Kemerdekaan pers adalah indikator hak-hak kebebasan bagi jurnalis dalam mempraktekkan jurnalisme. Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) yang disusun oleh Dewan Pers setiap tahunnya menunjukkan bagaimana kondisi pelaksanaan pers itu berjalan, baik kebebasan dari tekanan pada aspek fisik dan politik, kebebasan dari tekanan ekonomi dan kebebasan dari tekanan hukum yang mengekang pers maupun kebebasan untuk menggunakan media dalam mengungkapkan kebenaran.
Sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, menyebutkan bahwa Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Maka dalam hal ini, negara berperan penting dalam memberikan penjagaan serta pengamanan bagi para jurnalis dalam melaksanakan tugas.
Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) disusun dengan mempertimbangkan tiga kondisi lingkungan antara lain lingkungan fisik dan politik dengan elemen aspek kebebasan berserikat, bebas dari intervensi, kebebasan dari kekerasan, media alternatif, keragaman pandangan, akurat dan berimbang, akses informasi publik, pendidikan insan pers, dan kesetaraan kelompok rentan. Dilanjutkan dengan lingkungan ekonomi dengan elemen kebebasan pendirian perusahaan pers, independensi dari kelompok kepentingan, keragaman kepemilikan, tata kelola perusahaan pers dan lembaga penyiaran publik. Terakhir, lingkungan hukum dengan elemen independensi lembaga peradilan, kebebasan mempraktikkan jurnalisme, kriminalisasi dan intimidasi, serta etika pers.
Skala penilaian IKP terbagi menjadi kategori ‘Bebas’ dengan skor 90-100, kategori ‘Cukup Bebas’ dengan skor 70-89, kategori i ‘Agak Bebas’ dengan skor 56-69, kategori ‘Kurang Bebas’ dengan skor 31-55, dan kategori ‘Tidak Bebas’ dengan skor 1-30.
Sejak empat tahun terakhir, Provinsi Kalimantan Barat adalah salah satu daerah yang termasuk dalam kategori wilayah ‘Cukup Bebas’. Penilaian dalam Survei Indeks Kemerdekaan Pers disusun menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Penelitian dilakukan melalui kuesioner dengan bentuk pertanyaan tertutup dan terbuka serta wawancara mendalam kepada para ahli informan terpilih, yaitu mereka yang memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai kemerdekaan pers, berpengalaman atau pelaku langsung di bidangnya maupun sebagai akademisi atau peneliti di bidang yang bersangkutan dalam jangka waktu minimal lima tahun. Selanjutnya, hasil Survei para informan ahli di setiap provinsi akan dibahas melalui Forum Group Discussion (FGD) berskala nasional dan National Assesment Council (NAC).
Kondisi Kemerdekaan Empat Tahun Terakhir
Secara keseluruhan, kondisi kemerdekaan pers di Kalimantan Barat berada dalam kategori ‘Cukup Bebas’ di sepanjang tahun 2018-2021. Kondisi lingkungan fisik dan politik mengalami peningkatan secara bertahap, walaupun sempat mengalami penurunan sebesar 0.66% di tahun 2019 dan penurunan kembali sebesar 1.39% di tahun 2021. Kondisi lingkungan ekonomi mengalami peningkatan yang signifikan di tahun 2020 walaupun mengalami penurunan sebesar 1.65% di tahun berikutnya. Terakhir, kondisi lingkungan hukum menjadi aspek dengan peningkatan paling tinggi selama empat tahun terakhir.
Menilik lebih dalam pada aspek kondisi lingkungan hukum, Kalimantan Barat berada pada tahap ‘cukup bebas’ selama empat tahun terakhir walaupun sempat mengalami tingkat penurunan dan kenaikan yang cukup tipis. Pada aspek ini, terdiri dari enam indikator penilaian. Nilai tertinggi ditempati oleh indikator Kriminalisasi dan Intimidasi Pers sebesar 81,31 persen. Sedangkan nilai terendah berada pada indikator Perlindungan Hukum bagi Penyandang Disabilitas sebesar 70,50 persen.
Sepanjang tahun 2018-2021, seluruh penilaian pada indikator ini selalu berada pada posisi yang cukup aman, yaitu dalam kategori ‘Cukup Bebas’ dalam rentang nilai 70-80 persen. Kendati terbilang aman dan termasuk indikator dengan penilaian tertinggi, indikator kriminalisasi dan intimidasi pers tidak mengalami perubahan yang berarti, sebab data selalu mengalami naik dan turun pada angka 1-4 persen di tiap tahunnya.
