BAB 1
Ilana berjalan menuju mobilnya. Dia baru selesai berkonsultasi dengan dokter kulit Rumah Sakit Cepat Sembuh ini. Kepulangannya dari kegiatan pelatihan kemarin membuat dia harus pergi ke RS. Ilana digigit agas. Sejenis nyamuk hutan yang mendiami daerah lembab seperti pantai, sungai dan hutan. Selama hari-hari sebelumnya dia menganggap enteng bentol bentol merah itu sebelum jumlahnya yang semakin banyak dan menyebar serta rasa gatal yang luar biasa di alaminya.
Suasana di parkiran lumayan sepi. Hanya beberapa mobil yang terparkir dan juga seorang ibu paruh baya baru keluar dari mobilnya. Tampaknya ibu itu juga ingin check-up atau apalah, karena mukanya yang pucat banget. Dia menggumam teringat seseorang. Kangen Mak di Pontianak. Hmm.
Tanpa diduga, Ibu itu tiba2 pingsan saat baru berjalan beberapa meter. Ilana terperanjat kaget dan panik. Oh My God. Batinnya. Ilana segera berlari ke pos security. Dengan segera ia dan pak satpam memapah ibu itu.
“Ibu. Bangun ibu.”
Suster segera membawa ibu itu ke IGD. Ilana memegang handphone si ibu dan merasa frustasi. Handphonenya di kunci. Aissshhh. Pake dilock lagi. Mana aku tau gimana cara hubungi keluarganya. Ilana yang merasa panik sedikit merasa lega setelah mendengar kalau ibu itu sudah siuman. Dia segera masuk ke kamar itu.
“Ibu… Alhamdulillah udah sadar.”
“Terimakasih. Untung saya bertemu gadis yang baik seperti kamu.”
“Maaf juga ibu, saya belum menghubungi keluarga ibu karena handphone ibu dilock.”
Ilana menyerahkan handphone pada si Ibu. Ibu itu kemudian menelpon putranya. Selesai menelpon ia menyambung percakapannya dengan Ilana.
“Ngomong-ngomong siapa nama kamu Nak?”
“Kenalin bu. Saya Ilana Anggita Malik. Panggil aja Ilana. Ibu sendiri?”
“Kamu boleh panggil saya, Ibu Aisyah. Kok kayanya nama kamu gak asing?”
Ibu itu seperti berusaha mengingat-ngingat sesuatu.
“Kamu penulis novel Rain itu kan?” ujar Ibu itu berhasil mengingat.
“Iya betul banget ibu. Ibu baca novel saya?”
“Iya. Saya suka banget novel itu. Siapa sih yang ngga baca novel kamu?”
“Ah, biasa aja bu, novel saya itu biasa banget. Tapi terimakasih ya ibu suka sama novel saya.”
“Saya beruntung bisa ketemu kamu. Kamu cantik banget ya Nak ternyata. Oh ya. Ibu boleh foto?”
Ilana tersenyum melihat Ibu ini. Mereka foto bersama. Ilana melihat ke jam tangannya menyadari sesuatu.
“Maaf bu. Saya ijin pamit juga. Saya masih ada urusan.”
“Oh ya nggak apa2. Tapi sayang, anak saya mau datang jemput. Dia juga mau berterimakasih sama kamu kataya.”
“Nggak apa2 ibu. Nggak perlu segitunya. Sudah tugas kita untuk saling menolong kan?”
Ibu itu mengangguk. Ilana berhambur meninggalkan RS Cepat Sembuh setelah memeluk dan mendoakan kesembuhan Ibu Aisyah. Ibu tidak dapat menahan senyumannya melihat tingkah manis Ilana. Ilana sadar ia seperti itu karena teringat akan ibunya sendiri.
Hari ini hari yang panjang. Namun ia merasa bahagia bisa menolong seseorang. Mottonya sendiri ingin jadi orang yang bermanfaat untuk orang lain.
Ilana sebenarnya merasa tidak enak meninggalkan ibu Aisyah sendirian. Tapi di hari itu, banyak hal yang harus diselesaikannya. Ilana mendorong pintu kamar rs itu pelan. Dia berjalan kembali ke parkiran rumah sakit. Seseorang tiba-tiba meneriakkan dan memanggil namanya.
“Ila.”
Suara yang sangat tidak asing di kuping Ilana. Dia tertegun dan berhenti berjalan, kemudian berbalik ke arah sumber suara.
