Musim dingin telah tiba, menyelimuti kota Tokyo, Jepang. Sosok pria menghampiriku saat kuberjalan dari stasiun menuju apartemen, aku tersentak dan melangkah mundur. Kubuang jauh-jauh dengan memikirkan hal lain. Damn!!! Sosok pria tersebut mencengkeramku. Kuterbangun dari mimpi anehku kemudian mendesah sambil melirik kearah jam “Oh dear” aku kesiangan. Segera kuberanjak dari tempat tidurku, aku adalah gadis berusia 17 tahun yang saat ini berstatus sebagai “mahasiswi” di Kyoto University. Shina Mashiro adalah namaku, aku adalah anak tunggal. Kedua orangtuaku telah pindah dan memilih menetap di Paris.
Sebulan sejak kepindahan orangtuaku, hari-hari berjalan dengan baik. Impianku dan keinginan orangtuaku sangat bertolak belakang, Aku yang selalu bersikeras menjadi seorang pianis, berbeda dengan orangtuaku yang kelak ingin menjadikanku seorang fotografer. Demi orangtuaku aku pun perlahan-lahan mencoba melupakan impianku. Walau impian yang kuimpikan tidak benar-benar menghilang dihidupku. Tanpa sepengetahuan orang tuaku, terkadang aku masih mengikuti sebuah kontes musik di kampusku dan bekerja separuh waktu disebuah café dengan bermain piano. Tentunya untuk membiayai kuliahku sendiri.
Baca Juga: Jelita Gila
Suatu hari ketika aku hendak pulang dari kampus, aku terburu-buru hingga aku pun menabrak seseorang. Tiada hal lain yang dapat kuucapkan selain berkata “Gomenasai, hountoni gomenasai”. Kamu baik-baik saja? Kata pria tersebut. Aku terkejut mendengarnya. Hal yang membuatku terkejut itu pria tersebut bahkan tidak memarahiku sedikit pun dan pria itu berasal dari Indonesia. “Oh, aku baik-baik saja”, responku. Aku memang bukan orang Indonesia tetapi ibuku berasal dari Indonesia dan ayahku berasal dari Jepang, Itulah yang membuatku bisa berbahasa Indonesia maupun Jepang. Kejadian itu pun membuat kami saling mengenal satu sama lain.
Seminggu kemudian, aku merasakan pria tersebut telah membuat hidupku lebih berwarna dari hari biasanya. Pria tersebut bernama Albert Adrian, ia seorang gitaris berusia 19 tahun. Dua tahun lebih tua dariku tetapi tidak memungkiri kami dalam berteman. Kami memilki impian yang sama sebagai pemusik, itu sebabnya kami bisa sedekat dan seakrab yang dipikiran orang-orang di sekitar kami. Aku jarang sekali memiliki kerabat atau semacamnya dan aku tidak pernah mempermasalahkan itu, yang kupikirkan hanyalah musik, tuts dan partitur. Albert Adrian menjadi kerabat baikku hanya dalam beberapa hari, hal itu memang mustahil terjadi pada orang tertutup sepertiku. Perlahan-lahan perasaan melebihi sebagai seorang kerabat muncul sehingga ingin dapat mengenalnya lebih dalam dan menjadi seorang kekasih baginya.
Aku menyukai segala sesuatu yang ada padanya. Albert Adrian bagaikan bintang yang menyinari malamku. Membuatku tertawa saat kumenangis, membuatku tersenyum saat kusedih, melakukan segalanya untukku hanya tidak ingin kuterluka. Saatku bekerja paruh waktu sekali pun ia bersedia menyediakan waktu luang hanya untuk menungguku hingga larut malam. Tiada hal yang lebih indah bagiku selain mengenalnya. Albert Adrian tidak pernah membuatku menunggunya, tetapi aku yang selalu membuatnya menungguku.
