Pontianak, ibu kota Kalimantan Barat yang dikenal sebagai kota khatulistiwa dan dilintasi oleh aliran Sungai Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia ini memiliki banyak sekali nilai filosofis yang hidup di setiap sudut kota ini.
Belum lagi terdapat banyak sekali kedai kopi di kota ini, bagaimana tidak, kita akan sangat sering menjumpai warung kopi tradisional, coffe shop dengan design modern dan sebagainya yang pada akhirnya menjadi bagian penting dalam perkembangan kota ini.
Mengenai krisis filsafat, sebenarnya kita (masyarakat Pontianak) tidak benar-benar hidup dalam krisis filosofis atau mungkin krisis atas nilai-nilai hidup yang ada di lingkungan Kota Pontianak. Karena jelas filsafat sangat erat dengan kegiatan berpikir maka mungkin kita tidak benar-benar hidup dalam krisis filosofis yang mendalam, karena kegiatan berpikir tetap ada. Tetapi, bukan krisis Filsafat yang demikian yang menjadi arti “krisis filsafat” dalam bahasan ini, melainkan matinya kegiatan berfilsafat sebagai ilmu kritis.
Kita akan sangat sulit menemukan komunitas-komunitas yang secara terfokus membahas filsafat di Pontianak, atau bahkan mungkin tidak ada. Bukan hendak bersikap superior, penulis menegaskan “krisis filsafat” yang kita hadapi di kota ini menjadi dilema yang harus dihadapi bersama.
Tidak heran memang kenapa kita mungkin ada di situasi yang seperti ini, karena pengenalan kita terhadap filsafat hanya ketika kita ada di bangku kuliah semester awal, itu pun kita hanya kita dapatkan lewat mata kuliah logika atau Filsafat Pendidikan.
Lalu mengapa “krisis filsafat” berkaitan dengan banyaknya warung kopi di Pontianak? Pertama-tama warung kopi adalah wadah yang sangat dekat dengan budaya “nongkrong”, setiap anak muda pasti memiliki cara tersendiri dalam menghabiskan waktu luangnya, dan “nongkrong” di warung kopi menjadi pilihan bagi kebanyakan orang.
Baca Juga: Sang Penyeduh Kopi dan Tawa di Jantung Flamboyan
Budaya “nongkrong” sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu di era Yunani kuno misalnya, tempat-tempat berkumpul yang ada pada masa itu digunakan sebagai wadah orang-orang bertukar pikiran dan gagasan, dan di sana pula lahirlah pemikiran-pemikiran sastra, sosial, ekonomi, politik, ideologi, dan ilmu-ilmu alam. Kelahiran ide-ide pikiran tersebut lahir dalam budaya “nongkrong” para filsuf-filsuf hebat Yunani yang berdebat dan berdialektika demi perkembangan ilmu pengetahuan.
Mungkin kita bergeser pada Voltaire (1641-1778) yang merupakan filsuf berkebangsaan Prancis yang sangat kritis terhadap sistem-sistem politik pada masa itu, sebagai seorang pemikir Voltaire juga merupakan sastrawan dan juga seorang yang aktif menulis, ia mengembangkan kemampuan menulis dan kemampuan berfikirnya di kedai-kedai kopi pada masa itu.
Budaya “nongkrong” di kedai kopi sebenarnya juga merupakan sebuah seni komunikasi untuk perkembangan filsafat atau jika kita meminjam kata Jurgen Habermas (sebagai ahli komunikasi dunia) hal itu menjadi gambaran tentang “komunikasi di ruang publik”.
Filsafat tidak hanya lahir dari perenungan-perenungan, kontemplasi, kesendirian, bahkan keterasingan seseorang, melainkan lebih daripada itu filsafat lahir dari diskusi-diskusi publik, diskursus-diskursus, lingkar studi, dan dialektika pemikiran, yang dikembangkan dalam komunitas filsafat.
Tetapi tidak di Pontianak, kedai-kedai kopi yang seharusnya digerakkan oleh para pemuda, penggiat filsafat, sebagai cikal bakal “filsafat sebagai ilmu kritis” di kota ini malah tertidur nyenyak dan tidak dibangunkan. Kedai-kedai kopi yang seharusnya menjadi ruang untuk kita belajar filsafat dan berkomunikasi di ruang publik demi kemajuan filsafat, sastra, dan semua cabang keilmuan malah di penuhi dengan kepentingan-kepentingan yang jauh dari cita-cita diskursus filsafat yang seharusnya ada.
Padahal ada banyak sekali kegunaan dan manfaat jika kegiatan berfilsafat atau lingkar studi filsafat di kota ini hidup. Kita jelas harus membangun kegiatan membaca, berpikir, menulis, berkomunikasi (berdebat bahkan) mengenai filsafat, menjadikan kegiatan tersebut sebagai lingkaran yang tidak terputus demi kemajuan ilmu pengetahuan dan laku hidup yang lebih baik lagi.
Kontibutor : Bagas A S
Editor : Putri
Referensi:
https://rumahkopiranin.com/filsafat-dalam-secangkir-kopi/
“filosofi gerakan literasi”- Matin Suryajaya. https://youtu.be/Oz-SvbWbRL4.