Hujan. Sayang, adalah pengantar rindu-rindu yang terlambat untuk dikatakan.
Pagi mendung dengan semilir angin sejuk yang lemah. Langit berwarna abu, sinar matahari malu-malu untuk bersemu, dan rintik-rintik kecil air hujan turun bertalu-talu. Saya asyik memandangi orang-orang yang berkejaran mencari tempat berteduh; berusaha menghindari gerimis yang mungkin sebentar lagi akan bertumbuh menjadi hujan yang lebat. Payung-payung putih-biru dengan logo sebuah partai besar terkembang, melintas melalui jalan penuh genangan lumpur bekas hujan semalam.
Saya bertopang dagu di atas meja kasir kedai choi pan milik keluarga kami. Aroma bawang goreng menyeruak tanpa permisi, menggoda penciuman saya. Meski sejak kecil saya tumbuh bersama dengan aroma tersebut, tapi saya tidak pernah merasa bosan mengagumi betapa sejentik perpaduan aroma bawang putih yang ditumis dengan sayuran serta ebi dan dikukus selalu menjadi candu yang luar biasa.
Di musim penghujan seperti ini kedai choi pan kami tidak akan seramai biasanya. Orang-orang malas untuk keluar dan lebih memilih bergelung di balik selimut yang hangat. Padahal menurut saya, menyantap choi pan panas yang baru diangkat dari kukusan di cuaca yang dingin adalah nikmat Tuhan yang tidak bisa didustakan. Nikmat yang absolut.
“Sudah semingguan ini hujan turun tak berjeda, ya? Jemuran susah keringnya, parit-parit mulai tergenang, anak-anak jadi malas sekolah. Alasannya sepatu basahlah, seragam kena ciprat lumpurlah, sekolah banjirlah. Ada-ada saja,” gerutu Nyonya Sugeng, pelanggan setia di kedai kami. Wanita paruh baya itu sedang menyantap seporsi choi pan goreng ditemani secangkir teh manis hangat. Ia singgah setelah sebelumnya mengantarkan kedua anaknya berangkat sekolah. Nyonya Sugeng tinggal di ujung jalan dan memiliki dua anak laki-laki kembar yang sama bandelnya. Setiap datang ke kedai kami, wanita itu selalu saja mengeluh tidak jauh-jauh dari berbagai kelakuan nakal si kembar.
Saya hanya bisa tertawa singkat. Perhatian saya sepenuhnya sudah tersita oleh gerimis yang semakin menderas di luar sana. Saya merapatkan cardigan tipis yang menyelimuti tubuh, berharap Nyonya Sugeng berhenti mengajak saya berbicara. Namun wanita itu tidak akan berhenti mengoceh sampai Mamak keluar.
“Ning, kau segeralah selesaikan kuliahmu. Lalu bantu mamakmu di kedai ini. Kasihan dia hanya mengurus kedai ini sendirian. Tahun depan adikmu juga akan pergi kuliah, kan?”
Saya tersentak. Benar juga. Tahun-tahun terasa berlalu terlalu cepat dan tanpa sadar saya sudah melewatkan banyak hal. Saat ini, saya sedang menempuh tahun ketiga perkuliahan di sebuah perguruan tinggi swasta di pusat kota. Tahun depan, giliran adik saya yang akan melanjutkan pendidikan dan dia sudah ancang-ancang membidik perguruan tinggi yang sama. Saya hendak menyahut ketika saya mendengar bunyi bel sepeda yang berasal dari arah utara. Entah kenapa saya tergerak untuk mencari asal suara tersebut. Kepala saya terjulur menghadap ke utara, menerka suara sepeda siapakah itu.
Dan seorang pria terlihat mengayuh santai sepeda kumbang berwarna hitam legam dengan keranjang besi di depannya. Bibirnya tersenyum cerah, topinya yang lebar menangkup wajahnya dari guyuran gerimis, dan binar matanya lebih hangat dari perapian kami di dapur. Pria itu menggendong sebuah ransel besar, mengenakan celana selutut, sepotong kaus oblong bertuliskan nama band metal populer, dan sebingkai kacamata yang tidak menghalangi kilau matanya.
Diam-diam saya menyadari suatu hal.
Pria tersebut mengambil alih penuh perhatian saya terhadap gerimis yang menuntut dan aroma choi pan yang berisik dari arah dapur.
Saya memutuskan untuk memanggilnya Si Kumbang.
Selama berhari-hari saya hanya duduk di depan meja kasir, menunggu kehadiran pria bersepeda kumbang tersebut. Sesekali saya membantu Mamak di dapur, menyiapkan choi pan pesanan pelanggan atau sekedar membuatkan minuman. Tapi tidak pernah sekalipun saya melewatkan kunjungan Si Kumbang ke warung kopi di seberang kedai kami. Warung kopi bernama Setapak Putih itu sudah berdiri sama lamanya dengan berdirinya kampung ini. Kopi hitamnya klasik dan aromanya juara. Berdirinya di antara toko buku Menara Jiwa dan toko kelontong milik Haji Sudirman. Warung kopi itu selalu ramai saban paginya. Tidak peduli sedang musim hujan atau musim panas, tidak peduli sedang musim durian atau musim langsat, tidak peduli sedang tanggal tua atau tanggal muda. Orang-orang akan selalu menyesaki warung kopi yang tidak terlampau luas tersebut.
