Pagi Itu saat mentari mengintip dari balik jendela. Dengan sinar hangat nan senyumannya menyapa ku yang lelap dari balik selimut—
“Ahhhh,” kusobek kertas ditanganku. Sekaligus. Tanpa ada penyesalan sedikit pun. Sial. Kenapa permulaan ceritaku sudah seperti ini. Murahan.
“Sudahlah, Di. Kau sudah lihai menulis cerita erotis, kenapa tiba-tiba ingin berubah haluan ke dalam cerita anak-anak,” ckck. Dia berdecak. Sial.
“Ini bukan cerita anak-anak!”
“Lalu apa? Kau mau mengikuti kemauan Pak Indra kemarin? Menuliskan cerita erotis dengan halus menyinggung dan sopan? Yang membuat darah muda itu naik perlahan dan lamban menuju klimaksnya? Bah! Setiap orang itu punya seleranya, dan peminat tulisanmu sudah berjuta, kau dengan tiba-tiba ingin mengganti gaya menulismu hanya karena si Indra itu menyebut karyamu picisan?”
“Bukan seperti itu, aku menulis semua ini karena ibuku yang memintanya.” Ucapku dengan nada yang meninggi
“Apa maksudmu dengan ibumu?” Tanya pria berkumis tipis itu.
“Kau belum pernah membawa bawa keluargamu dalam pekerjaanmu sebelumnya” tambahnya.
“Keluarga,” ucapku. Aku memang bukan terlahir dan tergolong penulis berbakat alam, sontak rasa itu muncul.
“Di ruang ini banyak kutulis sejumlah tulisan murahan, kau tahu?” ucapku dengan nada lembut seperti suara pria yang hampir mencapai klimaksnya.
“Ha sudahlah… Ayo ikut aku!” dia meraih helmnya di meja di sisi kiriku.
“Mau ke mana kau? Jangan ke mana-mana dulu, temani aku.”
“Makan. Kau belum makan dari kemarin, semalaman kau begadang hanya itu yang kau tulis.”
Aku terdiam. Lalu sontak ku bertanya, “Bagaimana bisa aku tenang hari ini jika besok nasib ku entah menjadi apa.” Mata ku mulai berkaca, menahan isak, ku lanjutkan ucapan ku. “Kau tak pernah tau seberapa penting tulisan ini bagi ku. Lebih baik kau diam dan lihatlah hasilnya nanti.”
Namun isak tersebut tak bertahan lama. Sekarang kekesalanlah yang mengambil alih rasa setelah melihat pria berkumis sialan itu melanjutkan langkahnya tanpa menoleh sedikit pun dan seolah enggan menggubris ocehanku.
Krukkk…
suara perutku yang meminta untuk dikasihani oleh sang pemilik.
Aku rasa makan memang jawaban yang tepat saat ini. Hanya orang bodoh yang memaksa otak bekerja di tengah cacing-cacing berdemo.
Sedikit berlari, ku untaikan kaki langkah demi langkah mengejar Bayu, pria berkumis tipis yang ku sebut sebelumnya dengan meninggalkan lantai kamar yang berserak kertas berisi kegagalanku dan beberapa lembar tisu, sisa semalam.
“Tunggu!” dengan sedikit berteriak aku memanggil Bayu yang sudah siap di atas motor dengan helm hitam tanpa kaca andalannya.
“Ku kira kau sudah kenyang memakan robekan kertas di kamar,” ucapnya.
“Jangan banyak bicara, ayo bawa aku makan atau kau yang akan ku makan!” ucapku sembari memasang helm dan naik ke kursi motor bagian belakang.
”Kali ini bagian mana yang ingin kau makan ? Setelah menelan pe….”
“BAYU !,” pangkasku memotong ucapannya, aku sudah bisa menebak arah pembicaraannya, aku membencimu bayu.
