Datang tak dijemput pulang tak diantar. Settingan mantra pada film bergenre horror itu siapa yang tidak faham. Begitu iconik didengar dan dibaca oleh hampir semua kalangan. Tak heran memang, film layar lebar yang sempat dibuat serial harian ini memang menyita banyak perhatian oleh masyarakat Indonesia waktu itu, dan mungkin sampai sekarang kalau saja film itu kembali diputar di layar kaca. Sayangnya, film berjudul sama yang terbaru hanya tampil di layar lebar, Mahasiswa yang tak begitu borjuis ini harus berfikir enam bahkan delapan kali untuk menontonnya.
Tapi bukan film itu yang ingin saya sampaikan, ada yang lebih penting.
Alkisah, di sebuah Universitas yang katanya terbaik di suatu pulau besar di Indonesia, tengah terjadi gonjang-ganjing seperti ada keributan, atau konflik di pemilihan Presiden Mahasiswa. Lucu memang, rasanya eksklusif betul jabatan seorang Presiden Mahasiswa se Universitas sehingga terjadi perebutan konflik yang berbuntut pihak berwajib (Rektorat) campur tangan.
Demokrasi yang harusnya dijalankan oleh orang-orang yang notabene katanya lebih intelek dari mayoritas masyarakat di Indonesia eh malah semacam tak bisa menggunakan akal sehatnya untuk berembuk dengan kepala dingin, maunya panas saja, nampaknya sudah bermental “Ketua” (versi Mojok.co) mahasiswa-mahasiswa disini. Tapi saya ingatkan sekali lagi, ini juga bukan tentang konflik di pemilihan Presiden Mahasiswa di sebuah Universitas.
Selanjutnya, setelah terjadi konflik berkepanjangan, serta tak becusnya kinerja selama setahun lebih 1 bulan, dan Pemilhan Raya Mahasiswa (Pemirama) belum juga terlaksana, dipanggil lah petinggi kampus Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) dari setiap fakultas ke ruang kerja Wakil Rektor yang bertanggung jawab pada tindak tanduk mahasiswa, kenapa bertanggung jawab? Karena memang bukan dia masalahnya.
Ketika diundang, teman saya itu yang sesama sebagai jurnalis kampus juga ikut datang, meski memang dia datang tidak berbarengan dengan rombongan para priyayi di kampus. Hingga, dia ini memutuskan untuk langsung saja mencoba masuk ke ruangan tersebut.
Seperti dugaannya, seorang staf di ruangan tersebut menanyainya dari mana. Spontan, teman saya ini menjawab jika ia berasal dari lembaga pers kampus. Kemudian, seorang staf WR tersebut menjawab, “Kalian ini tidak diundang!” dengan nada naiknya dia mengucapkan perkataan itu.
Teman saya ini memang masih anggota baru di lembaga pers tersebut, dengan tanpa ada sanggahan darinya, pulanglah dia ke sekretariat dan mengadukan hal itu. Begitu ceritanya, selesai? Belum, ini baru mulai.
Tak salah memang staf (yang kurang pengetahuan itu tapi nggak tau kenapa bisa jadi staf seorang wakil rektor) tersebut. Ya karna memang di undangan yang disampaikan kepada setiap petinggi di kampus tidak ada yang mengarah ke pers kampus. Kami tak diajak masuk ke dalam diskusi itu. Tentu tak salah, tapi kalau lebih dalam lagi memaknai, undangan tersebut, juga tidak bisa menolak siapa pun yang ingin ikut mengerti tentang keadaan di kampus itu. Karna dalam undangan tidak dijelaskan bahwa yang tidak diundang dan tidak mendapatkan undangan tidak boleh hadir ke dalam diskusi atau konsolidasi Wakil Rektor kepada para priyayi di kampus.
Secara keredaksian, staf tersebut tidak bisa ya, ingat.
Point ke dua. Kampus adalah lembaga publik. Harusnya kalau mengerti apa makna dari lembaga publik (harusnya Wakil Rektor (serta jajarannya) mengerti, dan Wakil Rektor tersebut saya yakin mengerti maknanya, tapi saya menyangsikan pemahaman staf yang menolak tersebut karna tindakannya), saya tak perlu lagi menjelaskan hal ini. Tapi, siapa tau ada orang yang masih belum tau, maka saya sampaikan.
Secara harfiah, menurut KBBI V 0.1.5 Beta (15) yang diterbitkan tahun 2016 oleh badan pengembangan dan pembinaan bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, kata “Lembaga” bermakna suatu badan yang tujuannya melakukan suatu penyelidikan keilmuan atau badan usaha. Sementara kata “publik” adalah semua orang yang datang (menonton, mengunjungi dan sebagainya). Sehingga, kira-kira jika ke dua kata itu disambungkan memiliki makna sebuah badan yang dapat diakses oleh orang umum (publik). Sehingga, sah sah saja banyak orang datang, ingin mengetahui permasalahanya.
Dan itu sah sah saja, ingat. Pihak karyawan atau pekerja di lembaga publik itu tidak boleh melarang tanpa dasar yang kuat dan dibenarkan.
Poin ketiga, sebenarnya ada banyak poin, namun akan saya akhiri di poin ini. Seorang jurnalis, entah itu jurnalis media arus utama maupun pers Mahasiswa memiliki hak yang sama, yaitu hak dalam mendapatkan informasi. Pasal 4 UU dalam Undang-undang No 40/ 1999 tentang Pers menegaskan:
Pertama, Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi manusia. Kedua, terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Ketiga, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Saya rasa tak perlu lah saya jelaskan lagi, anda cukup pintar untuk faham kalimat itu.
Pemimpin yang tak bisa dikritik boleh saja masuk tong sampah, pemimpin bukan dewa (kecuali thor dan odin) yang selalu benar dan jurnalis kampus bukan mainan.
Oleh : Iki
Mahasiswa Semester 5 Universitas Tanjungpura