Aku paham bahwa bait-bait kisahku tak akan semenarik milik orang lain. Aku tentu juga sadar bila jalinan cerita ini tak menggugah simpati siapapun. Tapi, kepada dinginnya pagi yang aku temui di setiap waktu, aku ingin bercerita. Tak banyak yang bisa dijelaskan, sebab terkadang kata-kataku hilang ditelan kebungkaman. Keberanian yang aku pupuk sedikit demi sedikit kini jadi saksi, bahwa aku ingin terus merangkak walau kau pasung tubuhku di kiri dan kanan. Suaraku mungkin tertahan akibat kesopanan, keinginanku mungkin terpendam dengan alasan pengorbanan, dan tubuhku mungkin juga terabaikan sebab aku sibuk memelihara kemakmuran orang lain.
Pinggangku terasa remuk, dadaku terasa sesak dan tanganku jelas-jelas kasar. Tak sama dengan anak dara lainnya yang mungkin tengah bermandikan berlian dan madu buatan. Dihadapanku adalah pemandangan cucian yang bertumpuk, kotoran baju yang menggunung, bahan makanan mentah yang masih utuh serta halaman rumah penuh debu. Satu persatu, dengan nyawaku yang belum utuh di pagi hari, aku bergegas, memunguti tugas-tugas sialan yang tak pernah berakhir. Jangan katakan aku tidak ikhlas, sebab aku sungguh akan melemparkanmu dengan sandal. Jangan pula katakan aku tidak beradab, sebab kalau itu benar kau tidak akan bisa makan dengan tenang. Untung saja, kecanggihan di masa ini tak perlu menuntut aku mengambil air dari sumur seperti kebanyakan wanita di masa lalu.
Kutanya pada diriku, apakah aku boleh marah atas semua ini? Aku sungguh ingin tahu apakah aku memang ditakdirkan hanya berurusan dengan pekerjaan rumah tangga. Hei, ayolah! Aku masih remaja sembilan belas tahun. Orang-orang berpakaian rapi diluar sana mengatakan bahwa “pemuda adalah harapan bangsa, mereka harus punya cita-cita!”. Setelah kurenungi, bukankah aku salah satu bagian dari mereka?
Mungkin saja, jika aku menggaungkan mimpi kecil dalam sanubari ini, manusia diluar sana akan menertawaiku atau paling parahnya melemparkan hinaan jangan bermimpi terlalu tinggi, kalau jatuh sakit. Sialnya lagi, kalimat jahat seperti ini aku dengar dari lisan orang-orang terdekatku. Sebenarnya tidak apa-apa, sebab aku yang keras kepala ini akan selalu berusaha memcahkan cangkang yang menutupi mimpiku. Bahkan disela-sela piring kotor yang tengah kusabuni, aku memikirkan ide-ide mustahil yang mungkin tak akan dibayangkan lahir dari remaja yang selalu bergumul dengan asap dapur. Tapi, bukankah mimpi-mimpi itu tak mengenal batasan tempat dan waktu? Tentu saja, pikirku dalam otak congkakku.
Namun terkadang, hal yang lebih mengesalkan untukku, adalah tentang betapa aku sadar bahwa mimpi-mimpiku tak akan kuraih lewat dapur kecil ini. Aku butuh ruang yang lebih besar. Bukan tempat sekedar mengolah bahan pangan yang kemudian akan kembali lagi ke tempat pembuangan. Bukannya aku tak pernah menyuarakan kehendakku, hanya saja, selalu ada batasan tak kasat mata yang mengekangku. Seolah tak memberikan aku waktu barang sedetikpun untuk berrnafas.
“Anak perempuan seharusnya dirumah saja, mengurusi dapur dan merawat diri.”
Walau kalimat itu diucapkan oleh Ibuku bagai mantra setiap harinya, otakku tetap saja keras kepala dan menolak untuk percaya. Aku sungguh tidak apa-apa apabila mantra dari Ibu adalah keyakinan yang diimaninya selama masa kecil hingga ia dewasa. Tapi sesungguhnya, egoku menolak ikut mempercayai mantranya. Aku, tidak lagi hidup pada zaman dimana Ibu lahir dan tumbuh besar. Persetan pada kodrat wanita yang selalu mereka gaungkan, “dapur, sumur dan kasur”. Sebab aku tak lagi hidup pada zaman nenek moyangku, maka aku tidak akan mempercayai hal yang sama.
Katakan saja aku adalah manusia paling ribet, paling banyak mau dan paling tidak tahu diri. Sebab akan kupaparkan alasanku, aku punya mimpi, punya potensi dan punya kemauan untuk menggapainya walau aku diteror oleh mitos-mitos keterbatasan. Jangan harap aku dan perempuan lain di luar sana akan diam saja, sebab kami selalu dituntun punya peran ganda. Selalu ditanya, “ingin menjadi wanita karir atau ibu yang baik?” Geram sekali diriku mendengar pertanyaan semacam ini. Mengapa hanya karena aku perempuan, aku harus mengalami banyak tuntutan serta tugas-tugas yang tak pernah ada akhirnya? Jawabannya, pintu dapur rumahku hanya harus kurobohkan, lembutnya kasurku harus kutinggalkan.
Suatu hari ketika terbersit dalam pikiranku untuk melanjutkan pendidikan, keluarga menjadi penolak nomor satu. Berpendapat bahwa lebih baik aku mencari kerja, mengurus ibu dan ayah serta mempersiapkan diri untuk menikah. Sialan! Apakah diriku hanya dihargai sebatas itu saja? Padahal aku adalah ciptaan Tuhan dengan jiwa yang merdeka, berbekalkan hak asasi yang pendidikan juga termasuk di dalamnya. Jikalaupun Ibu dan Ayah menganggapku sebagai investasi di masa tua mereka, bukankah mereka harus menanamkan modal yang juga tidak sedikit? Setidaknya buatlah investasi yang baik dan benar, wahai orang tua!
Orang tuaku akan selalu mnegernyitkan dahi dengan segala kemauan yang aku utarakan. Selalu menggelengkan kepala terheran-heran sebab darimana aku memikirkan hal-hal tak masuk akal yang belum pernah didengar mereka. Lalu kujawab, “Yah, Bu, aku ini anak kalian. Aku lahir dan tumbuh di lingkungan yang kalian ciptakan, dengan didikan yang kalian ajarkan. Tapi aku bukan kanvas putih yang bisa kalian warnai sesuka hati, disini aku adalah pelukisnya.”
Aku tidak pernah baik-baik saja dengan keadaan penuh kekangan yang aku hadapi. Aku juga tidak akan diam saja dengan segala hambatan yang seolah dilemparkan dengan sengaja. Aku, tidak mau menyerah dengan mudah. Aku tidak mau menjadi seperti dipan berkarat yang ditinggalkan bertahun-tahun di pojok Gudang rumahku. Aku tidak mau hidup layaknya dipan yang hanya berada di bawah kasur, mendekam di dalam kamar dan diganti setelah ia usang.
Aku, adalah wanita yang juga ingin berwawasan luas, berkehidupan layak dengan atau tanpa penyangga.
Aku, bukan dipan berkarat yang hanya diam saja ketika aku diperlakukan bagai habis manis sepah dibuang.