Perjalanan pagi ini, di tengah sejuknya pagi berbalur hangatnya matahari, aku tetap bisa mencium aroma tubuhnya dengan jelas. Aroma yang hampir setiap malam memenuhi hasratku, aroma yang selalu menjadi inspirasi di tiap cerita erotisku. Bayu, entah harus kusebut dia apa, intinya saat ini, di tempat ini hanya dia yang kupunya.
Tepat di ujung jalan, terang lampu berpendar sesaat, lalu mati. Tiga tahun sudah aku merantau di kota ini, lampu jalan itu tak kunjung diperbaiki. Lampu jalan samping penjual sekoteng yang katanya datang dari Bogor langsung. Milik Kang Surya, penjual sekoteng yang tak pernah berharap pada malam untuk berjualan minuman hangat miliknya.
“Mau sekoteng?”
“Mau makan! Kau ini plin plan sekali, Bayu.”
“Kau memutar kepalamu Di, waktu kita melewati gerobak sekoteng.” Ah! Bayu, kau tahu aku paling benci ditatap dari spionmu.
“Aku pernah membuat cerita erotis di atas gerobak sekoteng,” ceritaku lirih hingga suaraku nyaris hilang ditelan suara padat motor di jalanan.
“Susu Telur Madu Jahe, itu juga bisa bikin kenyang, Di. Dan sehat,” kulihat Bayu menaik turunkan alisnya dari spion. Pria satu itu kenapa selalu berhasil mengubah haluanku.
“Yasudah, putar balik. Aku mau STMJ telur bebek,” lalu sedetik kemudian, decit ban motor terdengar, Bayu berulah, tanpa aba-aba ia memutar haluan motornya, menuju gerobak sekoteng.
Aroma jahe merasuki hidungku, Bayu pun terlihat menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya memesan.
STMJ telur bebek dua porsi. Suasana yang pas dengan sedikit rintik gerimis menemani pagi ini. Tak perlu menunggu malam untuk menikmati hangatnya segelas telur yang diceplok bersama susu dan seduhan jahe, serta dua sendok madu yang, aduhai…. Rindu sekali aku dengan minuman ini. Kang Surya betul, ternyata tak hanya malam yang memerlukan kehangatan, pagi disertai gerimis seperti inipun ternyata memerlukannya.
“Lalu, cerita erotis apa yang pernah kau buat di atas gerobak sekoteng?”
Aku menatap mata Bayu sebentar. Pesanan kami pasti datang sekitar lima belas menit lagi, sebab gerobak ini sudah padat oleh pembeli.
“Aku mau berenti menulis cerita erotis.”
“Ya, cerita anak-anak…”
“Bukan. Cerita yang sewajarnya, tentang kita yang dua puluh tahun, yang terkidum curi-curi pandang di depan pintu kelas, tentang ciuman pertama dan tentang bagaimana kita saling berkunjung ke orangtua masing-masing.
Kau tahu, Bayu. Tiap aku menulis paragraf demi paragraf tentang bagaimana laki-laki dan perempuan itu mencapai kenikmatan sempurnanya, aku selalu takut. Sebab bayangan wajah mereka selalu hadir, wajah-wajah di sekelilingku yang aku tuangkan dalam cerita erotis itu selalu terasa nyata. Orang-orang yang tak pernah aku lihat bagaimana ia bersetubuh justru aku tulis dengan khayalanku yang sial ini. Apa salah mereka! Dan aku malu setiap ketemu dengan wajah-wajah itu.
Guru di desa yang memperkosa muridnya, penjual sayur yang kerap menyentuh tubuh pembelinya, Dosen berkumis tebal yang senang berkunjung ke rumah mahasiswanya, sampai—”
“Penjual sekoteng?” Bayu memotong ceritaku. “Makasih Kang,” ia menunduk sekejap kepada Kang Surya yang muncul tiba-tiba dari arah punggungku menyajikan pesanan kami.
