“Kau tahu, aku merindukan seseorang,” ucapnya padaku.
Bibir yang sudah lama tak tersapu gincu itu tampak pucat. Aku hanya diam. Aku tidak sedang ingin berbicara.
“Aku merindukan tiap belaian tangannya yang menyentuh lembut punggungku, menyisipkan sela jarinya di helai rambutku. Ahh, betapa aku tak bisa melupakan malam itu,” ucapnya sambil menerawang tingkap yang tampak merona karena tempias cahaya sore yang kemerahan.
Sore itu aku hanya berdua dengannya. Dia duduk tepat didepanku, memandangi burung burung manyar yang berhamburan terbang. Sesekali ia menghisap rokok dan mengepulkan asap yang membuat ruangan itu agak sesak.
Kami jarang berkomunikasi satu sama lain. Mungkin karena kesibukannya yang memaksanya untuk tidur di siang hari dan bangun di malam hari. Aku tak tahu ia memiliki pekerjaan seperti apa. Ia hanya memakai gincu merahnya dan pergi ke tempat kerjanya lalu pulang pada pagi harinya dengan gincu merahnya yang sudah tak beraturan di bibirnya. Hampir begitu setiap hari.
Namun belakangan ini ia tak ada meninggalkan rumah ini. Awalnya aku tak perduli dengan itu. Mungkin dia butuh istirahat dari pekerjaannya yang nampaknya melelahkan. Bagaimana tidak, ia selalu pulang dengan tubuh yang sempoyongan, aku berpikir itu mungkin karena kelelahan. Namun beberapa minggu terlewati, ia tak pernah keluar pada malam hari seperti biasa. Ia sudah seperti orang normal yang tidur pada malam hari dan bangun pada paginya.
Aku pun bertanya padanya, “Kenapa kau tidak pernah lagi keluar rumah di malam hari lagi?”
“Gincuku habis,” ucapnya
Aku pun melihat langsung ke meja tempat ia biasa melukis bibirnya dengan gincu itu. Benar katanya, aku tak melihat ada gincu yang biasanya diletakkan di samping kaca rias itu. Saking seringnya aku melihat dia ketika merias diri, aku sampai hapal letak letak barang yang ada di meja itu.
“Kenapa bisa habis?” tanyaku
“Mereka yang menghabiskannya.”
“Tapi aku tak pernah melihat siapapun masuk ke ruangan ini.”
“Mereka tak menghabiskannya diruang ini. Mereka menghabiskannya disini,” ucapnya sambil menunjuk kearah bibir pucatnya itu.
“Aku tak mengerti,” ucapku.
“Mereka memakai gincu yang sedang kupakai dibibirku.”
Aku semakin tak mengerti. Aku hanya menunjukkan wajah bingung untuk berharap ia akan menjelaskan lebih jelas lagi padaku.
“Mereka menyeka gincu yang ada dibibirku dengan bibir mereka,” ujarnya spontan menjelaskan karena melihat raut bingungku
“Mereka siapa?”
“Para orang orang kaya, kau mungkin pernah melihat beberapa diantaranya di televisi.”
“Para artis?” tanyaku. Jujur aku masih tak mengerti apa yang wanita ini jelaskan. Benar kata orang orang, wanita memang penuh teka teki.
“Bukan. Eh, sebenarnya ada beberapa. Namun lebih sering pejabat pejabat.”
“Maksudmu lelaki lelaki buncit yang memakai jas itu?”
“Yaps, kau benar,” ucapnya tersenyum, ibarat seorang guru yang pertanyaannya berhasil dijawab oleh muridnya. “Dari lelaki lelaki buncit itulah aku bisa makan selama ini,” lanjutnya.
Aku masih tetap belum mengerti pekerjaan wanita ini sebenarnya, tapi aku juga tak begitu peduli. Hanya kenapa ia tak bekerja selama beberapa minggu ini yang membuatku penasaran.
“Jadi jika kau berhenti bekerja karena gincumu habis, kenapa kau tidak beli yang baru saja?” tanyaku lagi. Nampaknya aku sudah terlalu banyak bertanya padanya, namun dia tetap santai dan menjawab semua pertanyaanku dengan senyuman.
“Tidak ada warna yang pas. Aku sudah mencoba berkeliling untuk mencari gincu yang berwarna sama dengan gincu yang dulu, namun usahaku sia sia.”
