mimbaruntan.com, Untan – Bertemakan Wajah Kartini, Gantari Nawasena Society selaku pelopor menghadirkan limas belas seniman muda yang turut berpartisipasi menyambut perayaan Hari Kartini. Pameran seni kolektif ini digelar di Port 99, Jl. Kom Yos Sudarso, Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar), bersama karya-karya yang menggambarkan sosok perempuan, pameran ini berlangsung selama satu minggu, sejak tanggal 21 April 2024 sampai 28 April 2024.
Perayaan Hari Kartini yang dibuat sedikit berbeda oleh Gantari Nawasena Society bukan tanpa alasan, hal ini menjadi cita-cita yang telah lama diimpikan untuk mengumpulkan dan mewadahi seniman-seniman perempuan di Kalbar dengan memberi ruang ekspresi dari hasil karya mereka. Penamaan Wajah Kartini memiliki makna yang mendalam, sebab dibalik perayaan Hari Kartini, Wajah Kartini juga berarti berbagai sisi ketidaksempurnaan pada perempuan. Selayaknya manusia yang tidak terlepas dari kekurangan, wajah yang digambarkan pada perempuan pun memuat banyak sisi, yang jika dilihat dari berbagai sisi, selalu ada ketidaksempurnaan. Meski begitu, wajah ini bukan berarti tidak mempunyai kelebihan, namun terkadang manusia seringkali menilai bahwa selalu ada ketidaksempurnaan di diri mereka.
“Jadi karena pertimbangan yang sedemikian rupa, karya dari teman-teman lapas inilah yang membuat saya menempatkannya di tengah, karena banyak cerita-cerita perempuan yang penuh pembelajaran yang tidak kita ketahui, dan akhirnya minimal setelah mengetahui cerita mereka, kita tidak jadi perempuan yang menghakimi sesama perempuan,” ucap Hera Yulita selaku kurator pameran Wajah Kartini.
Baca Juga: Seperti Rahim Surgawi
Bagi para penggiat karya seni, pameran Wajah Kartini ini menjadi wadah dalam mengekspresikan diri serta menyuarakan karya-karya yang tidak hanya dalam bentuk tulisan tetapi juga lukisan. Tasya Nabila, salah satu dari 16 seniman Wajah Kartini berpendapat bahwa karya seni menjadi tempat bagi mereka untuk mengeksplorasi stigma perempuan hanya bisa di dapur. Dalam lukisan yang diberi nama Wanita Tangguh dan Generasinya, Tasya ingin menyuarakan bahwa perempuan tangguh bukan dilihat dari kekuatan fisiknya, namun dari ketangguhan mereka untuk bertahan hidup serta memiliki rasa simpati, empati dan jiwa mendidik, sehingga dapat menciptakan sebuah peradaban yang lebih baik.
“Perempuan yang tidak memiliki simpati, empati dan jiwa mendidik maka tidak akan bisa menciptakan sebuah peradaban yang lebih baik. Menurut saya, suatu peradaban dan generasi bisa hancur karena perempuan, namun sebaliknya bisa kokoh juga karena perempuannya, begitulah kuatnya peran perempuan,” jelas Tasya saat diwawancarai.
Baca Juga: Malam Paling Berisik
Seniman lain bernama Dea Ramadhani juga turut menceritakan karyanya dengan nama Keanggunan Perempuan. Ide dari lukisan ini muncul dari sebuah film yang menceritakan bagaimana perempuan harus terbentur dengan batasan-batasan di dalam keluarganya, seperti perempuan hanya boleh mengerjakan pekerjaan rumah, jadi tidak diperbolehkan untuk keluar dari kegiatan itu.
“Nah si perempuan ini berada dalam scene memegang buku, yang notabene merupakan larangan. Jadi menurut film itu, di zaman dulu memang untuk memperoleh pendidikan, membaca buku memang susah bagi perempuan, dan menurut saya itu sangat tidak adil. Kenapa harus perempuan yang menahan untuk mempelajari sesuatu? kenapa kita (perempuan) harus mengalah untuk yang lain?” jelas Dea tentang karyanya.
Dea juga menceritakan bagaimana karyanya bersangkutan dengan tantangan menjadi seorang seniman.
“Dulu saya sempat ingin masuk perguruan tinggi negeri di bidang seni, namun mendapat hambatan dari pihak keluarga, karena terbentur stigma bahwa provide kerja yang tidak menjanjikan, dan lainnya. Dan memang akhirnya saya sempat tidak menekuni lagi bidang seni dan membuat saya sedikit menyesal,” tutur Dea.
Sebagai penutup, salah satu pengunjung bernama Rosinta membagikan pengalamannya selama menikmati karya-karya pameran Wajah Kartini. Rosinta menyatakan bahwa dirinya sangat terharu karena masih ada rasa perhatian dan memandang perempuan bukan sebagai objek tapi saling menghargai dan menyemangati, sehingga ia berharap bahwa acara seperti ini dapat terus diadakan baik dalam bentuk pameran atau kegiatan lainnya.
“Kartini-Kartini muda yang akan lebih peduli dengan kondisi perempuan, dan juga untuk daerah yang terbelakang seperti Kalimantan, untuk ada gerakan seperti itu sangat bagus karena kalau kita bandingan dengan Ibukota seperti di Jakarta dan di kota-kota besar Jawa lainnya event seperti ini tidak jarang, mungkin sebulan sekali,” sambungnya.
Penulis: Fitri Liani