Seni selalu hadir di sekitar kita, bahkan jauh sebelum kita bernapas di dunia ini. Dan yang paling tak masuk akal lagi seni sampai masuk menghantui kita saat terlelap, saat mimpi mulai menampakkan dirinya di balik pejaman mata. Apa kabar seni saat mata tercelang di Bumi Khatulistiwa kita tercinta?
Emmanuel Kant, mengatakan bahwa pendidikan seni sangat penting karena dapat membantu meningkatkan fantasi, sensitivitas, kreativitas dan ekspresi. Seseorang dapat berfantasi terhadap hasil karyanya, melalui perasaan dan menuangkan ide gagasannya ke dalam hasil karya menjadikannya sensitivitas, menjadikan memiliki kreativitas yang baik, dan mengekspresikan hasil karya seni.
Kant menyatakan bahwa pendidikan seni adalah rasionalisasi, seni melalui keindahan. Keindahan adalah sesuatu yang dapat diukur menggunakan alat tertentu dan sesuai kebutuhan. Rasionalisasi keindahan dapat dilihat dari susunan, keseimbangan, maupun maknanya. Ketiganya merupakan prinsip dalam menciptakan karya seni.
Namun pada kenyataannya saat ini teori tidaklah selamanya sesuai dengan realita. Dalam artian bahawa wacana akan selalu terngiang namun akan berbanding jungkir balik dengan implementasinya. Meskipun pendidikan seni sangat berpengaruh terhadap kreativitas kita dalam kehidupan kita sehari-hari, khususnya dalam hal berekspresi, karena pada dasarnya setiap napas yang kita hembus dan hirup merupakan wujud dari lahirnya ekspresi seni.
Baca Juga: Adat dan Budaya Suku Dayak Salako
Berangkat dari insiden pembubaran pementasan tarian oleh sejumlah oknum terhadap penyelenggara kegiatan di Taman Digulis saat perayaan hari tari seduia pada 29 April 2019, menghasailkan noda kekerasan yang menimpa dosen dan mahasiswa selaku panitia penyelenggara dan beberapa penari. Hal ini dilakukan oleh beberapa oknum dengan dalil bahwa hal ini merupakan hasil dari instruksi Wali Kota karena adanya postingan di beberapa media sosial yang mencerminkan perilaku LGBT.
Pembubaran acara yang dilakukan oleh Satpol PP dan Ormas diperintahkan oleh Walikota, Edi Rusdi Kamtono membenarkan adanya berita yang disampaikan kepadanya bahwa sekelompok orang yang menampilkan tarian yang tidak pantas di ruang publik. Berawal dari gaya penari yang terlalu ‘terbuka’, tidak pas di ruang publik.
Namun ia membantah memerintahkan langsung untuk membubarkan seluruh acara tersebut, melainkan hanya mengamankan sekelompok penari yang dianggap tidak pantas saja. Alibinya karena ada misskomunikasi di lapangan sehingga kegiatannya berhenti apalagi ditambah dengan situasi yang tidak kondusif.
Pasalnya adalah makna ruang seni yang tak terbatas dalam hal pemaknaan setiap gerakan seni yang dihasilkan oleh karya itu sendiri memerlukan pemahaman mendalam. Jadi bukan sekedar pengamatan sekilas saja. Katakanlah jika memang terdapat indikasi gerakan yang mencerminkan perilaku LGBT. Tapi siapa yang dapat menafsirkan makna yang ingin disampaikan dalam pesan yang sulit untuk disiratkan? Tak ada yang dapat menjamin hal itu, maka dari itu pendidikan seni menurut saya, pada hari ini telah berbaris di sayap kiri. Karena adanya dogma pendidikan yang sangat akademis menurut penafsiran para kaum intelektual terdahulu di Bumi Khatulistiwa.
Padahal pendidikan seni mengajarkan kita untuk bebas berekspresi. Dalam hal ini seharunya bapak Walkot tolonglah ditonton dulu tariannya seperti apa, dicermati dulu Pak pesan-pesan seninya sepertia apa. Karena ada yang bilang, “don’t judge a book by the cover.” Karena pada hakikatnya penampilan luar tak pernah menjamin isinya pak. Jadi kroscek dululah pak sebelum bertindak. Saran saja nih saya.
