mimbaruntan.com, Untan – Banjir masih melanda wilayah Kabupaten Sintang dan Kabupaten Melawi. Terpantau ketinggian air berkisar 1 hingga 3 meter mengakibatkan terputusnya pasokan listrik dan hilangnya jaringan internet. Akibatnya, perkuliahan daring di masa pandemi Covid-19 tidak bisa diikuti oleh mahasiswa.
Reporter mimbaruntan.com mencoba menghubungi beberapa mahasiswa Universitas Tanjungpura (Untan) yang terdampak banjir di Kabupaten Sintang dan Kabupaten Melawi melalui pesan Whatsapp. Pesan tersebut dikirim pada Minggu (7/11) dan rampung dibalas pada Selasa (9/11) karena jaringan internet di lokasi bencana yang sering hilang dan tidak adanya arus listrik.
Adalah Lidia Anggraeni, mahasiswa Prodi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Untan. Ia menceritakan bahwa banjir yang menggenangi rumahnya sudah setinggi dada orang dewasa, dan air tersebut pun setiap harinya selalu mengalami kenaikan.
“Sampai sekarang lampu belum hidup, benar-benar mati total. Padahal saya bergantung sekali kepada sumber listrik dan Wi-Fi untuk mengikuti perkuliahan. Sebenarnya pun kurang fokus juga berkuliah karena di rumah kita sibuk mengamankan barang karena banjir ini kan,” ceritanya mahasiswa asal Desa Mayam Hilir, Kecamatan Dedai, Kabupaten Sintang ini.
Langkah awal yang Lidia ambil adalah menghubungi dosen terkait untuk meminta izin selama beberapa hari untuk tidak mengikuti perkuliahan daring seperti biasanya.
“Syukurnya dosen paham sama kondisi mahasiswa yang terkena banjir ini, responnya baik. Dosen juga mendoakan semoga kondisi di sini cepat stabil,” jelasnya.
Melalui pesan suara, Lidia menceritakan bahwa hingga saat ini transportasi dan bantuan bahan makanan menjadi fokus utama dirinya yang terdampak banjir. Ia menceritakan bahwa stok beras di rumahnya sudah semakin menipis, begitupun dengan bahan makanan lainnya. Dalam keadaan terdampak banjir, ia mengaku sama sekali belum mendapatkan bantuan transportasi ataupun bahan makanan dari pemerintah. Akibatnya, ia dan keluarga terpaksa mencari sumber makanan dengan menerabas masuk hutan.
“Jujur benar-benar susah sekali. Beras di rumah semakin berkurang, kami hanya mengandalkan sayur-sayuran yang dicari di hutan karena mau belanja ke pasar juga udah pada habis. Semoga pemerintah mendengar ya, soalnya kami belum sama sekali dapat bantuan apa-apa,” harapnya.
Kisah yang sama dialami oleh Nadila, mahasiswa Prodi Pembangunan Sosial FISIP Untan. Nadila mengatakan bahwa bahan makanan yang semakin menipis dan kuota internet yang semakin dicari akibat jaringan yang down membuat lonjakan kenaikan harganya yang tak masuk akal.
“Udah 3 kali ga ngerjain tugas karena jaringan down, udah chat dosen tapi ga dibalas, ternyata masih ada dosen-dosen yang seperti itu saat mahasiswa lagi kesusahan. Kami di sini cuma mau bilang, krisis uang di tengah banjir buat kita ga fokus kuliah apalagi kuota internet 3x lipat naik harganya. Ya pasti uang yang ada akan lari untuk menuhin kebutuhan pokok dulu,” kisahnya.
Angel Malau, mahasiswa Prodi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik (FT) Untan, ia menceritakan bahwa pada 2 November 2021 lalu menjadi hari puncak di mana air mulai memasuki kediaman masyarakat sehingga mengakibatkan aktivitas perkuliahan pun terganggu.
“Puncak ketinggian air ini menyebabkan gardu sempat tenggelam dan terjadi pemadaman listrik, hal tersebut pun mengakibatkan proses perkuliahan terhambat karena jaringan yang hilang. Kemudian, bukan hanya tugas yang kurang maksimal, tapi juga pengisian presensi saya yang sering tidak tepat waktu,” kisah mahasiswa asal Desa Paal, Kecamatan Nanga Pinoh, Kabupaten Melawi.
Angel mengatakan dirinya selalu mencoba menghubungi pihak dosen dan teman sekelasnya untuk meminta toleransi mengenai hilangnya arus listrik dan jaringan yang kerap kali hilang datang.
“Ada beberapa tugas yang seharusnya dilakukan secara berkelompok, namun tidak bisa terlaksana dengan maksimal karena akses jalan yang tidak memungkinkan. Banyak juga materi yang disampaikan oleh dosen tidak begitu bisa dipahami dengan maksimal karena suaranya putus-putus. Untungnya teman-teman dan dosen mentoleransi,” jelasnya.
Adapun Septian, mahasiswa Prodi Kehutanan, Fakultas Kehutanan (Fahutan) Untan asal Kecamatan Sintang, Kabupaten Sintang. Ia menjelaskan bahwa pada 7 November 2021 tinggi muka air mengalami kenaikan yang berdampak kepada 12 Kecamatan lainnya memasuki status tanggap darurat.
Lebih lanjut, ia menceritakan bahwa banjir kali ini merupakan banjir yang parah sejak tahun 1963 lalu. Tak hanya itu, Septian mengaku bahwa selain memikirkan kelancaran perkuliahan daring, ia juga mengkhawatirkan stok bahan makanan yang mulai menipis karena akses pergi ke pasar tergenang air.
“Stok bahan makanan semakin hari semakin menipis, akses terputus, dan hingga Minggu (7/11) ini pun kami yang terdampak banjir belum juga mendapatkan bantuan dari pemerintah,” tutupnya.
Penulis: Ilham Dwi Wijaya, Baladan Hadza Firosya, dan Hilda Putri Ghaisani
Editor : Antonia Sentia