Namun demikian, coretan angka yang cukup tinggi dan tertera dalam penilaian kadangkala menimbulkan pertanyaan. Terutama dalam dunia pers yang rentan terhadap tindak kekerasan, ancaman, maupun gangguan dalam bentuk lain yang bisa saja dialami sewaktu-waktu oleh jurnalis. Begitu pula dengan kondisi kemerdekaan pers di Kalimantan Barat yang bertahan dalam posisi ‘cukup bebas’ selama empat tahun terakhir, tidak menutup kemungkinan adanya kasus kekerasan yang tidak terdengar maupun terdata.
Menurut informasi yang tertera dalam Survei IKP Kalbar, tak banyak ditemukan kasus kekerasan yang dialami oleh para jurnalis baik yang dilakukan oleh TNI, Polri maupun Sipil hingga naik ke meja persidangan. Di tahun 2019, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Pontianak, Ramses Tobing menyebutkan terdapat kekerasan terhadap jurnalis RUAI TV dalam bentuk penghalangan dan penyitaan alat peliputan jurnalistik dalam kasus foto tak senonoh yang diduga melibatkan seorang oknum kepala desa di Kayong Utara.
Sayangnya, tak terdengar lagi kelanjutan dari kasus tersebut setelah RUAI TV mengirimkan pengacara ke Polres Kayong Utara, Kalimantan Barat.
Suara Sumbang kekerasan dari Warung Kopi
Dikutip dari laporan IKP, “Suara-suara sumbang mengenai kekerasan jurnalis hanya selintas lewat warung kopi saja.” Namun bagaimana realitas kebenarannya?
Adalah Ferryanto, jurnalis di bawah naungan Tribun Pontianak. Ia mengalami kekerasan saat bertugas, tepatnya pada tahun 2019.
Ferryanto kala itu berangkat sendirian menuju lokasi demo yang dilakukan oleh segerombolan massa yang tak diketahui identitasnya. Ricuh, adalah suasana paling tepat menggambarkan kondisi aksi demo pasca penetapan calon presiden terpilih, Joko Widodo.
Subuh itu tak lagi tenang, sebab dua pos polisi dan ban-ban bekas sengaja dibakar untuk meriuhkan suasana, gerombolan massa tanpa identitas itu merusak sarana dan prasarana publik tanpa ragu. Para jurnalis tak diperkenankan mendekat dan memamerkan alat kerja mereka, smartphone, kamera, dan segala bentuk tangkapan layar tak diterima.
Memberikan ancaman, melemparkan intimidasi sampai menodongkan senjata tajam dilakukan oleh massa aksi. Begitu pula Ferryanto, demi nama keselamatan, ia tak berani mengeluarkan kamera dan melakukan dokumentasi dalam bentuk apapun.
“Sehabis sholat subuh, jalanan sudah chaos, mereka bakar-bakar ban. Saat itu massa bawa parang, pedang, kayu, bahkan samurai. Meski hampir dilukai massa, saya nggak bisa ambil dokumentasi sama sekali,” jelas Ferryanto saat diwawancarai pada Selasa, (06/9).
Lelaki yang akrab disapa Ferry itu mengungkapkan bahwa kerja jurnalis saat itu sangatlah dibatasi. Walau telah menggunakan kartu identitas pers, mereka masih dihalang-halangi ketika melakukan liputan bahkan sangat rawan dicelakai.
Tak mau ambil resiko, Ferry dan rekan jurnalis lain memilih menepi dan menyelamatkan diri dari ancaman amukan massa. Aksi ricuh ini bertahan hingga tiga hari lamanya, menimbulkan banyak kerugian, korban dan prasangka yang masih tertinggal.
Perempatan Jalan Tanjung Raya I, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak, Kalimantan Barat hari itu menjadi saksi bahwa dengan identitas dan perlindungan kuat sekalipun, kerja jurnalis sangat rawan mendapat berbagai tindak kekerasan, khususnya intimidasi.
Kepada sang pimpinan redaksi, Ferry berusaha terus melaporkan setiap kondisi yang dialaminya selama liputan. Namun, ia merasa tak perlu melaporkan kekerasan yang ia dapat kepada kepolisian. Sebab dirinya tak mendapat kekerasan secara fisik dan menganggap intimidasi dan penghalangan liputan masih tergolong kasus yang ringan.