Tapi apa mungkin nutrisi pendidikan seni setiap zaman sekolah itu beda ya? Bisa jadi saat pelajaran seni beberapa oknum ini bolos, sehingga seni tari pun dikaitkan dengan LGBT, terkesan lucu memang tapi ini lah pasar logika mereka. Jika dianalogikan perbuatan ini merupakan kegiatan menampar air yang kemudian terpercik pada muka sendiri. Seharusnya para oknum intelektual terdahulu ini ingat, bahwa pelaku seni adalah pemegang peran penjaga dan pelestari budaya dan tradisi yang tak boleh disenyapkan, karena seni ini mencerminkan identitas kita sebagai makhluk yang tinggal di Bumi Khatulistiwa.
Baca Juga: Menyelamatkan Mutu Informasi di Era Post-Truth
Bukankah seni tak memandang orientasi seksual? Masa bodoh dengan monoseksual atau heteroseksual. Dalam seni semua ada makna yang tersirat. Bahkan dalam taripun. Jika kita lebih mau untuk menelisik lagi banyak tumpahan seni yang lebih fulgar dari insiden ini, namun punya makna yang mendalam. Baiklah jika insiden ini sebagai bentuk dalam upaya menjaga moral tapi saya rasa hal ini dapat diatasi dengan cara yang bermoral juga. Jika hal ini memang dipandang sebagai hal yang tidak bermoral lalu sebagai apa tindakan oknum yang membubarkan kegiatan ini bahkan sampai menyakiti fisik? Apa kabar moral kita hari ini?
Bumi Khatulistiwa yang diujani oleh penafsiran sekilas berdasarkan pengaruh yang bersumber dari opini bersumbu pendek membuat beberapa kaum Khatulistiwa menjadikannya sebagai dogma yang kemudian berhasil menerobos pasar logika. Saya berharap semoga Bumi Khatulistiwa kita tercinta tidak disuburkan dengan pemikiran sumbu pendek dan dibuahi dengan darurat toleransi.
Logika pasar akhirnya menjadi dogma pendidikan kita saat ini. Tidak ada urusan, apakah nantinya dalam kehidupan bermasyarakat secara nyata, kita mengalami permasalahan-permasalahan pelik dan rumit, pendidikan dipenuhi dengan ilmu pengetahuan yang menjauhkan kita dari kenyataan dan permasalahan masyarakat disekitar kita. Seolah, kita diwajibkan memproduksi dan menabung ilmu pengetahuan akademik sebanyak-banyaknya dan dilarang untuk memikirkan yang ada di luaran sana. Ruang pendewasaan seni ini hanya menjadi tempat reproduksi kapitalisme di dunia bagian ketiga. Pendidikan diarahkan kepada penyedia layanan tenaga kerja kompeten di pasaran tenaga kerja. Padahal, pengalaman juga merupakan sumber ilmu pengetahuan dan wawasan, bahkan secara organik diperolehnya.
Namun lagi-lagi dengan ketidakberdayaan kita yang hanya manusia biasa, tak bersenjata dan tak bermodal, belum mampu untuk melawan segala persoalan, khususnya dalam dunia pendidikan, apalagi pendidikan seni berbaris di sayap kiri secara bersamaan. Yang terpenting bagi kita adalah, mari belajar tentang kehidupan. Alam adalah guru bisu yang mampu memberi penjelasan hakikat kebenaran dan kehidupan.
Belajar di dalam dan bersama alam adalah kehendak diri untuk ingin mengerti makna terciptanya manusia dan segala seninya. Manusia adalah subjek seni, subjek atas dunia. Ia tidak hanya mengikuti fase seni. Manusia adalah makhluk yang menjalani seni dan kehidupannya. Jelas, sebagai subjek ia harus turut serta dalam perubahan-perubahan yang bertujuan untuk merubah alam melalui aktifitas dan kerjanya.
Fanatisme pemaknaan pendidikan oleh manusia, malah mengajak manusia yang katanya berintelektual tingkat tinggi kepada degradasi cara pandangnya terhadap dunia. Lazim orang, memaknai dan menamai pendidikan adalah kegiatan yang berjalan di dalam ruang kelas atau sekolah. Padahal, pendidikan adalah suasana dimana manusia mengembangkan potensi yang dimilikinya. Sehingga ia dapat berperan secara aktif dalam keberdiriannya sebagai manusia yang tak luput dari seni.
Penulis: D. Al-Fauziah