Di kota ini ada manusia yang tega membunuh anaknya. Sumpah, aku baru saja menonton di tv. Aku baru saja baca di koran. Aku baru saja mendengar di radio. Semua membahas tentang seorang anak manusia membunuh anaknya.
Apakah kau tahu? Mengapa kau terlambat untuk tahu. Padahal semua orang di kota ini sedang membahasnya.
Kemana saja kau? Terlalu banyak yang kau lewatkan hanya karena mimpi-mimpi kosong mu itu.
Aku baru saja tahu dan kau masih kurang tahu. Ku rasa percuma telepon genggam mu harganya mahal dan canggih tapi kau masih saja kurang tahu.
Kita berada di bawah langit yang sama, tak ada info yang harusnya berbeda diantara kita. Tapi saat itu kau baru saja pergi, aku bersama Didi, Sami, Azizi, dan Ari duduk di sebuah bangku di bawah pohon akasia depan rumah Pak Tam, kau melewatkan apa yang kami bahas.
Di kota ini ada manusia yang tega membunuh anaknya. Jena terbilang masih muda, dia masih sekolah duduk di kelas dua belas. Perempuan muda ini melahirkan, membunuh, dan menguburkan anaknya di bawah pohon pisang dekat sekolahan. Saat itu dia lari terburu-buru, badannya yang kurus dan tinggi tentu dengan mudah dia bisa menyembunyikan kehamilannya. Tanpa menimbulkan rasa curiga dia berlalu melewati rumah penunggu sekolah yang tak jauh dari pohon pisang itu.
Nasibnya mungkin akan selamat, tapi ku kira itu tak akan terjadi. Dia lupa ada Tuhan yang melihatnya. Kalau saja pak Gundul tak menemukan bayinya dua hari setelah itu, dia masih bisa bernafas lega. Tapi pak Gundul terlanjur mencangkul dan tak sengaja menemukan bayinya. Hal ini mengundang pertanyaan semua pihak : “Ini bayi siapa?”
Akhirnya semuanya tahu, Jena diam-diam mengaku setelah pihak sekolah resah dan mengancam semua siswa. Dia seminggu tak masuk sekolah, dan mungkin tak akan masuk sekolah lagi. Ku pikir dia akan membawa dosanya sampai pada hari akhir.
Dia mengaku : “Itu anak ku,” katanya dalam isak tangis penuh penyesalan di depan seorang guru. Jena juga mengaku dia hamil karena pacarnya, Carlo. Carlo juga yang memaksanya untuk membunuh anak yang tak berdosa itu. Akhirnya dua bocah ingusan yang di penuhi nafsu muda membara itu harus hidup bersama dalam sel yang terpisah. Mereka kehilangan masa depan yang cerah, mereka membuat keluarganya malu semalu-malunya. Hanya karena birahi yang tak terbendung, mereka adalah korban masa yang gila. Semua orang ingin menghalalkan segala cara untuk mendapatkan duit, menjual paha, bra dan celana dalam di tv, industri mencontohkan orang-orang yang pernah merusak dan memporak porandakan negeri. Dan itulah yang sering dua bocah itu konsumsi setiap hari. Harusnya para orang tua sadar untuk bisa menjaga anak remajanya, tapi tentu orang tuanya juga tak cukup waktu, biaya hidup semakin tinggi. “Waktu adalah uang,” katanya. Tak sempat waktu untuk memperhatikan anak-anaknya.
Di kota ini, Adi baru saja memetik gitar, dan Azizi baru saja menyeduhkan kopi panas pada gelas-gelas plastik. Dan saat itu, aku ingin bernyanyi.
Selamat malam buat penikmat jalang
Menggeliat bersama badan yang rawan
Dingin dirasa meskipun ada yang memanaskan
Dipanaskan pakaian yang remang
Bau hujan masih terasa, aromanya begitu khas. Dan kau entah kemana. Setelah pamitan pada kami, kau lalu pergi.
“Mana dia boi?” tanya Sami.
“Tah lah, mungkin tidur. Maklum cuacanya dingin seperti ini.” jawab Azizi.
“Tidur dengan perempuan kali,” kata Ari.