“Apakah tidak bisa ganti warna saja? Mungkin ada warrna yang mirip dengan warna gincumu yang dulu,” ucapku. Aku berpikir apa bedanya warna warna gincu itu. Merah adalah merah. Mungkin perbedaannya yang mencolok adalah warna merah muda dan merah tua. Namun warna gincu itu tak dapat mengurangi kecantikan wanita ini. Bahkan tanpa gincu sama sekali, ia tampak mempesona dengan bibir pucatnya itu.
“Tidak. Gincu ku yang dulu sangat berbeda. Ia berwarna seperti darah yang keluar ketika kau mengiris nadimu. Merah terang, namun gelap. Kau tahu maksudku,” ucapnya
“Tidak. Tidak sama sekali.”
“Sudahlah, yang penting warna gincuku spesial.” Wanita itu sambil meletikkan bara rokok yang sudah memanjang tertiup angin.
“Jadi kau tak akan bekerja sampai kau menemukan gincu yang sesuai, hmmm, yang seperti darah itu?”
“Entahlah. Aku juga tidak mood bekerja belakangan ini. Aku sedang merindukan seseorang.”
“Kau sudah mengatakannya tadi,” ucapku.
“Aku merindukan tiap belaian tangannya yang menyentuh lembut punggungku, menyisipkan sela jarinya di helai rambutku…”
“Itu juga kau sudah katakan.”
“Bisakah kau tidak memotongku?” ucapnya dengan dahi yang mengkerut dan muka yang cemberut.
“Baiklah.”
“Aku bertemu pria ini disebuah malam. Tepat setelah melayani salah satu pejabat. Senyumnya sangat manis, dan tatapannya sangat lembut, tanpa ada sedikitpun arti merendahkan dari tatapan itu, seperti yang biasa kuterima dari orang lain.”
Aku hanya diam, nampaknya wanita ingin berbicara panjang, jadi aku akan mendengarkan saja kecuali dia memintaku untuk berbicara. Langit yang awalnya kemerahan sudah berubah menjadi agak gelap, tak nampak lagi burung burung manyar yang menggores langit. Bunyi kendaraan jauh berkurang dan sayup sayup mulai terdengar suara jangkrik yang bersahut sahutan diluar yang membuat suasana semakin tenang. Satu satunya suara yang ada didalam ruangan ini hanyalah suara denting jarum jam, dan suara wanita ini.
“Aku ingat ketika ia mengajakku untuk menghentikan hujan. Kami sedang duduk didepan kafe, dan hujan turun. Ia pun melepas jaketnya dan menarik tanganku menuju jalanan yang basah untuk bermain main dengan hujan.”
Aku tetap diam. Sebenarnya banyak pertanyaan yang ingin aku lontarkan, dari siapa pria ini, kenapa kalian bermain hujan, dan kenapa aku harus mendengarkan ceritanya ini.
Wanita itu melanjutkannya lagi. “Ia mendekapku dibalik rimbunan butir hujan yang jatuh. Ia mengajakku berdansa dengan diiringi melodi dari suara hujan. Dan kami pun berdansa, tanpa memperdulikan siapapun orang yang melihat kami. Lampu jalan yang berwarna jingga itu menyorot kami seperti dalam pertunjukkan. Ia tak melepas tatapannya dari mataku. Astaga! Baru itu aku merasa dicintai.”
“Jadi dimana pria itu sekarang?” tanyaku tak sabar karena sedari tadi ia membicarakan betapa romantis pria itu.
“Entahlah, aku tak tahu. Setelah kami berdansa, dia permisi padaku untuk pergi sementara waktu.” Matanya berbinar saat mengatakan itu.
“Namun ia memberiku ucapan selamat tinggal dengan menghapus semua gincu yang ada di bibirku dengan bibirnya,” lanjutnya.
“Jadi karena pria itu kau belum mau bekerja sampai sekarang?”
“Ya begitulah, dia berjanji padaku kalau dia akan selalu setia untuk menghapus gincuku.”
“Jika kau ingin gincumu terhapus, kau cukup bilang padaku. Aku akan melakukannya dengan mudah,” ucapku.
Ia tersenyum dan meluruskan tangannya meminta untuk dipeluk. Akupun langsung melompat kearahnya dan menjilati wajahnya. Ia pun tertawa dan mengelus punggung sampai ke ujung ekorku.
“Hmmm, kau bau. Saatnya kau mandi.”
Penulis: Daniel