Bagaimanakah hakikat bahagia itu sebenarnya? Berparas cantik, kulit putih dan tubuh ideal seksi bagaikan gitar Spanyol? Bagaimana cara agar aku bahagia? Haruskah aku bersujud, tengkurap, telentang atau mati dulu?
Terlampau banyak makian yang bertubi-tubi menemani senja di taman yang nyaris temaram. Lemparan lumpur perlahan mendekat. Mengalir pelan menghiasi kulit hitamku bersaman dengan teriakan orang-orang yang bringas dengan tatapan nanar. Lucunya aku hanya terdiam setelah bersusah payah meluapkan perasaanku saat itu. Entahlah kemana energi yang sempat tercurah, mungkin saja terendap di dalam perut. Mungkin saja.
***
Aku hidup dari keluarga yang biasa saja namun bahagia, teramat bahagia. Hidup seadanya dan menjalani lika-liku problematika dengan sederhana saja. Sampai saat itu tiba semuanya buram seketika cahaya mentari meredup. Redup bersamaan dengan harapan yang terkubur seketika.
Namaku Mimi Novita mahasiswa baru di universitas kota jurusan ilmu komunikasi. Kulitku sangat sawo matang dengan postur tubuh gendut. Hal ini kemudian aku dijuluki gumpal saat aku duduk di bangku SMA. Jika dipikir-pikir sakit rasanya mengemban julukan seperti itu. Meskipun pada kenyataannya bentuk tubuhku memang gendut menggumpal. Namun aku hanya bisa diam menghadapi semuanya dengan mengatasnamakan sesama teman emang seperti itu. Mengatasnamankan jangan mudah baper. Jangan terkesan lebay atau sok idealis! Perlahan aku mulai agak terbiasa menyandang gelar gumpal. Demi menghalau pengatasnamaan itu.
Sejak beberapa bulan kuliah aku berteman dengan seorang pria bernama Rian. Kami satu kampus namun Rian di jurusan psikologi semester 3. Perawakan Rian yang manis, lembut, dan pengertian namun kritis membuatku nyaman setiap bersamanya. Banyak hal yang kami lewati bersama. Mulai dari jalan-jalan, memasak, diskusi bahkan berangkat kuliah pun bersama. Seakan jika tanpa Rian aku merasa ada yang kurang.
Sudah setengah tahun aku dan Rian berteman. Aku merasa teramat nyaman berasamanya. Hingga tanpa sadar ada perasaan berbeda. Awalanya aku mengira perasaan sayang pada sahabat karena Rian satu-satunya orang yang dekat padaku. Namun perkiraan ku salah besar.
Anggap saja ini cinta sungguhan atau apalah itu. Siapakah yang akan pernah mengira betapa kebahagiaan begitu rapuh dan keajaiban cinta hanyalah untuk sementara? Aku berpikir keras untuk itu.
Banyak pertayaan yang muncul bergentayangan tanpa permisi. Apakah benar cinta ini milikku? Apakah aku berhak atas cinta yang belum tentu hakku? Bagaimana cinta itu berlabuh bahagia? Banyak pujangga yang mengatakan hanya waktu yang bisa menjawabnya. Persetan dengan waktu yang katanya dapat menjawab. Toh nyatanya waktu tak dapat mengungkapkan serpihan rasa.
Aku duduk termenung sendirian di tengah taman menikmati udara sambil berharap andai saja nyata. Waktu mau berkompromi bersamaku senja ini. Berharap waktu mampu meyakinkanku untuk saat ini saja.
Pok! Tepukan lembut mendarat di pundakku. “Hei! Kok ga ngajak?” suara yang tak asing lagi di kuping. Siapa lagi kalau bukan Rian. Aku menatapnya beberapa detik. “Ada apa? Sini ceritakan tumpahkan semua padaku.” Katanya. Seperti biasa ia selalu peka dengan kondisiku setiap waktu.
Aku menghela napas perlahan, mengumpulkan energi mencurahkan serpihan rasa yang entah bertuan atau tidak. “ Yan aku mungkin sedang mencintai seseorang. Tapi aku terlalu takut menghadapi rasa ini. Aku takut perasaan ini tak berbalas. Apalagi dengan kondisiku sekarang yang tak ada sisi menarik sedikitpun untuk dicinta seorang lelaki.”
“Kau sudah yakin dengan rasa itu?” tanyanya. “Ya aku yakin. Tapi aku merasa ada yang janggal. Apakah aku berhak atas rasa ini? Aku takut nantinya rasa ini akan terhempas dan aku tak mampu menghalaunya.”
Rian menjelaskan padaku bahwa kita tak boleh diam saja jika itu adalah hak kita. “Berbuatlah selagi mampu!” ia menatapku kemudian berkata lagi “ Mi apapun yang terjadi luapkan saja emosionalmu, cobalah untuk jujur terhadap diri sendiri. Karena diam takkan merubah apapun.” Aku hanya diam saja. Ahh rasanya menjengkelkan memang. Tapi aku terlalu ciut.
Kutatap matanya sekali lagi, serangkaian pertanyaan melesat. Apakah yang bisa dikatakan oleh sepasang mata yang kilauannya mendebarkan, dengan tatapan yang menusuk, mencekam, dan menundukkan? Apakah yang bisa diungkapkan oleh sepasang mata? Tampaknya begitu banyak, tetapi bagaimana memastikannya?
Usaha ku tak berhenti disitu saja. Aku mencoba berbagai jenis olahraga dan mengonsumsi obat penurunan lemak serta mengikuti program diet di sosial media. Namun hal itu sia-sia saja. Tak ada berubahan yang signifikan pada diriku. Dan yah aku menyerah. Anggap saja keadaan menjuarai kompetisi ini. Anggap saja ini hasil kompromiku bersama waktu.
Sama seperti sebelumnya aku bermarahan dengan waktu atas semua yang terjadi. Bermarahan dengan bahagia yang ternya tak teruntukku di taman ditemani bunga-bunga yang entah sudi atau tidak menerima murka dari seorang sepertiku.
Rian yang bagai malaikat penyemangat tanpa sayap datang menghampiriku dan berkata padaku untuk menerima apa adanya semua yang ada pada diriku. Untuk mencintai anugrah Tuhan. Sejenak aku pencapat secercah sinar kembali namun sinar itu mendadak hilang ketika seorang wanita cantik bak selebriti melambaikan tangannya kepada Rian “sayang hai.” Senyum sumringah Rian membalas sapaan itu.
Entah mendapat kekuatan dari mana aku berdiri dan berkata dangan lantang. “ Rian kau adalah pria yang lembut dan paling mengerti keadaanku, hingga tanpa sadar aku nyaman. Maaf jika menurutmu aku tak tahu diri. Tapi bukankah kau sendiri yang bilang bahwa aku harus berani mengungkapkan emosionalku dan jujur pada diri sendiri.” Aku terdiam menghela napas perlahan.
Tanpa sadar saat itu juga tamparan mendarat di pipi gumpalku yang berasal dari wanita Rian. Seketika taman menjadi ramai. Ribut, cekcok bergemuruh. Tiba-tiba gumpalan lumpur menghajarku bringas. Aku menangis terdiam. Aliran lumpur pun bertubi mengalir perlahan beriringan dengan makian yang tertujah. Sekilas aku menatap Rian dan orang-orang disekeliling dengan tatapan nanar. Dan Rian pergi berlalu bersama wanitanya.
Penulis: D. Fauziah