mimbaruntan.com, Untan – Satu dekade lalu, melihat Jokowi di tv seperti melihat bapak saya sendiri. Kerempeng, manut, dan kalem. Kerja dibawah terik, di selokan, di pasar atau di tepi jalan. Asal itu pekerjaan, semuanya disikat. Banyak gerak dibanding ngomongnya, walau tak lepas dari cemooh. Namun seiring berumur dan belajar, tak bijak rasanya membayangkan Jokowi seperti bapak, atau bapak seperti Jokowi. Amit-amit. Bapak bukan Jokowi. Dan saya bukan seperti Gibran, hehe.
Mari bernostalgia. Dulu ya, ngeliat Jokowi itu seperti tetangga saya; sama rata dan seperjuangan. Sama kerja kerasnya, sama ngeluhnya, sama belum mampunya. Sebagai anak yang melihat Jokowi di layar tv sambil main lompat tali, saya merasa presiden waktu itu mirip susahnya dengan bapak saya. Mungkin pembawaan mimik muka. Walau orang tua saya mengunggulkan rival Jokowi (Prabowo), tapi saya yang dulu mikir kalo presiden itu mesti sama susahnya dengan saya dan tetangga, fine-fine aja Jokowi terpilih lagi.
Baca juga: Minimnya Keterlibatan Perempuan Pengelola Sumber Daya Alam
Saya percaya roda itu berputar. Sekarang Jokowi beda banget cuy. Lebih kaya dan besar. Kaya akal buayanya. Besar duitnya. Saya tak bisa membayangkan menjadi anaknya, Jokowi benar-benar menyiapkan segalanya untuk masa depan keturunan. Apa hal yang paling besar diberikan bapakmu? Apa pelajaran yang amat bermakna dari bapakmu? Sebut saja semuanya, bapak kalian tak mampu mengimbangi Godfather-nya Gibran. Orangtua yang diidamkan tiap anak. Kasih ibu memang sepanjang masa, namun kasih bapak seluas nusantara.
Saya tak bilang Jokowi telah memberikan negara ke tangan Gibran (walau saya tak terlalu meyakini negara). Jokowi telah memberikan seorang Jenderal kepada anaknya. Musuh 10 tahun, perwira pula, mampu dirangkul mesra Jokowi yang katanya pembela wong kecil masa itu. Sekali lagi, melihat Jokowi sekarang adalah belajar bahwa musuh abadi itu omong kosong. Mirip dengan ajaran para yang tua kepada saya; musuhan tak boleh berlama-lama, nanti sholatnya tak diterima selama 40 hari.
Apalah Prabowo tanpa Jokowi. Dulu kita boleh melihat Prabowo yang besar dan Jokowi yang mini. seperti apa ya, umpamakanlah sendiri. Tidak boleh lagi kita melihat Jokowi dengan perumpaan itu. Haram. Hoax. Katro. Sebelum Prabowo tenar gara-gara memelihara kucing, Jokowi sudah memelihara hutan dalam sakunya! Ya wajar aja sih, pemimpin tak boleh selalu miskin. Saya salut dengan duo kucing dan tikus ini; tertib antri. Lihatlah sekarang, Jokowi mempersilahkan Prabowo masuk menemani Gibran ke surgawi. Sementara dia sudah masuk duluan, untuk memperhias Indonesia yang ciamik sesuai selera. Gibran dan Prabowo tinggal melanjutkan saja.
Saya tak menyangkal kalo ada yang bilang Jokowi nyawer ke Prabowo-Gibran saat pemilihan. Memang betul. Apa salahnya bapak kasi bantuan ke anak dan partner kerjanya? Suara rakyat penting, tapi jangan lupa, yang paling penting adalah suara Jokowi. Titah bapak loh itu, mau tak mau mesti Gibran patuhi. Dan selalu ingat, siapa yang paling kuat? Ya tangannya Prabowo, secara dia itu bekas Tim Mawar. Aneh jika Tim Mawar tak kuat, pasti kuatlah. Kuat untuk pertahanan, kerusuhan, penculikan dan keamanan negara.
Baca juga: Gerak Gerik Pustaka dan Tantangan Eksistensi Toko Buku Menara
Ingatan ini masih tercatat di kepala. Fyi, saya bukan peneliti, saya hanya pembaca. Saya membaca Prabowo di gawai, di buku sejarah, di tulisan korban ’98, di mulut beberapa kawan, juga di televisi (walau sedikit). Nadanya hampir sama. Nada sumbang yang tak berpihak pada prabowo dan militerismenya. Lain lagi waktu debat capres kemarin. Prabowo serupa kakek yang mengayomi. Terkesan mendamaikan dan tidak memecah-belah. Berapa banyak kita mendengar ‘persatuan’ dimulut Prabowo pada debat itu? Dia tidak capek-capek adu argumen, cukup bilang setuju dan minta maaf. Memang ciri-ciri orangtua sih, pengalah dan tidak banyak mulut. Cuma kebanyakan joget.
Dulu, mungkin, Prabowo memang perusuh. Penyerang. Penculik. Terserahla sebutannya bagaimana, toh masa lalu tak perlu ditengok. Saya rasa pun memang tak perlu jauh membahas sejarah, salah satu pemilih terbanyak gen-z kok. Jangan marah dulu ya, gen-z. Jangan menyangkal juga, kalian senangnya instan dan mudah. Mengapa mesti belajar masa silam sementara bisa nonton debat capres 1-2 menit di Tiktok? Mari meringankan kepala sedikit, kita sudah terlalu banyak beban.
Tetapi Prabowo (sudah) tidak segarang itu kok. Tidak seseram itu ketika melihat kartun AI-nya yang gemoy. Menteri Pertahanan yang pipinya merah itu bersanding dengan Gibran. Imut dan menyenangkan. Politik Prabowo itu menghibur. Itu yang kita perlukan ditengah suhu bumi yang semakin panas, juga yang membuat saya salut dengan kakek ini.
Pasal Gibran, cukup saya merasa iri saja dengan dia; punya bapak kelewat beruntung. Punya mukjizat mengalahkan nabi urban. Seorang jenderal adalah hadiah manis untuk anak yang belum genap 30. Nanti sajalah saya menceritakan keirian hati ini. Saya mau berandai saja. Jika Gibran dikesampingkan, jika Jokowi dan Prabowo berpasangan, mau jadi apa tulisan saya menakjubkan mereka? Saya mau nonton tv lagi.
Penulis: Putri Permatasari