Hening. Bayu terdiam menikmati gelasnya. Sesekali suara seruput di sendok bebeknya terdengar. Ah nikmat sekali. Akupun memilih untuk begitu. Menyeruput STMJ ku dan mulai terbuai, pada kejadian tiga hari yang lalu. Kejadian dimana si direktur sialan itu menawarkan pekerjaan baru untukku. Melayaninya seperti cerita yang kutulis sudah-sudah jika aku ingin menghentikan kontrak kerjasama kami.
Ah sialan! Kontrak itu.
“Ahhh! Habis!” teriaknya mengangkat gelas tinggi-tinggi, membuatku terperanjat sejenak karena kaget.
“Emang semengganggu itu ya? Kan bisa khayalan itu ditepis, Di. Suuut! Buang jauh jauh pas terlintas. Gampangkan. Atau …. Kamu tulis saja tentang kita, sudah jelas Di tidak ada khayalan, nyata, kamu bisa menulis tiap jengkal sentuhannya, dan akan ku siapkan alur berbeda setiap hari. Bagaimana ?” ungkapnya bersama wajah menggoda yang sangat menggangguku.
“Tidak lucu Bayu,” Ucapku dengan nada kesal.
“Gini ya, kalau kamu memang mau pindah tempat kerja ke percetakannya Pak Indra itu, emang kamu yakin banget diterima? Tulisan kamu gak cocok buat cerita cinta yang normal. Pak Indra aja udah ngina tulisan kamu, pake bilang picisan segala.”
“Emang picisan, Bay,” sepicisan hidupku, Bayu…
“Ya, selera orang beda-beda kalik. Terus kalau bayangan kotor kamu terlintas tiap ketemu dengan wajah-wajah yang kamu tulis itu, emang bakalan jadi kenyataan, nggak kan. Itu cuma fiksi, Di. Berapa banyak cerita manis yang kamu buat tentang Ibu kamu yang pulang buat masakin sarapan pagi, gak pernah terjadi kan? Yang ada dia datang dengan bawa sifilis dari laki-laki yang entah yang mana satu.”
“Bay…”
“Emang benar, Di. Sekarang bukan masalah nyaman atau nggaknya. Sekarang itu gimana caranya kita dapatin duit dengan cepat buat praktikum kita. Nyatanya, tulisan yang dibilang si Indra itu picisan bisa ngasilin tiga ratus ribu untuk satu karyamu, Pak Indra belum tentu ngasih uang segitu.”
“Bay…”
“Emang kenyataannya, Di. Kamu harus bisa bedain yang mana nyata dan mana yang fiksi. Kenyataannya kita butuh duit cepat SE-KA-RANG,” Bayu menekankan kata ‘sekarang’ dengan nada tinggi yang cukup menjadikan kami pusat perhatian.
“Tapi, Bay—” Bayu mulai mencengkeram pundakku.
“Udahlah, Di! Kamu harus sadar, Di. Sadar!”
“SADAR! Bay, aku udah sadar! Sadar gimana tiap aku datang ke ruangan itu kaki ku selalu digerayangi dari ujung jari, pelan-pelan, Bay, ke atas. Gimana takutnya aku tiap datang dengan lembaran tulisan yang aku buat semalaman tapi berakhir dengan lemas, tanpa ada perubahan sedikitpun pada tulisanku,” aku mulai terisak, yang tadinya gerimis berganti deras. Menunduk dalam-dalam, semoga gemuruh turut membantu menenggelamkan suaraku yang mungkin saat ini sudah diperhatikan oleh banyak mata.
“Di….” lirih.
“Bukan karyaku yang dihargai, Bay. Bukan…” aku tak tahu berapa mata yang saat ini iba denganku atau mugkin jijik karena Bayu kini mendekapku dan turut menangis.
Bersama tangisan ku yang perlahan tertimbun di pelukan Bayu, hujan yang semula deraspun ikut berhenti. Bayu memutuskan tak melanjutkan pembicaraan kami sebelumnya, Ia memilih menenangkanku dan kembali ke kamar kost miliknya.
