Judul buku : Cerpen Jujur : Wabah
Pengarang : Pranoto & Andrean Putra
Penerbit : Berbagai Sumber
Tahun Terbit : 2020
“Anak Mak Tumi adalah korban ketujuh wabah penyakit yang telah terjangkit selama kurang lebih sebulan di desa ini. Korban pertama sampai kelima mati secara mengenaskan tanpa sempat mendapatkan pengobatan dokter. Namun, setelah dokter turun tangan pun korban keenam tetap jatuh. Obat-obat yang ada tak mampu menanggulangi wabah itu.”
Saya menemukan cerpen ini ketika saya melakukan pencarian di Ipusnas, judulnya sangat membuat saya penasaran. Jumlah halaman yang tidak terlalu banyak membuat siapapun tidak merasa lelah untuk membaca kumpulan cerpen karya Pranoto & Andrean Putra ini. Saya tercengang ketika membaca cerpen ini, penggunaan katanya membuat saya banyak berpikir tentang maksud cerita yang disajikan itu, sebagai pembaca kita dibuat berpikir mengenai makna serta maksud dari alur cerita ini.
Ketika saya membaca buku ini saya membuat kesimpulan saya sendiri bahwa cerpen karya Pranoto ini mengambarkan potret kemiskinan dalam masyarakat dan diibaratkan sebagai wabah kita dapat melihat dari cuplikan cerpen ini “satu hal yang pasti ialah bahwa rata-rata penduduk berada dalam kondisi pertahanan tubuh yang sangat lemah. Persediaan makanan menipis. Makanan pokok adalah ubi kering, tak ada makanan yang lain karena musim kemarau yang panjang.”
Baca juga:New Normal: Sebuah Babak Baru Yang Sarat Ketidakpastian
Selanjutnya disambung dengan cerpen karya Andrean Putra, sangat sulit menebak apa maksud dari cerpen karya Andrean ini, di dalam cerpen ini diceritakan bahwa tokoh sujud yang menyampaikan/memberitahukan sebuah kabar yang membuat siapapun yang mendengar omongan sujud menjadi mati. Di akhir cerita pembaca diberitahu mengenai apa yang sujud ingin sampaikan kepada orang lain “Saudara sekalian, dengarkan! Jumat depan, semua pendosa akan mati dengan sangat tersiksa, dan beberapa waktu selanjutnya, waktu akan berhenti dan akhir zaman telah menghampiri. Orang-orang baik yang mendengar kalimat ini akan mati, dan pendosa akan menjadi gila, kecuali saya” dan dalam benaknya sujud bertanya-tanya “Apakah aku salah satu pendosa besar? Hingga aku tak bisa mati seperti mereka? Apakah aku ini gila? Bahkan aku tidak pingsan?”.
Cerpen ini sangat di rekomendasikan bagi siapapun yang menyukai cerita-cerita pendek yang sarat akan makna yang terkandung dalam cerita tersebut, dan juga jumlah halaman nya yang sedikit membuat pembaca tidak akan bosan untuk membaca cerpen ini. Sebagai pembaca kita dibuat untuk berpikir keras mengenai maksud dari cerita tersebut. Mungkin menurut saya penggunaan katanya yang terkesan berat sehingga membuat saya menjadi bingung dengan kalimat-kalimat dari cerpen ini.
Penulis : Yoga Indrawan