Apakah anda seorang pegiat atau aktivis yang sering merancang dan menyelenggarakan demonstrasi baik di kota, di kampus, di pabrik maupun di desa? Apakah anda seorang pejuang hak asasi manusia? Apakah anda seorang intelektual yang bernada keras terhadap ‘korupsi’? apakah anda seorang seniman/ budayawan yang sering membongkar ‘kebohongan’? Atau anda adalah orang yang sering berbincang tentang ketidakadilan di tengah masyarakat? Dan atau anda seorang jurnalis yang kritis? atau bahkan anda seorang ustadz, pendeta, pastor, biksu yang selalu memberikan ceramah tentang kedzaliman? Jika anda salah satu dari kategori diatas, maka anda harus berhati-hati dengan upaya pemerintah untuk menegasikan “gempa politik” yang hadir di tengah-tengah masyarakat.
Baca juga: APM Kalbar Dukung Revisi UU KPK
Upaya penegasian “gempa politik” yang dilakukan oleh pemerintah dengan mengatasnamakan “Kepentingan Rakyat dan Investasi” dengan cara melemahkan KPK melalui revisi UU KPK, RKUHP, serta regulasi-regulasi lainnya yang sedang dibahas oleh pemerintah. Regulasi-regulasi tersebut justru hanya akan menguntungkan investor atas lemahnya pemberantasan korupsi hasil revisi UU KPK. RKUHP merupakan malapetaka bagi masyarakat Indonesia, secara khusus bagi kaum perempuan. Penolakan RUU KUHP datang dari berbagai kalangan. Mereka menilai RUU KUHP untuk menggantikan KUHP peninggalan zaman kolonial Hindia Belanda itu ternyata masih banyak mengandung pasal yang multitafsir atau karet. Pembahasan RKUHP dalam beberapa pasalnya dianggap represif dan tidak pro dengan hak asasi manusia. Sebagai contoh, ada pasal-pasal yang dianggap mengekang kebebasan mempertimbangkan dan kebebasan pers. Jika RUU KUHP disahkan, netizen dan perwakilan yang mempertimbangkan beritanya akan menghina presiden atau pemerintah yang akan dipidana. Contoh lain adalah Pasal 432 tentang penggelandangan. Di aturan tersebut, setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang menentukan ketertiban umum dipidana dengan penjara denda paling banyak kategori I.
Baca juga: Secarik Kapasitas Kepribadian Untuk Mahasiswa Bidikmisi
Tentunya dalam setiap kehidupan bernegara akan selalu ditemukan gempa-gempa politik atau Gerakan rakyat dalam menuntut hak politiknya baik dalam skala kecil hingga besar. Gempa politik ini merupakan konsekuensi logis yang akan terjadi sebagai bentuk respon atau tanggapan terhadap kebijakan atau langkah yang diambil oleh pemerintah. Namun pemerintah mencoba menutup mata dan “tidak mau repot” dengan potensi gempa politik yang dimiliki oleh negara ini. Mari kita lihat, faktor-faktor yang mendorong adanya gempa politik dalam konteks kekinian, ketimpangan sosial yang sangat dalam, penegakan hukum berkeadilan yang masih jauh dari impian, rendahnya tingkat kesejahteraan yang diterima oleh buruh dan pekerja atau karyawan rendahan lainnya, bencana asap dan kerusakan lingkungan, semakin maraknya penguasaan sumber daya agraria oleh perusahaan besar milik swasta domestik, luar negeri ataupun milik negara, meningkatnya kebutuhan-kebutuhan hidup seperti sandang pangan papan dan pendidikan serta kesehatan, seringnya konflik horizontal di tengah masyarakat dan masih banyak lagi. Seharusnya dengan adanya faktor-faktor aktual yang dapat memicu gempa politik bukan diselesaikan secara prespektif politik militer yang dimana kebijakan-kebijakan pemerintah akan mencabut hingga akar-akarnya jika gempa politik terjadi. Pengambilan kebijakan dan langkah yang mengedepankan unsur keadilan dan meminimalisir kekerasan yang dilakukan oleh negara seharusnya menjadi pakem oleh pemerintah untuk mewujudkan keamanan nasional yang sesungguhnya.