“Bisa jadi, maklum kalau pamitan dia hanya bilang ingin tidur, entah dimana”
Kami tertawa. tentu tidak tentang tidur. Tapi tentang Azizi. Didi berhenti memetik gitar dan melirik ke Ari. Dia menyuruh Ari mengeluarkan pulpen dan buku. Entah apa yang dia mau, tapi dia lalu meletakan gitar dan mengambilnya dari tangan Ari.
Dua puluh menit kami sunyi dengan pikiran masing-masing, entah apa yang lain sedang pikirkan, tapi aku sedang memikirkan bagaimana nasib Jena dan Carlo. “Dah,” Didi memecah keheningan. Kami semua melirik ke arah Didi. Dia hanya membalas tatapan penuh curiga kami dengan senyuman.
“Ada apa boi,”
Hahaha
“Mari kita bernyanyi lagi,” kata Didi.
“Sebentar,” kata ku. “Mengapa dia harus membunuh anaknya, bukankah menikah menjadi solusi atas kelahiran anaknya itu?”
“Mereka tak menginginkan kehadiran anak itu boi.”
“Zi,” sapa ku. “Kalau kau jadi Carlo apa yang kau lakukan?”
Azizi kaget, dia seperti baru saja melihat hantu. Dia bicara terbata-bata. Mengeluarkan bunyi ‘e’ yang begitu lama. Dia sedang berpikir keras. Entah kemana pikirannya berlari, paling tidak dia berpikir. Walaupun pada akhirnya dia bisa menjawab tapi butuh waktu yang lama.
Sebelum Didi menjawab. “Aku akan menjawab,” ungkap Azizi. “Aku tidak akan menyentuh wanita boi, lebih baik aku menjadi pria sejati.”
“Nanti kau menyesal boi?”
“Tentu tidak, aku akan menemukan kenikmatannya suatu hari nanti.”
“Mantap boi, malam ini kau bintangnya, nyanyikan boi.”
Malam semalam aku terbaring diam
Melayang dengan tubuh penuh girang
Menatap segerombolan pemain pedang
Yang siap menantang hingga larut malam
Di kota ini kami bernyanyi dengan nada yang lirih, Didi memetik gitar, saat itu kami semua bernyanyi. Tak melihat tempat kami berpacu dalam nada-nada lirih dan mengundang perhatian para pengunjung warung kopi sore itu. Semua mata menuju ke satu arah, dan itu arah kami.
Kau pun hadir bukan, bagaimana dengan lagu yang kami buat? Kau hanya bilang kurang menarik, atau terlalu idealis, entah apalagi kata mu. Dan aku tak percaya itu.
Suatu sore yang lain, saat hujan tak lagi hadir di kota kita. Aku melihat kau datang dengan seorang perempuan, ya itu Lolita yang sering kau ceritakan, pacar kau yang tersayang. Tentu aku tidak lupa kau bertanya pada ku. “Apa buat kau boi?”. Dan yang paling tentu tak ada nafsu untuk ku jawab pertanyaan basa basi itu, aku begitu tertarik dengan perjuangan seorang mingke dalam bumi manusia.
Kau tiba-tiba masuk ke rumah Pak Tam yang notabene masih paman mu itu. Tiga bab kisah mingke bersemayam di kepala ku. Tapi kau tak muncul juga, namun tak lama kau keluar, hanya melihat ku dan masuk lagi. Tatapan mu begitu memuakan membuat ku tak berselera lama-lama di tempat itu, lalu ku ambil motor dan pergi meninggalkan tempat itu, dari jarak yang tak begitu jauh tiba-tiba ku dengar kau bernyanyi. Menyanyikan lagu yang kata mu jelek itu.
Pak Tam adalah solusi bagi kami yang kurang kerjaan. Dia sudah seperti ayah kami, dia seorang petugas di kampus tempat kami kuliah. Biasanya dengan dialah kami mengadu bahwa kami kelaparan. Rumahnya yang tak begitu jauh dari kampus, membuat kami menjadikan rumahnya sebagai tempat ngumpul akhir bulan. Tapi karena rumah Pak Tam telah lama kosong, sebab Dia pergi ke Jawa untuk waktu yang lama, istrinya merajuk dan mengajak pindah, karena tergesa-gesa dia menitipkan kunci dan berpesan pada kami untuk menjaga dan merawat rumah itu.