Hari demi hari kami lewati bersama, tetapi hal yang tidak disangka mau pun diduga olehku bahwa aku mendapat beasiswa dikampus sebagai salah satu anak berprestasi dan belajar di London. Aku senang mendengarnya tapi disamping itu aku sedih, sebab dengan begitu aku akan berpisah dengan Albert Adrian. Tetapi akhirnya aku memutuskan akan tetap mengambil beasiswa tersebut, bagiku beasiswa tersebut adalah satu-satunya harapan terakhirku. Aku pun berpamitan dengan Albert Adrian di sebuah taman, itulah terakhir kali aku bertemu dengannya sebelum kepergianku.
Tiga tahun telah berlalu semenjak kepergianku, Aku dan Albert Adrian sering berkabar satu sama lain melalui e-mail. Tetapi minggu terakhir ini ia menghilang tanpa kabar. Aku cemas akan hal itu, Albert Adrian bukanlah orang yang menghilang secara tiba-tiba seperti itu. Aku pun berniat kembali ke Jepang untuk memastikan hal yang kucemaskan selama ini. Beberapa jam kemudian, aku tiba di Jepang dan langsung menuju apartemen Albert Adrian. Di sana aku sama sekali tidak melihatnya justru yang kulihat hanyalah sepercik surat di atas meja.
Sepercik surat tersebut berisi :
“Shina, aku tidak tahu kapan surat ini akan berada di tanganmu, tetapi aku hanya berharap kamu dapat membacanya. Mungkin saat kamu membacanya aku tidak lagi berada di sampingmu tapi percayalah bahwa aku akan selalu ada di hatimu. Berjanjilah satu hal padaku untuk tetap mengingatku walau kutak akan pernah kembali lagi.”
Satu-satunya hal yang tebenang dipikiranku hanyalah “Albert meninggalkanku”. Bercucuran air mata saat kumembacanya. Tiba-tiba terdengar seseorang membuka pintu. Oh ternyata itu adalah Kazuto, sahabat Albert. Kazuto menghampiriku dan berkata,
“Mengapa kamu menangis?” tanya Kazuto
“Aku.. aku.. aku tidak mendapati dirinya,” dengan tangisan yang masih belum berhenti.
“Siapa maksudmu? Albert Adrian?” Timpal Kazuto
“Ya,” .. nada sedih
“Oh, tidakkah kamu tahu bahwa Albert Adrian kecelakaan seminggu lalu di bangunan milik ayahnya,”.. jawab Kazuto
“Benarkah? Aku tidak tahu bahkan aku tidak mendapat kabar tentang itu”.. menangis terisak-isak.
Baca Juga: Amru
Kepulanganku sangat terlambat, takdir telah berkata lain. Kazuto menceritakan semua yang terjadi pada Albert Adrian, sahabatnya bahwa Albert Adrian terjatuh dari lantai 3 di bangunan milik ayahnya yang kebetulan sedang dibangun. Setelah kecelakaan yang menimpa Albert Adrian, selama lima hari ia berbaring di rumah sakit dalam keadaan koma, pada kenyataannya dokter tidak dapat menyelamatkannya. Hatiku terasa rapuh dan terasa berat menerima kenyataan bahwa Albert Adrian telah meninggal dunia. Belum sempat kukatakan bahwa “Aku mecintainya melebihi apapun yang ada di dunia.”
Semenjak kepergiannya, hatiku menjadi hampa. Impian yang tidak akan pernah terwujud begitu pun cinta yang tidak akan pernah saya miliki. Andaikan waktu dapat di ulang kembali aku ingin memperbaiki segalanya dan tetap berada di sisinya, sayangnya hal yang telah terjadi akan tetap terjadi. Perlahan-lahan aku mencoba melupakan kejadian itu tetapi tidak dengan kenangannya. Kehidupanku pun kembali seperti semula saat ku tidak mengenal Albert Adrian dan tidak mengenal apa arti cinta dikehidupan nyata.
Penulis: Stephanie Ngadiman