‘Bodoh, bodoh sekali’
‘Kenapa aku harus cerita ke Bayu sih’
‘Bayu pasti semakin mandang aku murahan’
‘Siap-siap Bayu bakal ninggalin aku, dasar bodoh’
Begitulah kiranya suara yang memenuhi pikiranku, aku terlalu emosi hingga menceritakan apa yang terjadi, Dian, bodoh sekali.
“Gantilah bajumu, gerimis tadi sepertinya membuat bajumu lembab,” ucapnya memecah lamunanku.
Akupun mengganti bajuku dengan baju miliknya, tepat di depannya. Ya, ini sudah biasa aku lakukan, sudah tidak canggung lagi, dia sudah tau betul bagaimana seluruh bagian tubuhku. Hari itu aku sungguh kedinginan, kakiku terasa seperti hampir membeku, aku dingin dan takut.
Tiba-tiba, sebuah tangan terasa membelai pinggangku, melingkarkannya, semakin erat dan erat. Bayu, betul itu tangannya, pelukan di atas kasur yang betul-betul menghangatkanku.
“Menulislah dengan nyaman dan aman Di, berceritalah dengan tulus dan menyenangkan, kita memang perlu uang dengan cepat, tapi keselamtanmu, kenyamananmu, lebih berarti dari apapun. Di, aku menunggu karyamu,” bisiknya lirih tepat di telingaku. Hembusan nafasnya begitu hangat, membelai lembut telingaku, dan menggiurkan.
“Benarkah Tuan Bayu ?” balasku sembari memutar balik tubuh menghadapnya, kini wajah kami betul-betul dekat, sangat dekat. Dia membalasku dengan mengangguk dan tersenyum.
“Apakah kau tak suka lagi dengan cerita erotisku ? apakah kau sudah tidak mau membacanya lagi ?,” ucapku dengan tergesa-gesa dan mengubah posisi tubuhku menjadi tepat di atasnya, di atas tubuh Bayu yang begitu wangi dan menggoda.
“Hmmm … tulislah lagi cerita erotismu, sebanyak-banyaknya, khusus untukku, akan kubaca semuanya, sendiri. Bermainlah bersama khayalanmu sebebas mungkin untukku.” Aku menatap mata Bayu. Dalam, dan kelam.
“Kalau begitu, kau harus memenuhi janjimu untuk memberikan alur cerita erotis kepadaku setiap hari, setuju ?”
“Akan kuberikan sekarang juga,” tutupnya bersama sentuhan bibir kesukaanku. Pagi itu terasa begitu romantis disertai hujan yang kembali turun dengan derasnya. Tetap saja, gemuruh hujan pagi itu, tidak menutupi merdu hembusan nafasku dan Bayu yang seakan berlomba-lomba menjadi yang paling merdu dan menunjukkan kenikmatannya.
Sejak hari itu, aku menjadi Dian si penulis fiksi remaja untuk para penggemarku, dan ternyata menulis kisah ini tidak menghilangkan penghasilanku yang sebelumnya, semuanya terasa jadi lebih baik, aku aman dan nyaman. Tenang saja, aku masih tetap menulis cerita erotis dengan khayalan dan alur yang semakin liar dan berbahaya, hanya untuk Bayu.
__
Penulis :
Kisah yang berawal dari cerita tanpa alur ini kemudian ditulis secara berantai menjadi kumpulan diksi sederhana yang meledak dari 8 kepala manusia yang terjaga hingga dini hari. Kisah ini ditulis oleh Rizqy Arif Gunawan, Maratushsholihah, Hendy Fuady, Milenia Nadhita, Ester Dwilyana Sari, Fathana Nuranti, Daniel Simanjuntak, & Monica Ediesca
Baca juga : Kukila dan Keperawanannya