Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 830/KMK.05/2017 pada 13 November 2017 lalu, Universitas Tanjungpura (Untan) resmi menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU). Penerapan PPK-BLU ini pun menjadikan Untan sebagai instansi di lingkungan pemerintah yang bersifat semi otonom. Perubahan status dari Satuan Kerja (Satker) ke BLU ini, apakah dapat menjadi solusi dalam peningkatan mutu institusi atau justru menimbulkan masalah lain?
mimbaruntan.com, Untan – Berkaca pada kasus yang terjadi di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Jawa Tengah pada tahun 2013 lalu. Edy Yuwono selaku rektor saat itu ditetapkan sebagai tersangka korupsi proyek kerjasama dengan PT. Aneka Tambang yang diperkirakan merugikan negara sebesar Rp. 2,1 miliar. Kasus ini merupakan satu di antara masalah yang pernah terjadi pada PTN yang menerapkan PPK-BLU. Unsoed sendiri sudah menerapkan PPK-BLU sejak 2010.
Di sisi lain, masalah pengelolaan aset Perguruan Tinggi pernah terjadi di Untan, yaitu korupsi pengadaan alat kesehatan Rumah Sakit Untan dari dana APBN-P 2013. Kasus itu menjadikan dua pejabat Untan ditetapkan sebagai tersangka. Saat itu Untan masih berstatus Satker.
Perbedaan Satker dan PPK-BLU terlihat pada pengelolaan dana Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal dari mahasiswa, masyarakat, pengelolaan aset dan sumber lainnya. Saat masih berbentuk Satker, PNBP yang didapatkan oleh Untan harus disetor dan dikelola oleh negara. Sedangkan saat sudah berbentuk BLU, PNBP yang didapatkan langsung masuk ke kas Untan sendiri dan dapat digunakan langsung tanpa harus melalui prosedur penyetoran ke kas negara.
Berdasarkan data yang diperlihatkan Kasubag Humas Untan Kasturi bahwa pendapatan Untan di tahun 2017 (masih Satker) sebesar Rp. 210 miliar. Sedangkan biaya operasional Untan selama 2017 adalah sebesar Rp. 167 miliar. Namun saat hendak dimintai rincian sumber-sumber pendapatan dan biaya operasional tersebut, pihak Humas Untan menolak.
Eddy Suratman yang juga Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis mengatakan, Untan yang menjadi PPK-BLU juga diikuti dengan berubahnya pemikiran birokrat tentang pengelolaan aset, yaitu bagaimana aset Untan bisa menjadi pendapatan untuk pengelolaan lembaga. Pria kelahiran Sumatra Utara ini juga mewanti-wanti perihal transparansi keuangan yang makin tegas karena adanya dewan pengawas BLU.
“Jangan dikira kalau udah masuk ke rekening Untan dan tidak perlu ke rekening pusat lalu seenaknya rektor, karena adanya dewan pengawas BLU,” katanya. Dewan pengawas BLU berasal dari dari Kementerian Keuangan, Kemenristek Dikti dan lembaga terkait lainnya.
Baca Juga: Untan Resmi Terapkan BLU
Adi Afrianto selaku Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fisip menyambut baik sistem pengelolaan BLU yang diterapkan di Untan. Karena menurutnya, PPK-BLU ini mengedepankan efektifitas dan produktifitas. Tetapi mahasiswa asal Kayong Utara ini menggarisbawahi jangan sampai di Untan terjadi penyelewengan dalam pengelolaan keuangan BLU. “Ketika Untan sudah menjadi kampus BLU, harus ada pengawalan dari semua pihak. Baik itu dari mahasiswa, sivitas akademika, dan seluruh elemen masyarakat yang ada di kampus,” ungkapnya.
Terkait pengelolaan pendapatan Untan, sebelumnya reporter sudah berupaya menemui Wakil Rektor II Bidang Umum dan Keuangan, Rini Sulistiawati. Namun, dirinya mengarahkan reporter ke bagian perencanaan Untan.
Dampak Terhadap UKT
Kenaikan biaya kuliah (UKT) sebenarnya pernah terjadi saat Untan masih berstatus Satker. Seiring berubahnya status Untan menjadi BLU dengan pola pengelolaan keuangan yang semi otonom akan berpengaruh pada peningkatan tarif layanan pendidikan atau biaya kuliah. Hal inilah menjadi kekhawatiran mahasiswa. Iwan Kuncoro, Ketua BEM FMIPA Untan mengatakan hanya sebagian mahasisiwa yang tahu Untan akan menjadi BLU. “Mereka tidak teralu ambil pusing Untan ini dijadikan BLU atau tidak. Mereka lebih memikirkan biaya UKT mereka,” katanya.
Menanggapi kekahawatiran tersebut, Eddy Suratman mengingatkan, peningkatan pendapatan PTN-BLU tidak boleh bersumber dari mahasiswa, sesuai dengan klausul BLU. “Kalau meningkatkan SPP mahasiswa tu, orang bodoh pun bisa, bukan cara yang benar untuk ber-BLU. Kalau dia menaikkan SPP, tak perlu profesor jadi rektor kalau menurut saya,” tambahnya. Menurutnya, dengan tidak menaikkan UKT, Untan harus mencari sumber dana lain untuk mewujudkan peningkatan layanan pendidikan. Sumber-sumber tersebut ialah hibah terikat maupun tidak terikat, pengelolaan aset, dan kerjasama dengan pihak ketiga.
Baca Juga : Semi Otonom Berbau Komersialisasi
Bujang Harun pun menegaskan, perubahan status Untan tidak akan mengorbankan mahasiswa dengan menaikkan UKT. “Perpindahan dari Satker ke BLU tidak akan menganggu UKT, tidak ada kenaikan UKT,” ungkapnya. Ia menjelaskan Untan mencari sumber dana untuk pengelolaan BLU dengan meningkatkan pendapatan non akademis seperti kerjasama dengan pihak luar dan mengoptimalkan pengelolaan aset.
Terkait perubahan status Untan ini, reporter LPM Untan mencoba meminta konfirmasi kepada Rektor Untan pada Selasa, 9 Januari lalu, namun beliau tidak bersedia dan mendisposisikan surat permohonan wawancara ke Wakil Rektor (WR) III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni. Namun ketika dikonfirmasi ke pihak WR III, surat tersebutm didisposisikan kembali, karena merasa bukan bidangnya. Hingga kini belum didapatkan jawaban langsung dari rektor Untan terkait perubahan status Untan menjadi BLU.
Anda juga dapat membaca tulisan ini di Tabloid Mimbar Untan Edisi XXI
Penulis: Aris Munandar & Fikri R
Editor: M. Arif Rahman