Merdeka itu bebas, tidak terkekang, entah karena lilitan piutang maupun jajahan Jepang. Menikmati milik sendiri tanpa takut dihasut para pemimpin dengan mulut boroknya, dirampas para cendikia dengan ilmu yang salah digunakan, ataupun petinggi lainnya yang begitu handal membual—membual tentang negara ini yang seolah berdamai. Bukan lagi rasa takut Raja Nusantara dengan tameng bajanya yang kokoh namun gugur dalam ketenangan.
Hanya butuh waktu sepersekian detik saja banyak hal yang sudah terjadi, sel kulitku terus berkembang dalam jangka waktu sependek itu. Mati lalu hidup lagi. Kemana jasadnya kalau tidak masih menempel di sana bersamaan dengan daki hitam dan keringatku. Ini amonia dalam bentuk peluh, baru kuhasilkan karena berlari dengan tombak yang tak seberapa jika dibandingkan dengan kavaleri loreng yang anti baja itu. Padahal terbuat dari baja pula, ini hanya masalah teknologi mereka yang lebih maju.
Malam itu dingin, senja yang lalu lupa kunikmati, sibuk dengan tubuh istriku yang miang karena berkubang di rawa berhari-hari. Berkali ia bilang bahwa tak masalah dengan rawa basah ataupun deruan mesin-mesin kapal yang berpatroli, asal aku masih disini bersama tombakku, menjaganya. Entah keyakinan dari mana yang ia dapatkan walau tanganku turut takut-takut.
Aku bukannya kejam mengajaknya berlari ikut berjuang di medan perang, ini karena desakan komandan yang membuat kami bertemu. Nasib baik bertemu, kalau tidak kemana istriku akan lari jika tidak dijadikan budak beliannya para tentara beringas. Baru sekarang aku bersyukur tak punya anak setelah sekian lama iri dengan karibku yang bahkan sudah beranak tiga, susah payah membuat kami turut menangis tertahan demi menutup mulut-mulut kecil yang menuntut meraung- menangis sekuatnya, meminta bebas dari para genggaman penjajah yang bahkan iba pun enggan sekedar tak mengacau anak-anak karibku.
Kami bukan pribumi, hanya imigran yang turut terkena imbasnya keserakahan VOC kala itu. Kami dari negeri jauh Cina, menetap di sini, di tanah air kaya rempah, membela atas nama Indonesia dengan pemberontakan yang membuat rakyat Cina dipukul mundur dari tengah Batavia. Betawi telah mendarah menjadi daging sejak kapan kenal, menjadi saudara seperjuangan.
Darahku berdesir kembali ketika mendengar titah komandan bahwa tak perlu cemas akan kalah karena para pribumi di sana tau keberadaan kami, mereka akan membantu dari luar, para kawan jauh si jago silat yang sempat dekat walau sebentar. Tapi setidaknya doa pastilah ada. Kerusuhan ini lekaslah berhenti!
Sehari itu penuh dengan tangis, kita semua perlu hiburan. Hentikan saja semua darah yang muncrat habis dari lubang peluru yang lolos hingga ketulang. Anak-anak diam. Diamnya berarti tidur panjang setelah dicucul paksa mulut-mulut manis mereka dengan jamuan penenang, para pria melucuti pakaiannya sendiri untuk melindungi tubuh anak dan istrinya dari dingin yang melanda. Ini adalah hiburan. Tidur dalam tenang beralaskan tanah basah berbau anyir dari mayat yang terus memucat.
Istriku terbangun di tengah malam, merapatkan tubuhnya pada batu-batu yang menjadi sandaran kami. Sayup-sayup kudengar suara tangis yang jelas bukan dari istriku. Komandan masih terjaga, menangis dalam sendunya yang baru pertama kali kulihat.
“Ada apa?” Istriku berbisik lembut menggeser tubuhnya mendekat padaku.
“Ini pertama kalinya dia menangis.”
“Kenapa?” Ucapnya lirih.
“Besok kita akan bebas, makanya dia menangis.” Kutangkap semburat bingung walau kalah dengan bahagianya. “Kau tahu maksudku, Lan? Ini bukanlah hal yang baik.”
“Aku tahu kabarnya, setidaknya kita tak perlu bersembunyi seperti ini. Ya kan?” konyol sekali melihatnya justru tertawa hambar di situasi dimana kami akan mati esok pagi, bergaul bersama mayat lainnya yang sudah mendahului.
“Mereka anjing kelaparan, Lan. Kuberi hari ini waktu kita, mungkin mereka akan meminta hari esok, bahkan merampas hari lusa. Kau tahu, kalau pun kawanku di luar sana lebih cepat datang pun percuma saja jika malah menambah jumlah mayat di daerah kita.”
“Kita merdeka nantinya, pasti. Tak mesti kita yang merasakan. Setidaknya alur sejarah masih membawa nama etnis kita, kerusuhan kemarin akan ditulis mereka, para terpelajar dari kalangan manapun yang turut larut dalam kesedihan.” Aku terhenyak dengan ucapan istriku, sebegitu entengnya-kah pembantaian ini baginya, setelah diperas tuntas demi pajak kemajuan VOC. Tak mengertikah dia bahwa ratusan saudaranya telah mati ditembus apapun yang mereka pegang, rumah dan usaha kami pun ditutup paksa bahkan dibakar dengan indahnya, tak bersisa apapun selain arang kayu dan batu-bata yang selebihnya adalah abu, debu kelabu yang menghitamkan kulitku. Ah! Kurasa ada benarnya dia, bisa apa aku ingin melawan mereka jika kami mengelompok, terpencar di persembunyian masing-masing tanpa bisa terhubung satu sama lain.
