolak kenaikkan Uang Kuliah Tunggal bagi mahasiswa baru dengan aksi virtual tagar #MahasiswaTuntutMenagdanRektor. Sedangkan di Kalbar sendiri, 15 Juli 2019 lalu mahasiswa IAIN Pontianak pernah melakukan aksi damai untuk mengkritisi kenaikan UKT (kumparan.com).
Berbagai dampak selama pandemi, diantaranya kelumpuhan perekonomian, banyak PHK, usaha tutup, dan lain sebagainya, menjadikan rakyat mengalami kesulitan hidup termasuk para orang tua mahasiswa. Akses pendidikan tinggi pun seakan semakin sulit.
Pemerintah melalui Mendikbud Nadiem Makarim menyatakan, dengan Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020, Kemendikbud akan memberikan keringanan UKT bagi mahasiswa PTN yang menghadapi kendala finansial selama pandemi Covid-19. Ada dua agenda terkait UKT yang dipaparkan Nadiem, yakni ketentuan penyesuaian UKT bagi mahasiswa PTN dan dana bantuan UKT yang diutamakan untuk mahasiswa PTS di tahun 2020. Keringanan UKT untuk mahasiswa PTN dalam Permendikbud Nomor 25 Tahun 2020, Nadiem menyebut Kemendikbud akan memberikan keringanan UKT bagi mahasiswa PTN yang menghadapi kendala finansial selama pandemi Covid-19. Lalu, disebutkan juga bahwa mahasiswa tidak wajib membayar UKT jika sedang cuti kuliah atau tidak mengambil SKS sama sekali, misalnya menunggu kelulusan. Sementara itu, mahasiswa pada masa akhir kuliah, lanjut Nadiem, membayar paling tinggi 50 persen UKT jika mengambil sebanyak atau kurang dari 6 SKS dengan ketentuan semester 9 bagi mahasiswa S1 dan D4 serta semester 7 bagi mahasiswa D3. Dan pemerintah memberikan lima mekanisme keringanan UKT, yaitu cicilan UKT, penundaan UKT, penurunan UKT, beasiswa, dan bantuan infrastruktur. (pontianak.tribunnews.com)
Namun tawaran solusi dari pemerintah ini belum menyelesaikan masalah. Pemerintah hanya meredam protes mahasiswa. Tuntutan utama mahasiswa untuk bebas dari UKT tak tercapai. Apalagi ditambah kebijakan menyerahkan urusan UKT kepada rektor masing-masing. Tentu kebijakan yang ditawarkan pemerintah tidak optimal. Alih-alih menyelesaikan masalah, penyerahan urusan UKT kepada rektor justru berujung pada ketegangan mahasiswa dengan rektor dan akademik kampus.
Kapitalisasi pendidikan memang terjadi di Indonesia saat ini. Pendidikan tinggi semakin sulit diakses oleh seluruh rakyat. Pendidikan yang layak seolah bukan sebagai hak dasar rakyat. Ilmu pengetahuan dijadikan komoditas yang bisa diperdagangkan, dan rakyat sebagai konsumennya. Apalagi Perjanjian GATS tahun 1994 (General Agreement on Trade in Services) menjadikan pendidikan sebagai salah satu dari 12 sektor jasa yang diperdagangkan selain kesehatan, keuangan, transportasi, lingkungan dan lain-lain.
Menurut pemerhati pendidikan Ustadzah Luluk Farida, kapitalisasi sektor pendidikan menempatkan Negara hanyalah fasilitator saja bukan penanggung jawab atas nama Otonomi kampus. Kisruh UKT merupakan konsekuensi riil dari kapitalisasi pendidikan, pasca diberlakukannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012, dimana Perguruan Tinggi Negeri harus mengubah statusnya menjadi PTNBH (otonomi kampus) yang kemudian diikuti dengan Permendikti nomor 55 Tahun 2013 tentang Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Artinya, UKT adalah BKT dikurangi subsidi Negara yang harus dibayar mahasiswa, salah satu sumber pemasukan bagi penyelenggaraan pendidikan. Adapun besaran biaya yang ditanggung setiap mahasiswa persemester diatur dalam Permenristekdikti No. 39 Tahun 2017. Jadi UKT sejak lahirnya adalah komersialisasi pendidikan. (MuslimahNewsID).
Beliau menambahkan, saat ini angka partisipasi kasar Indonesia, yaitu jumlah penduduk usia 19-23 tahun yang berkesempatan atau berkemungkinan mengikuti pendidikan tinggi, hanya 34%. Sementara 67% tidak berhak kuliah karena tidak mampu “Beli” pendidikan tinggi. Bahkan yang 34% ini pun merasa berat dengan beban UKT, sehingga banyak juga yang akhirnya memutuskan drop out. Bahkan saat ini, kapitalisasi pendidikan semakin disempurnakan dengan kebijakan “kampus merdeka”, yaitu kemudahan kampus menjadi badan hukum otonom, kemudahan membuka jurusan sesuai kepentingan pasar bisnis. Perusahaan bisa mengubah kurikulum kampus sesuai kepentingan pasar. Tentu saja yang demikian membahayakan peradaban bangsa.
Seharusnya, pendidikan adalah hal seluruh rakyat. Termasuk pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi semestinya mampu mencetak kaum intelektual yang dinanti umat, bangsa, dan negara. Pendidikan tinggi adalah mesin cetak para ahli, yang kiprahnya sangat ditunggu-tunggu di tengah masyarakat. Pendidikan tinggi tidak boleh dikapitalisasi. Dan tidak boleh dijalankan berdasarkan kebutuhan pasar dunia kerja semata.
Namun, pendidikan tinggi yang semestinya hanya dapat dijalankan oleh negara yang benar-benar menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk melahirkan peradaban cemerlang. Negara seharusnya mampu menopang seluruh pembiayaan yang diperlukan dalam melaksanakan pendidikan, melalui mekanisme pengaturan keuangan negara yang benar. Jika harus berbayar pun, setidaknya dapat dijangkau oleh semua kalangan serta berkualitas. Negara tersebut harus mampu menghilangkan hegemoni negara-negara kapitalis yang selama ini menyetir berbagai kebijakan negara, termasuk sektor pendidikan. Rakyat harus dijadikan sebagai objek pelaksanaan sistem pendidikan yang bermutu. Bukan hanya menjadikan rakyat sebagai konsumen, sehingga mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari rakyat.
Penulis: Fanti Setiawati
*) Opini ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi mimbaruntan.com.