“Ila kan ya? YaAllah, kamu apa kabar?”
Wow. YaAllah, kok bisa-bisanya ketemu dia lagi. Oh ya, ini RS Cepat Sembuh tepat dia kerja. Hmm.
Ilana berusaha bersikap cool. Ketemu mantan sahabatnya.
“Alhamdulillah baik. Kamu sendiri?”
“Aku juga baik. Udah lama banget ya.”
“Ya.” Jawab Ilana singkat.
Suara Diandra kini lebih meninggi. Mereka bagai lupa kalau dulu mereka sangat dekat.
“Dan aku mau ngasih kabar juga, kebetulan kita ketemu di sini. Aku sama mas Raka nikah minggu depan.”
Ilana terkejut bagai disambar petir. What? Nooooo. Wajahnya memucat.
“Kamu nggak apa-apa?”
“Nggak. Ini aku emang lagi gak fit. Btw selamat ya. Aku turut bahagia, sama mas Raka lagi. Wah.” Ujarnya menyembunyikan kesedihan dan keterkejutannya.
“Undangannya segera ya. Kamu tapi harus datang Ila. VIP. Masa lalu biarlah masa lalu kan. Aku dan Raka khilaf waktu itu. Aku juga udah minta maaf kan sama kamu.”
“Bener banget. Aku juga udah maafin kalian kok. Yah gitulah hidup kan.”
“Oke, ingat ya Ila, kamu harus datang. Jangan lupa sekalian bawa pasangan kamu.”
Ilana sedikit terkejut dengan kata terakhir. Pasangan?
“Oh pasti dong Ndra.”
Ilana menyeringai dibalik senyumnya. Dasar jahat banget sih Diandra itu. Ilana itu kan jomblo dan sekarang dia fix galau banget. Siapa coba yang mau dia bawa ke pernikahan itu, dan hatinya terluka sekali. Namun pernyataan Diandra sendiri nggak salah. Usia Ilana sendiri akan menyentuh angka 29 di pertengahan bulan Juli ini. Si Cancer yang malang. Tentu saja jomblo di usia ini akan jadi hal yang tidak biasa. Ini Indonesia bok! Bukan negara maju kaya korsel gitu yang aktor2 nya umur 30an masih kaya umur 20an dan belum pada nikah.
Sebenarnya ekspektasi Diandra bukan yang pertama ia terima dari komunitas ini. Semua orang rata2 begitu melihatnya, namun dia tidak terlalu di remehkan karena karirnya yang cemerlang meski pasti ada yang memandangnya sinis dan sebelah mata. Wajar saja. Teman-temannya sudah pada menikah dan sebagian besar juga sudah punya anak. Bahkan ada juga yang anaknya sudah tiga dan sudah masuk sekolah. Bukannya Ilana tak ingin juga seperti itu. Tapi apa daya…
“Ahhhhh. Eotokkeyo? Jinjja. Eotthokkkeeeee. God. Please help me!”
Dan dia menyesali dirinya yang sombong barusan. Harusnya dia jujur aja kan ya. Eh tapi, tidak bisa. Itu melukai harga dirinya.
—–
Ilana ke kantor seperti biasa. Diaterduduk di kubikelnya dan merenung seharian. Kalimat Diandra kemarin terus membayanginya. Apa? Pasangan? Pacar? Ilana mulai skeptis. Di jaman modern ini apa kata pacaran masih exist. Hatinya teriris teriritasi.
Ilana terus melamun memikirkan dirinya yang tampak menyedihkan itu. Arin, sahabat baik sekaligus rekan sekantornya juga, mengejutkannya.
“Oyyyy. Mau balik gak?”
“Eh. Oh Ya.”
Dia terbangun dari lamunannya dan mukanya masih blank.
“Blank Ji. Andwae. Na! Kamu ngelamun sepanjang hari? Amboiii. Kenapa sih sis. Galau amat tu muka!”
“Hmm. As you can see.”
Dia menceritakan panjang lebar kejadian semalam.
“Ini Mr.Sunshine? Andwae. Andwae. Oh My God. Apa aku bilang. Kejadian juga kan. Sabar my sis. Puk-puk.”
Mereka akhirnya dengan kocak malah nangis berdua. Dengan Arin si tukang puk2. Karyawan lain yang lewat pun geleng-geleng melihat tingkah keduanya. Udah biasa banget pemandangan ini. Dua wanita itu sama sama dramaqueen.
