Hujan mengguyur bumi.
“Apa yang kau lihat?”
Aku menoleh. Suara itu lagi.
“Hanya hujan,” jawabku singkat, lantas menarik gorden menutupi pemandangan di luar.
Dia mengerutkan dahi. “Memangnya semenarik itukah hujan?”
Aku mengedikkan bahu, “Terserah, menurutmu?”
Kilat menyambar, menimbulkan cahaya putih menyilaukan. Sekejap kulihat seringai di wajahnya, beberapa detik, lalu kembali gelap. Dia beranjak dari tempatnya dan duduk di kursi yang berada di sudut ruangan. Itu tempat yang tak bisa ditembus cahaya.
“Aku punya cerita di kala hujan,” ujarnya lambat-lambat. Aku menyimak, memperhatikannya, dan dia melanjutkan. “Saat itu hari mendung, awan hitam menggumpal, petir seperti alunan melodi, dan angin sebagai alat musiknya. Hari itu benar-benar hari yang buruk. Tapi aku harus keluar karena orangtuaku sedang bertengkar. Aku membencinya, kau tahu? Telingamu terasa panas dan sakitnya mengalahkan bunyi guntur. Maka kupikir, lebih baik aku mendengar bunyi ‘guntur’ yang asli dan mendinginkan kepalaku di luar.”
Kilat lagi. Dia menghentikan ceritanya sejenak dan menunggu petir lewat. Sementara itu aku menyiapkan teh seraya menyalakan radio. Tak ada sinyal, hanya desiran saja. Yah, bisa ditebak jika cuaca buruk seperti ini semua antena pemancar mungkin tersambar petir.
“Kau mendengarkanku?” aku mengangguk sambil mengaduk teh. “Nah, akhirnya setelah aku berada di luar, aku sadar tak ada seorang pun kecuali di dalam kafe. Namun kalau aku masuk ke dalam sana, aku tak membawa uang untuk membeli apa pun. Sayangnya, tanpa sadar aku masuk ke sana dan tebak? Aku pesan teh panas. Jadi saat itu aku bingung, harus kubayar dengan apa air yang sudah kuminum ini?”
Kusuguhkan teh itu di hadapannya dan dia mengambilnya. Dia menyesapnya pelan-pelan lalu tersenyum memandang cangkir itu, seolah mengingatkannya akan sesuatu. Aku masih mengawasinya meski tak memandangnya. Bagiku, dia tetaplah dia. Ada kalanya kalian tidak pernah tahu siapa yang berada di depan kalian meskipun kalian mengenalinya.
“Jadi, saat itu aku langsung lari keluar,” dia meneruskan dengan tenang. “Nah, aku tidak tahu bahwa di hari hujan berbadai itu, ternyata masih ada kendaraan yang lewat. Dan kau tahu, kejadiannya begitu saja, sekejap saja, bahkan hanya beberapa detik.”
Aku manggut-manggut. “Seharusnya kau tidak perlu kabur.”
Dia menggeleng, “Tidak, pilihanku benar. Kalau aku tidak lari saat itu, mungkin sekarang aku masih berada di rumah yang berisik itu. Lagipula, aku jadi bisa menikmati teh gratis setiap hari di kafemu, kan?”
Kilat. Petir. Kurasakan matanya memandang lurus padaku. Ada secercah sinar di sana.
“Aku boleh tinggal di sini, kan?”
Kutaruh cangkirku di atas meja dan berdiri. Seseorang masuk dan memesan mocca, lalu memandang sebuah kursi yang bergerak di sudut ruangan. Namun ia segera mengalihkan pandangannya pada koran di meja.
“Nona, benarkah di luar sini tempat kejadiannya?” tanya pembeli itu padaku.
Aku menyahut sambil lalu, “tempat kejadian apa?”
“Ini, seperti yang tertera di koran. Anak yang tewas tertabrak mobil di depan kafemu ini. Benar, bukan?” dia menunjukkan artikel koran itu, dan aku mengangguk.
Diam-diam aku mengerling ke kursi di sudut. Dia tidak lagi berada di sana.
“Apakah Anda menyukai hujan?” tanyaku kepada si pembeli.
Pembeli itu mengangguk, “Begitulah. Ngomong-ngomong, aku punya cerita di kala hujan.”
*Luffy
31 Desember 2014
Pontianak