Tak pernah ada yang tahu kepada siapa kita menjalin kisah.
Begitu pula aku yang sampai kini tak mengerti, kenapa dia yang aku cinta.
…
Malamku di keramaian. Ditemani Ega, kekasihku beberapa bulan terakhir, aku menikmati malam yang panjang bersama sekumpulan teman. Tak banyak yang bisa kuceritakan. Selain, anak-anak nakal bertato tiada kerjaan.
Berceloteh sepanjang malam. Berkhayal untuk jadi apa kemudian. Tanpa berpikir panjang, usaha apa yang telah dilakukan untuk meraih apa yang dicita-citakan.
…
Aku benci itu, sesungguhnya. Tapi Ega berbeda. Ia memberiku pandangan yang sangat berbeda. Ia mengatakan di sinilah seharusnya aku memahami banyaknya manusia. Tanpa perlu ikut terjerumus, aku harus bisa menganalisa tiap kepribadian. Kata Ega, karena aku calon guru dan tentu aku harus bisa memahami sekitar.
Tak perlu membatasi seperti mahasiswa kebanyakan, aku harus memikirkan mereka yang kurang ajar. Bukan yang terpelajar. Sebab yang terpelajar itu biasa dan yang kurang ajar adalah cerminan hidup pemuda bangsa yang sesungguhnya.
(Kuharap kalian paham)
…
Ega Ramadhan. Sudah ada yang kenal? Pria tatoan kesayangan mama, itu menurutnya. Sedangkan menurutku, Ia pria jenius yang terlanjur salah menentukan jalan. Ega, serabutan.
Tak perlu ditanyakan alasan pasti, yang terpenting : Hanya bermodalkan motor butut kesayangan dan rasa nyaman yang ia cipta, seperti bukan sebuah alasan untukku meninggalkan.
Karena pada intinya, aku telah berbahagia. Baik bersama seorang tatoan yang tidak memiliki pekerjaan tetap atau bersama si jenius yang nakalnya sudah keterlaluan.
…
“Hari ini mau kemana, Ga” pelukku erat memulai perjalanan. Ega yang sudah tahu pasti kebiasaanku yang suka memeluk, hanya tersenyum manis mengusap lembut jemariku.
“Kamu maunya kemana, Sayang?”
“Aku mau makan. Lapar hehe”
“Baik, tapi kita ke markas dulu ya. Ada titipan dari anak-anak”
“Titipan apa?” Ah, anak-anak itu. Siapa sebenarnya pacar Ega disini
“Bukan apa-apa. Ayo pegangan.”
Pelukanku pun mengerat di sepanjang perjalanan.
Baca Juga: Reka Ulang Kisah
…
“Eh, Ga! Gimana bawa gak? Aduh, cewek ini lagi. Kau lagi gak ada stok ya Ga? Sampai-sampai cewek beginian yang digandeng.” Aih, baru saja aku tiba di markas kumuh, seorang yang Ega sebut sebagai Codet ini sudah banyak berbicara.
“Namanya Tia, Det.”
“Iya tahu. Orang yang berpendidikan kebanggaanmu itu kan?”
Ini yang paling merisihkan. Sekumpulan anak nakal disini selalu membuatku terpojokkan. Seluruh tatapan pun sangat jelas membuatku merasa paling menyedihkan. Bukan hanya 1 yang memojokkan. Hampir seluruhnya. Kuulangi hampir seluruhnya bersikap seakan mengusir keberadaanku.
“Ga, ayo makan.” Bagaimanapun, aku harus segera pergi, bukan?
Seorang wanita ceking mendekat. Ia menatap peruh iri keberadaanku. Jika tidak salah, namanya Melati. Iya, Melati dari kegelapan.
“Eleh, taunya Cuman makan dan belajar. Gak asik banget sih wkwk. Udah berapa bulan sama Ega? Dapat apa aja? Enak banget orang kerja lu makan.”
Baiklah. Itu menyakitkan, Melati.
“Ayo pergi.” Ega meraih tangan kananku untuk segera beranjak. Sepertinya Ega tahu di sini bukanlah tempat yang baik untukku dan masa depanku.
Disertakan langkah dan dekap erat menuju luar ruangan. Codet dengan sigap meraih kursi kosong untuk kemudian ia hempaskan sekuat-kuatnya.
Brakkk…
Ega berhenti. Aku pun seketika teriak ketakutan.
“Terus kau begini, Ga. Terus! Mau sampai kapan kau bersedia dengan wanita manja satu ini? Badan yang memuaskan kah? Atau uang yang sangat berlimpah kah? Yang jelas dan kuperhatikan, wanita ini tak ada satu pun yang dapat diuntungkan.” Sedikit lagi ketakutanku berubah menjadi tangis dan Ega hanya mengeratkan pegangan tanpa menoleh sedikitpun ke arahku.
“Sadar, Ga. Wanita ini sudah terlalu jauh mengekang. Kau sudah beda sekarang. Kau seakan-akan suci dan enggan membuat kerusakan. Kukira kau setia, rupanya tak lebih dari budak seorang wanita.”
“Atau perlu aku turun tangan di sini menyingkirkan wanitamu itu, Ga.” Kini Melati yang kerasukan. Mengeluarkan segala isi dari kresek hitam, Melati meraih satu bungkus obat-obatan dan mengatakan, “Oh ya, Tia yang malang. Rupanya pria kebanggaanmu ini memfasilitasi kami dengan obat-obat terlarang ya? Supaya kami tenang dan kau berbahagia bukan?”
Aku tertegun. Benarkah itu barang haram? Untuk apa Ega membeli barang itu? Dan kenapa Ega bersedia?
Seperti dihujam banyaknya pedang tentang siapa Ega yang sesungguhnya. Tentang Ega yang telah berjanji tak lagi masuk ke dunia kelam. Dan tentang Ega yang kini dihadapan sedang tertunduk dalam mengakui kesalahan.
Baiklah, Ega. Permainan apa ini?
….
“Sudah cukup menjatuhkanku?” Ega membuka suara setelah cukup lama seisi ruangan terdiam. Sedangkan aku, hanya mampu terduduk menafsirkan, permainan apa yang sedang dimainkan Ega selama ini.
…
Bukankah sesuatu yang lucu, seorang yang tulus mendekap dan menatap. Seorang yang baik hatinya dan cerdas pemikirannya. Rupa-rupanya tak bijak dengan menghalalkan segala cara agar sekawanan anjing itu tak berkutik. Bukankah sudah berulang kali kumenentang pertemanan Ega dan sekawanan anjing itu. Karena yang kupahami, mereka terlalu banyak perintah dan permintaan. Sedangkan Ega, hanya menuruti dan enggan berkutik.
…
“Kita pergi.” Ega membantuku untuk bangkit. Codet dan Melati memilih pergi setelah Ega tak bersedia melanjutkan perdebatan. Aku yang sedari tadi tak dapat berpikir jernih. Hanya mampu merenungi apa yang telah terjadi di malam yang panjang ini.
“Berhenti. Ini menyakitkan, Ga.” Suaraku parau menatap seisi ruangan. Aku bangkit tanpa meminta sediktpun bantuan. Aku juga meringis kesakitan pada paru-paruku yang sulit untuk bernapas dan menelan kenyataan yang kini terasa begitu memilukan.
Ega, sejahat itukah
“Bisa aku jelaskan, Sayang. Aku tidak memfasilitasi mereka.”
Cukup, Ga.
“Aku hanya bekerja dari barang terlarang ini. Maaf.”
Baiklah.
Jadi, apa selama ini yang ku makan itu dari uang kotormu, Sayang?
….
Bersambung
Penulis: Tyas