“YaUdah. Untuk mengurangi sedikit beban di hati. Kita ke MangoSeven dulu yak.”
“Oke sis. Hiks. Hiks.”
~Di Mobil~
“Na! Lo malah nyetel lagu galau beginian. Nggak pernah berubah-ubah ya playlist lo. Pantes aja gini2 terus.”
“WHAT????!!! Lo bilang apa barusan?”
“Ampun Blank Ji. Kidding. Kidding Okayyy?”
Ilana benar-benar depresi. Masalah nenek dan juga ayahnya belum selesai kini masalah hatinya yang belum sempat ia beresi justru muncul. Ilana kurang fokus dalam menyetir. Pikirannya seperti terpecah. Sempat beberapa kali Arin menegurnya.
“Na. Kalo lo kaya gini terus. Sini gue yang nyetir deh.”
“Nggak papa rin. Na Gwaenchana.”
Dan seperti yang ditakutkan Arin. Ilana benar benar… Dia nggak sengaja nabrak seorang pemuda yang sedang lewat.
“ILANA!”
“ASTAGHFIRULLAH!”
“Gawat Na. Gawat.”
Mereka panik dan segera keluar untuk melihat. Mereka berdua habis dimaki-maki warga di pinggir jalan.
“Hoyyy. Pake mata tu kalo nyetir. Tanggung jawab ni!”
Sementara si pemuda itu bangun dan memegangi siku lengannya.
“Maaf Mas. Saya gak sengaja. Ayo ke klinik. Lukanya kayaknya parah deh. Saya minta maaf banget ya.”
Warga membopongnya naik ke mobil. Mereka bertiga sekarang menuju klinik terdekat.
“Na!”
Tegur Arin sambil menunjuk-nunjuk dahi Ilana.
“Wae?”
Dia menyentuhnya dan ternyata dahinya terbentur sewaktu dia ngerem mendadak tadi.
“Arrgggh.”
Mereka berdua selesai dirawat. Ilana mengeluarkan dompetnya dan ingin mengganti rugi pemuda itu. Ilana baru menyadari. “Huffft. Gilakk. Ganteng banget.” Dia terdiam mengobserve alias menikmati tampilan ciptaan Tuhan ini. Arin langsung menegurnya.
“Na. Asli lo.”
“EH.. Sorry.”
“Ini mas…” Ilana menyerahkan uangnya seraya sotoy mau tahu nama mas ini tanpa perlu menanyainya.
“Oh.. Saya Yoga.” Sahutnya singkat.
“Ahh, Yoga. Ini sekadar untuk permintaan maaf saya.”
“Siap. Terima kasih.”
“Mau saya antar balik juga?” tawar Ilana.
“Boleh.”
Setelah dari rumah sakit. Ilana mengantar Yoga yang secara mengejutkan lemah lembut ini ke rumahnya. Mereka turun di depan sebuah gang kecil.
“Nggak papa mba. Sampai sini aja.”
“Biar saya antar sampe depan pintu ya.”
Akhirnya mereka bertiga berjalan di suatu malam yang indah. Ilana agak sedikit takjub. Ternyata Yoga mengunjungi sebuah panti asuhan ini. “Oh disini tooo.”
“Oke. Makasih banyak kak…” Dia persis melakukan apa yang dilakukan Ilana sebelumnya.
“Ilana. Nama saya Ilana Anggita Malik dan di sebelah ini temen saya, Arin.”
“Eh bentar…” Dia seperti sedang berusaha mengingat sesuatu.
“Mbak penulis buku Rain itu kan?”
Yoga membatin. Wow. Kebetulan banget bisa ketemu dia.
“Oh iya.”
“Kebetulan aja. Perusahaan saya ingin sekali teken kontrak dengan mbak.”
Ilana mulai malas dengan topik ini.
“Saya lagi lelah dan terluka Yoga. Ini juga udah bukan jam kantor. Saya paling anti ngomongin masalah kerja di tempat yang nggak seharusnya.”
“Dan Yoga, saya minta maaf sekali. Ini bener2 nggak disengaja.”
“Oh nggak apa-apa.”
“Tinggal di sini kah? Ngajar atau gimana gitu?”
“Oh, nggak. Kebetulan lagi pengen ke sini.”
Ilana mengangguk-ngangguk. Dia menyadari malam yang semakin larut dan badannya udah sangat capek.
“Okey, kami pamit dulu Yoga.“
TBC
bersambung…
Penulis: Risky Supriati