Dan di sanalah, tiap pagi tak lama selepas lonceng dari sekolah dasar yang tak jauh dari tempat kami berdentang, Si Kumbang itu menandas habis segelas kopi susunya. Ia terlihat selalu sibuk dengan sebuah buku catatan kecil, tumpukan buku-buku ensiklopedia bersampul keras, dan tangannya tak pandai diam mengajak pulpen hitamnya menari di atas kertas. Saat menulis, keningnya berkerut, rautnya serius, senyumnya minim, namun sinar matanya terang. Beberapa kali ia bergerak untuk membetulkan posisi kacamatanya.
Ya, saya sampai memperhatikan sebegitu detailnya.
Entah orang-orang menyebutnya apa, tapi saya selalu merasa tertarik ke pusara yang diciptakan pria tersebut diam-diam. Terlalu muda untuk dibilang jatuh cinta, tapi terlalu pura-pura jika hanya dikatakan rasa tertarik belaka. Si Kumbang menarik saya entah dengan cara apa. Tapi dari setiap gerak sekecil apapun yang ia ciptakan, selalu berhasil menerbitkan seulas senyum di bibir saya.
Lalu, semakin lama rasa itu semakin menggema-gema tak keruan.
Seberapa banyak orang yang jatuh cinta dan memilih menyimpan cintanya rapat-rapat? Atau seberapa banyak yang cintanya berbalas juga?
“Apa yang sedang kauperhatikan, Ning?” Suara Mamak mengagetkan saya. Saya segera mengalihkan pandangan dari sosok Si Kumbang yang sedang duduk di Setapak Putih sambil menghadap buku-bukunya. Tapi Mamak selalu bisa mengetahui segala hal yang berusaha saya sembunyikan. Sia-sia. Mamak pasti tahu.
“Sedang menunggu pelanggan saja.”
Mamak tersenyum getir. Kini pandangannya mengarah ke arah yang sama seperti yang saya pandang beberapa menit yang lalu. Mamak menepuk bahu saya seraya berkata, “Pria itu dari Jakarta, katanya. Datang ke sini untuk menyelesaikan penelitiannya.”
Saya mengangguk, berlagak tidak terlalu mau tahu.
“Katanya, dia kuliah juga. Jurusan Biologi atau apalah begitu. Pokoknya dia ke sini mau meneliti kumbang-kumbang di hutan kita. Ada-ada saja.” Mamak terkekeh. Saya mengernyit bingung. Apanya yang lucu? Kampung tempat kami tinggal memang terkenal dengan banyaknya populasi kumbang beraneka ragam yang tersebar di hutan. Saat masih kecil, saya dan adik saya sering berburu kumbang di sana dan pulang membawa sekitar sepuluhan kumbang cantik.
“Hutan kita sudah kehilangan banyak populasi kumbangnya, Ning,” lanjut Mamak seolah bisa membaca pikiran saya. “Tahun ke tahun jumlahnya semakin sedikit. Hutan-hutan sudah banyak yang dijadikan rumah. Mamak tidak tahu kemana perginya kumbang-kumbang malang itu. Tapi Mamak harga kegigihan pria itu berjuang untuk mencari.”
Ada senyum di suara Mamak. Namun saya mendeteksi sesuatu yang lain. Pahit yang samar.
“Kamu menyukai pria itu, Ning?”
Saya gelagapan. Mau membantah tapi entah kenapa tidak sepatah kata pun keluar dari mulut saya. Lagipula Mamak pasti sudah tahu. Diam dan berbicara pun sama saja. Semuanya terpapar jelas dari air muka saya.
“Apakah tidak boleh?” gumam saya.
Mamak tidak menjawab. Ia berbalik badan, berjalan masuk ke dalam rumah. Menyisakan sunyi yang sesak dan debar yang perlahan menguncup di dasar hati saya.
***
Malam itu gerimis lagi-lagi turun menggerayangi bumi. Suaranya pelan, malu, jatuh menampar atap rumah. Derai angin berceceran, melanglangbuana, bergerak gesit sembari bertiup. Saya sedang meringkuk di balik selimut setelah selesai membantu Mamak membereskan kedai kami. Belakangan ini, kedai kami tutup lebih awal. Pukul delapan. Mamak bilang pengunjung tidak mungkin akan datang di atas jam tersebut, apalagi dengan kondisi hujan yang turun tak menentu tiap harinya. Jadi daripada lelah menunggu, sebaiknya kedainya ditutup saja. Saya setuju.
Baru saja hendak menjemput mimpi, saya mendengar jendela kamar saya diketuk dari luar. Saya langsung merasa was-was. Namun suara yang selanjutnya terdengar menenteramkan kecemasan saya.
