Hari itu jika aku tak memedulikan betapa bodohnya dirimu melihat sebuah pohon tumbang. Seharusnya begitu saja kubiarkan kau tenggelam dalam rasa takjubmu. Tololnya aku di rumah mengkhawatirkan kau tertimpa dahan atau bagaimana. Hari itu aku menertawakan peluh keringat yang deras mengalir dalam diriku, pula dalam hatiku. Seandainya tak ada rasa cemas, mungkin kubiarkan saja kau mati, pemakamanmu dibantu yang lain. Atau itu adalah petak tanah pertama untuk kuburanku sendiri?
Selanjutnya, pembiaran keduaku adalah mengorek-ngorek bagian dalam rumahmu yang seharusnya tak boleh kusentuh. Kau padahal sudah bilang itu, tapi sepertinya kau terjebak di antara keharusan dan keengganan. Maaf aku selalu saja begini, berusaha mengikat diriku dengan ceritamu. Padahal mungkin kau risih. Sebenarnya aku juga. Mungkin hari itu tak hanya kau yang terpaksa, mungkin aku juga.
Sebenarnya aku lelah mesti menulis ini, aku penuh keengganan, sebab setelah ini terbaca oleh dirimu, hari itu juga aku selesai. Sepertinya aku memang tidak boleh melewati garis-garis merah, kuning atau biru yang ada pada dirimu. Ia mengalahkan terangnya warna garis pembatas milik aparat. Bukankah, gila jika aku melewatinya? kau pasti setuju.
Baca Juga: Pengantar Tidur Panjang, Kepergian Ayah
Aku kelaparan, selalu. Aku curiga ada binatang jalang melekat dalam tubuhku. Ia selalu menyala, khusus untukmu. Kamu boleh geli mendengarnya, atau membacanya? karena daripada itu, bukankah lebih baik membunuh binatang-binatang berdosa ini? kuulangi, kau pasti setuju.
Pembiaran selanjutnya adalah puncaknya. Aku selalu mengiyakan titahmu. Aku seperti tim pemenangan yang tak membolehkan satu pun kampret menyakitimu. Ish, bodoh, ‘kan, aku? aku tahu. Kalau boleh kusarankan padamu, fokus saja pada lembaran ujian akhir-mu itu. Jangan seperti si gondrong dari tanah seberang yang sibuk berkampanye ria.
Katanya kau paling suka bulan Desember, ah masa iya? aku sempat tak percaya, setidaknya sampai kulihat kau berdiri dengan payung hitam yang kau pakai di kamis penghujung tahun. Sampai nanti, ketika basahnya ubin-ubin berlogo pemerintahan itu mulai pudar. Sampai itu pula aku percaya bahwa kau suka bulan Desember, maksudku hujannya.
Aku membunuh banyak waktu menyelesaikan tulisan ini. Belum lagi ketika harus kukirim pada redaktur. Semoga ia tak tertawa. Kurasa, sih, dia menyumpahiku dalam hati sambil mengulum senyum. Semoga dia tak pernah tahu -siapa kau yang kutulis- dalam ceramah ini.
Baca Juga: Selamatkan Rimba Terakhir dan Wilayah Kelola Rakyat (Press Release)
Paragraf terakhir dalam tulisan ini, dalam kantukku yang tak bisa (mau) ku tahan lagi. Aku tak membawamu pulang, kutinggalkan engkau di sana bersama pengalaman yang kau titipkan pada memori otak udangku. Tapi, kalau yang satu ini akan kurampas tanpa izinmu, sekalipun tak kau perbolehkan. Aku mau membawa cita-citamu di tanah kesayanganku nanti. Sebuah rumah penuh buku dan tawa anak-anak rebutan bacaan di dalamnya.
Aku inginnya dua lantai, agar ketika lelah aku bisa ketiduran di lantai atas. Tak perlu muluk-muluk membahas pergerakan, sih. Celoteh riang anak-anak sudah cukup. Mungkin perlahan, harap-harap idealisme dari anak muda, untaian nasehat para orang tua dan atau gibahan ibu-ibu kelak bisa memenuhi rumah itu. Semoga saja.
Aku, izin mencuri mimpimu yang satu itu, ya. Kalau kau sempat kapan-kapan main saja. Sampai jumpa.
ditulis dengan segenap akal bingal,
Kota P, 19/1, Pukul 2.04 malam(subuh).
Penulis: Himalaya.