“Saya nggak apa-apa, barang bawaan saya aman, kecuali ada alat kerja yang pecah atau dapat kekerasan fisik baru saya lapor. Kalau hanya dapat intimidasi, itu resiko saya sebagai jurnalis apalagi ditugaskan di divisi kriminal,” ujarnya.
Di akhir, Ferry berpendapat bahwa walaupun jurnalis bekerja di bawah perlindungan UU Pers, masih banyak orang yang belum memahami tujuan dari adanya perlindungan ini untuk melindungi kerja jurnalistik. Sehingga, masih banyak ditemui jurnalis yang menjadi target salah sasaran dalam kekerasan ketika proses peliputan.
Kosongnya Catatan dan Kekerasan Digital
Dian Lestari, Ketua Aliansi Jurnalis Indipenden (AJI) Pontianak masa tugas 2017-2020, mengatakan kecenderungan penilaian positif pada survei IKP dipengaruhi oleh narasumber yang kurang memahami kondisi yang terjadi di balik layar ranah jurnalistik. Ditambah lagi, tahapan proses pengaduan yang rumit membuat para jurnalis mengurungkan niat untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya. Sehingga kasus kekerasan, penindasan, pemaksaan dan kasus-kasus buruk lain yang menimpa para jurnalis tidak terdengar. Hal ini tentu berpengaruh pada survei IKP yang terus meningkat setiap tahunnya.
“Tidak semua kasus sampai ke kepolisian, jadi IKP-nya cenderung baik. Apabila kasusnya nggak terlalu parah hingga mengalami luka fisik, teman-teman jurnalis nggak akan lapor ke polisi, itu akan diadvokasi oleh pimpinan redaksi yang menaungi,” ujar Dian.
Bentuk kekerasan yang dialami jurnalis saat ini mulai beragam, mulai dari fisik, verbal maupun secara digital. Dian menambahkan bahwa UU Informasi dan Teknologi (ITE) dapat melumpuhkan seluruh kalangan masyarakat, bahkan jurnalis yang dilindungi oleh UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Baik liputan seremonial hingga investigasi, jurnalis sangat rawan mendapat kriminalisasi, intimidasi, maupun serangan secara digital.
Sedangkan Mona Arvita, Pengacara LBH Pers mengemukakan bahwa dewasa ini, kasus pembunuhan terhadap jurnalis di Kalimantan Barat sudah hampir tak terdengar, melainkan lebih kepada kasus kriminalisasi pemberitaan yang dipublikasi melalui jerat-jerat pasal karet UU ITE.
“Tren kekerasan yang dialami jurnalis saat ini lebih ke serangan digital, misalnya peretasan smartphone, peretasan sosial media, website yang tiba-tida down, maupun mendapatkan pembullyan setelah menulis sebuah isu,” jelas Mona.
Meningkatnya survei IKP Kalimantan Barat setiap tahunnya tak serta merta diakibatkan oleh nihilnya kasus kekerasan yang terdata. Kasus kekerasan dewasa ini hadir dalam bentuk yang beragam, ia turut serta mengiringi perjuangan pers di Kalimantan Barat.
Carut marutnya implementasi regulasi, intervensi dari berbagai sisi, serangan digital yang semakin meliar, perundang-undangan yang menjerat, serta mudahnya kriminalisasi pemberitaan menjadi penghambat dalam kebebasan pers di Kalimantan Barat.
Laporan Tahunan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Indonesia tahun 2019 menunjukkan bahwa kemerdekaan pers turut dipengaruhi beragam faktor, antara lain hadirnya media abal-abal yang tidak sedikit jumlahnya, lemahnya regulasi perlindungan bagi jurnalis, kriminalisasi media dan jurnalis, serta lemahnya pemahaman jurnalis dalam melakukan peliputan.
Mengutip pernyataan yang diberikan oleh Ade Wahyudin, Ketua LBH Pers dalam wawancaranya bersama Tempo, ia menyebutkan bahwa banyak media dan jurnalis yang aktif dalam melaporkan tindak pidana kekerasan yang dialami, namun terkendala oleh respon kepolisian yang lamban atau proses hukum yang terhitung lama.
Penulis: Dedek Putri Mufarroha dan Marlina Marlin
*** Tulisan ini telah terbit di Majalah Edisi 15. Dapatkan segera versi cetaknya dengan menghubungi +62 882 4229 0165 (Arum)