“Hai. Maafkan saya harus diam-diam begini. Tapi, kata orang-orang ibumu garang.”
Mau tak mau saya tersenyum. Suaranya terdengar akrab. Berat, tapi mengalun lancar di telinga saya. Si Kumbang.
Itu adalah awal pertemuan kami. Awal perbincangan. Awal dari segalanya. Semenjak itu, saya dan Si Kumbang selalu bertemu ketika malam tiba. Saya terpaksa beberapa kali mangkir dari tugas memijat Mamak demi bertemu Si Kumbang. Kami berbagi banyak hal; tentang cerita-cerita kuliah, tentang obsesinya pada serangga terutama kumbang, tentang tradisi Tionghoa keluarga saya, tentang semesta yang lucu, tentang kopi ajaib di Setapak Putih. Kami terkadang mengobrol di gang sempit antara Setapak Putih dan toko kelontong Haji Sudirman, terkadang berlari ke pesisir pantai yang tenang saat malam, kadang menyusuri jalanan sambil mengurai cerita.
Mamak tidak pernah tahu tentang pertemuan-pertemuan rahasia kami.
Mamak tidak perlu tahu.
Dan, ya, saya tidak memanggilnya Si Kumbang lagi. Dia punya nama.
Lalu yang ia sebut pusara magnet itu, Sayang, berkembang menjadi apa yang mereka panggil ‘cinta’.
Yang saya takutkan terjadi betulan. Yang Mamak takutkan terjadi sungguhan. Bedanya, saya menyerahkan diri secara utuh dan sukarela pada ketakutan itu, membiarkannya melahap saya dalam kenikmatan yang tak terduga. Sementara Mamak takut untuk alasan lainnya.
Pertemuan-pertemuan saya dan Si Kumbang—saya ingin tetap merahasiakannya dari kalian agar hanya saya saja yang tahu namanya—berkembang menjadi cinta yang jauh terlalu dalam. Jauh sampai saya tidak tahu jalan berbalik arah untuk pulang. Tersesat, tapi bersama orang yang tepat. Lalu, apa lagi yang kautakutkan?
Kita hanya perlu menatap ke dalam mata seseorang beberapa detik saja untuk mengetahui bahwa kita mencintai dia seutuhnya. Kemudian kita lupa untuk mengerjap, dan tersadar bahwa kita sudah mencinta segila bumi memuja angkasa. Itu yang saya rasakan. Bahwa tembok besar yang membatasi kami telah diruntuhkan dengan sengaja, tapi tangan kami masih tertaut sangat jauh. Kami bisa saling bertukar deru napas dari jarak sangat dekat, tapi sesungguhnya penghalangnya terlalu kuat.
Mamak tidak pernah setuju saya bersama dengan Si Kumbang. Untuk pacaran, apalagi nikahan. Malah Mamak semakin gigih mengajak saya sembahyang di vihara dekat rumah, tidak hanya seminggu sekali tapi tiap hari. Berlutut, berdoa.
“Apa yang kauharapkan dari cinta yang sia-sia?” Bagi Mamak, cinta itu ada dua. Cinta yang tercipta dengan akhir yang sempurna, dan cinta yang tercipta tak sengaja hanya sebagai cerita yang ujungnya entah kemana. Cinta saya, kata Mamak, adalah cinta yang tercipta karena kebodohan melanggar garis yang telah ditanamkan kuat di batasnya dan ujungnya tidak cuma tidak jelas saja, tapi juga sia-sia belaka. Mamak bilang itu adalah cinta nomor tiga yang baru ia temukan.
Lalu, musim penghujan diam-diam surut dan matahari mulai berani unjuk gigi. Saya dan Si Kumbang jarang bertemu. Seiring Si Kumbang juga jarang menampakkan diri di Setapak Putih tiap pagi lagi. Saya masih berjaga di balik meja kasir, menungguinya. Seminggu lagi batasnya. Seminggu lagi libur usai dan saya akan kembali ke pusat kota.
Hingga suatu pagi di Senin yang sibuk, saya mendengar kembali denting lonceng yang berbunyi redup itu. Seketika rindu yang tertumpuk pelan-pelan terburai. Di sana, di ujung jalan, saya melihat Si Kumbang, mengenakan peci hitam dan baju koko merah marun, mengayuh sepeda tuanya dengan keranjang yang penuh oleh tumpukan buku-buku tebal. Senyumnya merekah, matanya mendekap rindu.
“Ning, saya sudah tidak takut lagi untuk makan choi pan buatan mamakmu setiap hari!”
Perlahan, senyum saya terbit. Si Kumbang mengayuh sepedanya laju, menyapu jalanan sempit, melambaikan sebuah surat beramplop putih di tangan kirinya. Saya bisa mendengar suara Mamak mendengus kasar dari belakang saya.
“Dia hanya datang buat menyapu sisa gerimis bekas kemarin, Mak.”
Penulis : Yuda Kurniawan