Sudah barang tentu, kami akan menempatkan rumahnya ramai-ramai. Jadilah kami berenam tinggal di rumah itu. Ramai-ramai tidur bersama menemukan hal yang indah bersama. Setidaknya hidup bersama bisa mengurangi beban, paling tidak, ada tempat meminjam dan makanan yang bisa di makan ramai-ramai ataupun kalau kelaparan, tidak kelaparan sendiri.
Hujan pada bulan-bulan November membuat kami lebih sering dirumah. Dalam hujan yang begitu lebat kami dikejutkan dengan pohon yang tumbang di belakang rumah, petir yang menggelegar telah mematikan listrik. Seketika rumah kami gelap. Dalam ruang yang gelap, tiba-tiba suara terisak tangis seorang perempuan.
Aku terkejut bukan main. Gelap, petir dan pohon tumbang menjadikan suasana malam itu begitu menakutkan. Di depan pintu sambil menggedor-gedor seseorang telah menangis. Siapa yang berani datang dalam suasana yang menakutkan. Kau dan keempat kawan serumah kita tak mendengar atau pura-pura tidak mau tahu. Aku mencoba mengumpulkan orang-orang yang tinggal di rumah Pak Tam, tangisannya pilu, tak kalah pilu dari hujan-hujan November.
Pelan-pelan kami buka pintu itu, mencoba memanggil dan bertanya siapa di depan pintu. Tangisannya makin jadi. Dengan penerangan seadanya kami coba buka, dan kami semua terkejut. Kau dipeluknya. Lolita datang dalam tangis membuat kami bertanya-tanya. Dalam benak kami semua bertanya dengan maksud yang sama : Ada apa?
Kau diam dua ribu bahasa. Wajah mu pucat. Begitu juga Lolita. Setelah Lolita masuk, dan kau ambil handuk serta jaket untuk mengeringkan pakaian Lolita. Setelah Didi dan Ari ambil senter, setelah Azizi dan Sami membawa kopi secerek dan gelas-gelas plastik. Kau baru bercerita bahwa Lolita hamil.
Kami semua tak percaya, bukan tidak percaya karena kau bisa menghamilinya tapi tak percaya kau melakukannya sampai hamil. Dan kau menambah derita perempuan-perempuan yang hamil di luar nikah. Tapi Lolita sedikit beruntung, yah walau ditimpal sial tetap ada untungnya, kau tak seperti Carlo. Tapi orang tua kalian pasti kecewa, dan tentu akan menambah beban mereka.
“Di kota ini, jika industri tidak memperlihatkan kemolekan, tidak mendatangkan para bule yang membawa budayanya. Anak-anak kita akan hidup lebih beradab dari hari ini. Percaya atau tidak, suka atau tidak, budaya kita terkikis dan pelan-pelan akan terkubur di bawah kaki para bule itu,” kata ku coba berpidato di depan Kau dan Lolita yang menunduk pasrah. “Seperti Carlo dan Jena juga kalian ini, mesum.” Tentu sebagai yang di tuakan di rumah itu, tanggung jawab ada pada ku. Tapi soal tanggung jawab ini, tentu kau yang akan melakukannya, dan kau menerimanya.
Di malam yang sunyi. Ketika kami merelakan satu kamar untuk kau dan Lolita tidur bersama. Mungkin untuk sama-sama menguatkan untuk menghadapi hari esok, kami pikir itu bisa meringankan beban kalian. Kami semua coba menghibur diri dan biasanya saat-saat seperti ini, kami akan bernyanyi bersama dalam suatu harmonisasi, dan menyebut kami jalang.
Didi mulai memetik gitarnya, dan Sami mulai dengan nada pembuka, dilanjut puisi dari Ari serta siulan-siulan khas dari Azizi. Dan yang paling seru kami secara keroyokan akan melakuannya saat reff tiba. Disinilah titik temu dari lagu yang kami cipta.
Di atas kasur ku terbaring lemah
Aku singgah di badan tanpa sayang
Menjilat kolang kaling yang terbayang
Hingga pulang badanmu kembung kembang
Dan di kota ini, kami pun akan terus bernyanyi sampai kau tahu bahwa ada manusia yang tega membunuh anaknya, dan yang paling penting kau harus menerima konsokuensi atas apa yang kau lakukan.
Karya : Gusti Eka