mimbaruntan.com, Untan – Kekerasan seksual pada dasarnya ialah segala tindakan terkait dengan aktivitas seks yang tak diinginkan, termasuk permintaan untuk melakukan hubungan seks dan perilaku lain yang mengarah kepada seks, sehingga membuat seseorang merasa tersinggung, dipermalukan dan/atau terintimidasi.
Menurut komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Siti Aminah mengatakan bahwa pelecehan seksual merupakan salah satu bentuk dari kekerasan seksual, di mana hal ini terbagi menjadi pelecehan secara fisik dan non fisik. Untuk pelecehan non fisik terbagi lagi menjadi verbal dan nonverbal. Dari macam-macam bentuk pelecehan ini pun tindakannya beragam.
Perempuan yang akrab disapa Ami ini menjelaskan bahwa memegang, menyentuh, dan melakukan kontak tubuh dengan tujuan seksual secara sepihak termasuk ke dalam kategori pelecehan fisik.
Baca juga: Normalisasi Pelecehan Seksual pada Laki-Laki, Berbahayakah?
“Pelecehan seksual fisik itu ketika ada bentuk sentuhan atau kontak tubuh, seperti mencium memeluk, meraba, dan seterusnya,” jelasnya saat diwawancarai melalui ruang virtual Google Meeting pada Selasa, (28/7).
Adapun Ami memaparkan bahwa pelecehan seksual secara non verbal terbagi menjadi beberapa tindakan seperti KBGS (Kekerasan Berbasis Gender Siber) yang mana pelaku melakukan sexting, mengirimkan gambar atau video pornografi, dan berkomentar seksis maupun misoginis.
Lebih jauh, perempuan yang akrab disapa Ami ini menjelaskan bentuk lain dari pelecehan seksual non fisik seperti perbuatan menatap orang lain dari ujung atas hingga ujung bawah atau eye escalator, dikirimkan barang-barang yang sugestif seperti kondom, dildo, dan lain sebagainya juga termasuk ke dalam pelecehan seksual nonverbal.
“Atau bisa juga ketika kamu menolak cinta dari supervisor-mu kemudian kamu akan diturunkan jabatannya, maka itu juga pelecehan seksual,”
Selain bentuk-bentuk kekerasan seksual yang telah disebut di atas, salah satu yang paling sering dianggap remeh oleh masyarakat menurut Ami adalah catcalling yang juga sering disebut street harassment. Catcalling merupakan bentuk ‘komunikasi’ di mana pelaku memberikan ekspresi verbal terhadap korban seperti berkomentar tentang bentuk tubuh, bersiul, atau menyerang atribut seseorang termasuk ke dalam pelecehan seksual.
“Catcalling ini bentuk tidak menghormati korban, akarnya karena memandang korban sebagai objek seksual,” terangnya lagi.
Catcalling sendiri memiliki beragam tipe, Ami menyebutkan dari mulai berkedok siulan, kalimat pujian, menasehati, menggoda hingga membuat keributan.
“Selain bersiul, misalnya dengan kata-kata ‘hei cantik, mau kemana?’, ‘senyum dong, jangan cemberut nanti cantiknya hilang’. Kemudian membuat keributan misalnya klakson, siul-siul, atau berteriak, ini tidak dilakukan sendirian, misalnya naik motor bareng kemudian ada cewek di klaksonin bareng-bareng,” jelas Ami.
Baca juga: Alami Pelecehan Verbal di Lingkungan Untan, Korban : Takut Dibilang Baperan
Ketika korban merasa terusik atau bahkan merasa terancam, pelaku biasanya akan cenderung untuk kembali menyerang korban, Ami juga menyebut hal ini satu dari beragam tipe catcallers.
“Misalnya serangan balik mereka seperti ‘Ge er lu, sok cantik’,” ujarnya.
Kemudian Ami menegaskan bahwa suatu perbuatan yang telah disebutkan sebelumnya dapat dianggap pelecehan ketika tidak adanya consent atau persetujuan dari korban.
“Konsen dan persetujuan itu dari korban, bukan dari pelaku. Pelaku akan ngeles. Jika seseorang merasa terganggu dengan siulan atau sapaan bernada seksual, maka itu pelecehan seksual,” tegas Ami.akan merasa bahwa mereka tidak ada nilainya, merasa takut dan terancam akan ada serangan seksual yang lebih parah, kehilangan kepercayaan diri, atau bahkan membuat korban ketakutan
Di penghujung penjelasannya, Ami menyebutkan dampak yang dialami oleh korban yaitu korban untuk keluar rumah bahkan untuk menggunakan transportasi publik. Hal inilah yang membuat korban terbatasi dan terlanggar Hak Asasi Manusia (HAM)-nya karena rasa takut.
Senada dengan Ami, Nicodemus Nico sebagai Peneliti Sosial pun menjelaskan bahwa suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai pelecehan verbal ketika adanya ketidaknyamanan psikis kepada korban. Namun, melihat kultur masyarakat Indonesia yang sangat man superior dan sering menormalisasikan tindakan tersebut membuat pelecehan verbal sukar untuk dibuktikan .
“Itu jadi blur dan tidak ada hukum yang menyatakan hukuman untuk seseorang yang melakukan pelecehan verbal kecuali saya merasa tidak nyaman, jatuhnya ke hukum perbuatan tidak menyenangkan (asusila),”
Bagi Nico, penting bagi kita untuk mengedukasi diri sendiri untuk mencegah diri sebagai pelaku pelecehan seksual.
Penulis : Mara
Editor : Monica E.