“Percuma kau bersedih, Tuan… kau ingin hiburan malam ini?”
Hiburan. Hiburan setelah menang. Hiburan setelah bebas. Hiburan setelah merdeka. Kita semua butuh hiburan, terlalu awal jika menginginkan hiburan jika harapan untuk menang pun hanya seberkas maya saja.
“Apalagi yang bisa kita harapkan? Bukan sekedar hiburan tapi kemerdekaan, Lan”
“Itu dia, kita hanya perlu berkhayal saja… tentang senja, bukankah senja tadi sempat kau tinggalkan, Tuan?” Miris sekali, hiburan kami hanyalah sebuah khayalan. Tapi tak elak juga, istriku turut terpejam. Kau mengkhayalkan apa? Masa nanti ketika kita bertemu nenek moyang? Masa nanti ketika bendera berkibar di ujung tiang? Masa nanti ketika anak cucu kita memimpin bangsa? Ataukah mungkin yang lebih sederhana dari itu… melihat kita tua bersama tanpa keturunan yang tak perlu merasakan penderitaan yang sama? Kalau begitu mengkhayal-lah hingga esok fajar datang.
“Kau mengkhayalkan apa?” Balasnya, seolah bisa membaca pikiranku.
“Tidak banyak. Hanya mengkhayalkan biduan bisa menari lagi.” Istriku terkekeh geli, tak seperti biasanya dia akan merajuk tak memperdulikanku seharian. Jelas saja, besok kami mati… untuk apa bertengkar sekarang. Malam itu jingga dan keribangnya senja memang tak sempat bercampur, tapi dengan adanya malam hitam nan pekat cukuplah dikenang, berganti warna menjadi biru-kelabu tanda fajar akan tiba.
Masih terbuai dalam khayalan, kami siap untuk digiring begitu persembunyian tertangkap basah. Harus kau beri tanda petik disini, bahwasanya aku sangat terkejut. Ahh! Kurasa semuanya juga terkejut. Pagi itu bukan seperti pagi yang dibayangkan, karena beberapa pribumi turut datang pula, kukira mereka cuma mampu mengirim doa yang berani lewat saja, rupanya sosok perkasa pun mereka paketkan untuk turut melawan penjajah.
Istriku terpekik kala itu, Aku salah… pribumi tak benar-benar datang membela, kau lihat! Itu adalah wajah pengkhianatan! Senyum sumringah karibku begitu saja hilang ketika aroma yang lebih busuk dari mayat saudaraku tercium dari mulut-mulut manusia itu. Apa yang merasuki mereka ketika kami telah ikut berjuang bukan atas nama etnis saja, tapi atas nama Indonesia, demi merdeka diawal penjajahan.
Kita butuh hiburan…
Kupejamkan mata menuntut hiburanku sebelum mati. Tak bisa. Kami akan dipancung, bagaimana bisa mengkhayalkan istriku menari lagi diteriknya siang.
Kupaksa berkhayal, berhasil!
Walau bukan molek tubuhnya yang terlintas, tapi masa mendatang. Masa ketika kawula adalah terpelajar dan penuh bius pengkhianatan karena mereka semua sama, menelan darah saudaranya sendiri. Ini terjadi di ratusan tahun ke depan, ketika pencakar langit adalah biasa, ketika mesin adalah hal yang mudah, ketika ekspor-impor marak terjadi tanpa hambatan, nikotin menjadi candu yang luar biasa, dan ketika tiang bendera hanyalah separoh dari tingginya mall tengah kota. Sudah kubilangkan mereka semua sama, baik itu aparat maupun pejabat.
Ditempatku berdiri begitu bising. Kalian bisa melihat berbagai macam baliho atas nama setiap partai dimasa itu. Mereka berkoar dengan tulisan bahwa Indonesia akan adil dan makmur walau korupsi, kolusi, dan nepotisme pun tak luput dari jiwa mereka.
Ada satu hal yang membuatku tertegun ketika radio justru memutarkan lagu kebangsaan, mereka masih tertawa memilih berbagai macam produk dengan uang hasil menipu rakyat. Yang miskin menjadi jelata karena piutang, yang kaya menjadi penguasa karena harta. Bank Swiss penuh didatangi sekedar ingin menitipkan segepok uang hasil curian. Tak ada yang tahu atau mungkin pura-pura tidak tahu ketika mulut aparat pun ada bagiannya. Mereka tak punya malu!
Teriakan dari Wulan menyadarkanku dari hiburan sesaat, kembali lagi ke realita ketika tubuh istriku terkulai tanpa degup jantung yang terasa. Giliranku, kau sudah benar, Wulan… kita harus mati sekarang juga. Bukan berarti bunuh diri. Tapi menyelamatkan diri dari masa mendatang, dari hancurnya negeri, dari inflasi koruptor, dari pejabat hilang tanggung jawab, dari aparat biadab, dan dari penerus tak beradab. Lupakan. Lupakan semua yang lalu, Kita merdeka. Merdeka dalam ketenangan, menjadikan Angke sebuah saksi.
Penulis: Mar’atushsholihah