Gempa politik yang ditandai dengan banyaknya respon masyarakat merupakan wajah kinerja rezim yang tak mampu memberikan dan mewujudkan harapan rakyat. Kondisi ini juga sudah diingatkan oleh Larry Diamond dalam bukunya Developing Democracy : Toward Consolidation bahwasanya kinerja rezim mengharuskan adanya ouput yang positif untuk membangun legitimasi politik atau setidaknya menghindari atau kristalisasi-kristalisasi kekecewaan dan penolakan atas legitimasi yang sedang berlangsung. Menurutnya ada suatu hubungan timbal balik yang erat antara legitimasi dan kinerja rezim. Jika semakin sukses rezim menyediakan dan mewujudkan harapan rakyat, maka legitimasi suatu rezim akan semakin kuat. Selain itu, bentuk-bentuk kekecewaan yang termanifestasi dalam sebuah aksi baik yang damai hingga rusuh sekalipun merupakan satu konstelasi yang menunjukkan adanya budaya politik yang partisipatif baik dari masyarakat maupun aktivis atau aktor intelektual yang terlibat didalamnya. Bagi Almond dan Verba, budaya politik partisipatif sangat dibutuhkan dalam melahirkan kebijakan yang sesuai dengan output yang diharapkan oleh masyarakat. Tentunya, jika rezim hanya memaknai bahwa budaya politik partisipatif hanya sebatas general electoral semata maka legitimasi yang didapatkan hanya semu belaka. Hal ini dikarenakan budaya politik partisipatif haruslah mampu termanifestasikan lewat minat akan mengakses informasi publik/ politik, turut serta dalam pengembangan dan pembangunan opini publik dan berperan aktif dalam tindakan-tindakan yang dapat mempengaruhi pembuatan dan penyelenggaraan kebijakan yang diambil oleh rezim.
Baca juga: Perpeloncoan Dibalik Ospek Kampus
Tidak ketinggalan pula, pembangunan masyarakat yang demokratis haruslah mampu memberikan kepastian terhadap 3 hal utama di dalam kehidupan masyarakat, yakni perlindungan terhadap HAM, kebebasan Pers/ Informasi Publik, dan Penegakan Hukum yang berkeadilan. Tetapi jika kita melihat substansi dari revisi UU KPK dan RKUHP, rezim Joko Widodo memiliki niatan untuk mengkerdilkan atau menghilangkan itu semua. Dari upaya yang dilakukan oleh rezim dalam mengesahkan revisi UU KPK dan RKUHP ini menunjukkan bahwasanya rezim tidak terima dan siap dengan respon yang diberikan oleh masyarakat terkait pembuatan, pelaksanaan hingga output dari kebijakan-kebijakan yang ada. Dengan demikian, kita dapat melihat adanya sebuah upaya yang tersistematis untuk mempertahankan status quo yang dimiliki oleh rezim dengan meminimalisir bahkan menghilangkan potensi-potensi adanya gempa politik di tengah-tengah masyarakat.
Baca juga: Memperjelas Penyebab Ambruknya Gedung Konferensi Untan
Akan tetapi, yang membuat kita bertanya perihal mengapa dan siapa sesungguhnya yang bermain dari kebijakan revisi UU KPK dan RKUHP? Hal ini dikarenakan pemerintah sangat “ngebet” sekali agar kebijakan ini disahkan dan segera dilaksanakan. Jika anda percaya bahwa negara dan bersama pemerintah memiliki kedaulatan dan kemerdekaan penuh tanpa intervensi asing maka kita akan menyimpulkan revisi UU KPK dan RKUHP merupakan murni inisiatif dari pemerintah. Tapi, jika anda percaya bahwa negara dan pemerintah ini tidak memiliki kedaulatan dan kemerdekaan secara penuh yang ditandai adanya intervensi asing atau negara adidaya, maka kita akan menyimpulkan revisi UU KPK dan RKUHP ini merupakan pintu gerbang asing untuk mendominasi dan menghegemoni negeri ini dengan jalur ‘kekerasan’ melalui pemerintah RI.
Penulis : Bara Pratama
Editor : D.A. Fauziah